Perspektif

Auto-kepincut dengan Aktivis Mahasiswa? Hey, Tunggu Dulu!

Hey, kamu yang di sana. Aku tahu kamu kesengsem lihat laki-laki yang orasi di podium saat demonstrasi. Eits… tapi tunggu dulu, apakah di balik gagahnya lelaki beralmamater yang bicara lantang dalam aksi, benar-benar memperjuangkan hak kita sebagai perempuan?

Kalau nggak, nggak usah auto-kepincut gitu kalee. Nggak perlu buru-buru ikut teriak “Itu calon suami idaman”. Bagaimanapun, banyak aktivis yang punya sisi gelap. Apalagi, aksi-aksi kemarin masih minim orator perempuan dan beberapa elemen nggak sepakat pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Dengar-dengar, ada pentolan aktivis mahasiswa dari FKG UGM yang cukup lantang bersuara, tapi dia dan BEM yang dipimpinnya menolak hadir dalam aksi ‘Gejayan Memanggil’ di Yogyakarta. Mengapa? Karena salah satu tuntutan aksi ‘Gejayan Memanggil’ adalah mendesak pengesahan RUU PKS.

Konon, aktivis tersebut berasal dari organisasi ekstra kampus yang menolak RUU PKS, sehingga tak menutup kemungkinan menerapkan prinsip yang sama terhadap BEM di kampusnya. Namun, dia yang justru mendapat sorotan media dan diundang mewakili mahasiswa Yogyakarta untuk berbicara di program TV. Dia tampak dielu-elukan, seolah menjadi idola baru.

Sontak, dokter gigi sejawat saya ikut mengaguminya karena kelantangan dia bicara mengenai politik. Namun, sebagai dokter gigi yang paham politik seharusnya tidak menolak RUU yang dibutuhkan oleh perempuan.

Saya tidak bisa melihat di mana letak pemahaman politik si aktivis tersebut, ketika ia tidak mampu melihat kesenjangan kelas bisa mempengaruhi akses kesehatan gigi. Atau, bagaimana paham politik, tapi abai dengan isu perempuan? Jangan-jangan cuma cari panggung aja.

Sebagai dokter gigi sekaligus perempuan, saya merasa harus call-out keluguan perempuan yang terus mengidolakan dia, serta media nasional yang berlebihan mengelu-elukannya. Nggak sehat buat gerakan.

Yup, janganlah lebay mengidolakan aktivis, terlepas seberapapun gagahnya ia berdiri di podium. Apalagi, kalau dia tidak mendukung RUU yang sangat dibutuhkan perempuan hari ini.

Dokter gigi yang mayoritasnya adalah perempuan juga rentan terkena berbagai macam kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Terlebih, jika hidup di lingkungan yang hendak mengontrol kehidupan perempuan. Nggak jarang dokter gigi perempuan masih dikekang oleh suaminya dengan segudang larangan, semisal “Kamu praktek di rumah aja” atau “Kamu prakteknya jangan rawat pasien laki-laki ya”.

Itu fakta bahwa dokter gigi perempuan mengalami beban ganda. Sudah bekerja, dituntut mengurus keluarga pula. Eh, tubuhnya juga dikontrol oleh suaminya.

Sementara, ada pula RKUHP yang bisa mengkriminalisasi perempuan yang pulang malam, termasuk dokter gigi. Apakah aktivis tadi pernah berpikir sampai sini?

Belum lagi, pasien gigi perempuan yang datang dengan keluhan gigi patah dan sendi rahang yang sakit akibat ditonjok suaminya. Dokter gigi juga memiliki andil dalam menghentikan siklus kekerasan terhadap perempuan dengan mencari tahu penyebab trauma pada mulut. Ia berada di garda terdepan.

Jika dokter gigi dapat mendeteksi kekerasan terhadap perempuan, ia pun dapat merujuk pasien untuk mencari bantuan hukum dan mendapatkan pemulihan psikis.

Itu adalah contoh tentang bagaimana seorang dokter gigi mampu membantu menangani kasus kekerasan. Selain itu, dokter gigi punya kemampuan untuk mengembalikan kepercayaan diri korban kekerasan yang kehilangan giginya dengan mengembalikan senyumannya secara estetis.

Kalau konteks sosial yang dialami pasien tidak bisa dia pahami, jangan harap dia mengerti politik.

Politik bukan sekadar aksi di jalan nuntut ini-itu, lalu tampil di TV menggunakan jas almamater, tapi bagaimana kita turut mengadvokasi kebijakan yang dapat mengakomodir perempuan dalam mencari bantuan dan pemulihan pasca kekerasan fisik hingga kekerasan seksual.

Jika alasannya menolak RUU PKS karena tuduhan liberal, itu sih jahat namanya. Orang-orang yang seperti itu lebih mementingkan ego organisasi ketimbang kepentingan rakyat secara luas, terutama korban kekerasan seksual yang terus bertambah jumlahnya.

Isu perempuan adalah isu politik, jangan harap bisa menjadi figur yang paham politik kalau masih meminggirkan perempuan.

Dan, bagi kamu yang mendadak terpesona dengan aktivis lelaki seperti itu, percayalah itu cuma ilusi. Kelihatannya saja gagah dan kharismatik, tapi kalau sudah urusan interpersonal, apalagi malah menolak RUU PKS, ketahuan patriarkis dan misoginisnya deh.

Kita nggak perlu capek-capek mengidolakan lelaki yang seperti itu, sebab dia tak bisa berpihak kepada kelompok yang paling rentan, yaitu perempuan dan minoritas seksual. Apalagi, jika dia malah mengambil panggung dari aksi ‘Gejayan Memanggil’, wajar saja banyak netizen yang menyebutnya sebagai ‘penumpang gelap’.

Jadi, dokter gigi yang paham politik bukan sekadar menghafal klasifikasi gigi bolong, tapi juga harus mengamalkan pengetahuannya. Bagaimana paham politik, kalau isu perempuan yang dekat dengannya sebagai teman sejawat dan pasien saja tidak diperjuangkan dan malah cari panggung dari aksi yang tidak dia hadiri?

Dia berjuang untuk siapa sih?

pertama kali diterbitkan di voxpop.id pada tanggal 29 September 2019