Cerita Hidup dari Jogja
Kebetulan saya diberi kesempatan lagi untuk mengunjugi Jogjakarta untuk acara pernikahan saudara saya. Setelah itu saya pun masih punya waktu sehari untuk jalan jalan di Jogjakarta. Kalau kata Mas Faizal Afnan, CEO Ilusi Group, Jogjakarta, “Beruntung itu punya teman senusantara.” Untungnya ada mbak Ari Dhamayanti yang bisa nemenin saya jalan-jalan seharian. Kebetulan dia tahu banyak soal sejarah Mataram Kuno.
Mbak Ari mengajak saya mengelilingi keraton didekat alun alun utara, lalu dari situlah dia mulai menceritakan saya soal Kesultanan Mataram. Kesultanan Mataram seringkali mengalami gejolak hingga akhirnya berujung pada perpecahan Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Saya terkesan bagaimana Pangeran Mangkubumi III atau Sultan Hamengkubuwono akhirnya membangun keratonnya diantara sungai Code dan Sungai Winongo. Lalu dia mengatur tata letak kota tersebut mulai dari selatan hingga utara, dari laut selatan hingga gunung merapi, dari awalnya manusia belum lahir, lahir, dewasa hingga akhirnya bertemu sang kuasa. Semua ada makna serta filosofisnya dalam mengatur tata ruang kota.
Melihat keraton dari dekat, saya merasa adem, tenang, tenteram. Bagi saya berada dihalaman keraton bukan saja sekedar jalan-jalan biasa seperti turis pada umumnya, tapi melihat abdi dalam-abdi dalam yang sangat tenang mempersilakan para turis, saya merasa seperti… I dunno, it does feel like home. Abdi Dalamnya pun sangat ramah dan sangat welcome ketika menyambut para turis. Mereka bekerja sepenuh hati.
Mbak Ari menceritakan filosofi letak Jogjakarta. Perumpamaan manusia yang lahir, dari arah selatan ke utara, sebagai lahirnya manusia dari tempat tinggi ke alam fana, dan sebaliknya sebagai proses kembalinya manusia pada Maha Kuasa. Sedangkan Kraton melambangkan jasmani. Kraton menuju Tugu juga diartikan sebagai jalan hidup yang penuh godaan. Pasar Beringharjo melambangkan godaan wanita. Sedangkan godaan akan kekuasaan dilambangkan lewat Gedung Kepatihan. Keduanya terletak di sebelah kanan. Jalan lurus itu sendiri sebagai lambang manusia yang dekat dengan Pencipta .
Lalu kami mengunjungi Pulocemethi di Tamansari dimana terdapat bangunan tua yang sudah lama tidak digunakan. Kami pun terus berjalan dan mengunjungi tempat semedi dan Sumur Gumuling yang arsitektur sangat menarik namun sudah tidak digunakan lagi untuk beribadah dan menjadi tempat wisata.
Banyak hal yang begitu menarik di Jogja, dan filosofi yang terkandung didalamnya sangat menarik. Bukan sembarang mitos atau apapun itu, tapi merupakan sebuah pengalaman hidup yang turun temurun diturunkan agar hidup kita senantiasa lebih baik. Kalau denger dari cerita cerita nya mbak Ari, para raja ini semuanya terdengar sangat bijak, well memang seharusnya seperti itu. Seorang Raja kesultanan Yogyakarta harus bisa mengerti soal budaya, taktik perang, arsitektur dan banyak hal lainnya. Seorang Raja haruslah mendengarkan apa kemauan rakyatnya dan tidak mengambil keputusan mengikuti egonya serta hanya memperkaya diri sendiri. Jikalau seorang Presiden dapat bersikap seperti Raja-raja kesultanan yang mencintai rakyatnya, maka rakyatnya akan menurut dan menjunjung tinggi sang Raja.
Menjadi seorang Raja bukanlah prestasi atau gelar semata namun itulah sebuah tanggung jawab dimana ia harus berlaku adil kepada para pengikutnya dan pandai mengatur tatanegaranya. Jogja mengajarkan banyak hal. Dari sisi kehidupan dan hubungannya dengan yang maha kuasa. Walaupun begitu bagiku, mungkin sekarang atau dalam beberapa tahun dekat ini, bekerja di Jogja agaknya kurang gregetnya tapi suatu saat nanti tempat seperti ini adalah tempat yang ingin ku tinggali.