Travel

Cinta Bersemi di Rangoon

Hah? Rangoon? Ragunan kali ya? Rangoon atau Yangon adalah ibukota negara Myanmar (Burma) yang merupakan salah satu negara ASEAN. Mungkin yang kalian dengar dari Myanmar adalah diskriminasi yang terjadi pada warga Muslim Rohingya yang terusir dari Myanmar menggunakan kapal menuju negara lain menjadi pengungsi yang akhirnya diselamatkan oleh nelayan Aceh. Myanmar juga terkenal dengan biksu nasionalis yang berusaha menjatuhkan agama lain. Sama halnya dengan Indonesia yang memiliki kelompok agama tertentu yang berusaha menjatuhkan agama lain.

Saya pun kalau tidak ada alasan kesini, saya juga tidak akan kesini. Mengingat situasi politik disini. Dan identitas saya yang Muslim KTP dan wajah saya yang juga mirip dengan orang Myanmar. Saya jadi tidak minat kalau kesini hanya untuk berlibur saja. Saya lebih memilih ke Jogja, karena kota ini masih sangat melestarikan bangunan tua bekas peninggalan koloni, yah walaupun enggak mirip-mirip banget. Sama halnya dengan Jogja yang beberapa daerahnya masih melestarikan gedung-gedung tua.

Kota Yangon mengingatkan saya pada kota Mumbai, India, pada awal tahun 2000 dimana arsitekturnya juga merupakan peninggalan kolonial Inggris. Terlebih lagi disini banyak sekali warganya yang keturunan India. Jadi kemanapun saya pergi, saya mengalami flashback.

Keputusan saya untuk kesini juga sangat impulsif. Saya memutuskan untuk kesini karena ingin menemui teman saya. Teman saya mengundang saya untuk kemari menginap selama 5 hari. Disini tempat dia menetap dan berkerja sebagai guru mengajarkan hak-hak asasi manusia dasar serta mengurus beberapa galeri dari artis seni lukis Burma.

Ketika itu saya memutuskan untuk tidak bilang keorang tua saya dan pergi begitu saja untuk kedua kalinya. Saya pergi tanpa menggunakan bagasi. Cukup satu tas untuk melancong kenegeri para biksu Buddha.

Sama halnya dengan Thailand, orang Burma wajahnya hampir sama dengan orang Indonesia. Saya dikira orang Burma, dan semuanya berusaha berbicara kepada saya dengan bahasa Burma.

Kota Yangon bagaikan terjebak dimasa lalu namun yang membuat tempat ini menarik adalah tempat ini sedang berkembang baik dari kehidupan politik, ekonomi, budaya hingga seni. Inilah yang membuat para ekspat ikut tertarik membangun negeri ini. Hanya saja banyak sekali intimidasi yang terjadi. Intimidasi agama yang terjadi adalah intimidasi pada agama selain agama Buddha yang dilakukan oleh biksu nasionalis, intimidasi opini publik terjadi ketika seorang perempuan mengkritik warna seragam tentara yang berubah menjadi warna yang mengikuti partai oposisi pemerintah, sehingga akibat komentar nyeleneh dijejaring social, ia dipenjarakan. Banyak sekali kejadian-kejadian yang terjadi dan dilakukan pemerintah untuk menunjukkan kekuasaannya.

 

Ya, saya jatuh cinta pada kota ini. Saya akhirnya terpikat dengan pesona yang dimiliki kota ini. Dan saya sangat merindukannya dan ingin kembali lagi,

Kenapa bisa rindu? Apa kamu tidak takut untuk kesana lagi? Tidak… Ya… Dan tidak… Saya bukan jatuh cinta karena saya mengunjunginya untuk seseorang. Keinginan saya untuk kembali semata-mata ingin merasakan kehidupan yang unik dinegara yang menarik dan eksotis dengan segala kerumitannya. Kejadian kejadian politiknya begitu menarik untuk disimak. Berbagi pengalaman dengan pejuang aktivis, para jurnalis, dan analis politik adalah perbincangan kami sehari-hari. Sewaktu saya disana, pemilihan umum adalah isu terpanas saat itu karena mereka terus menunda-nunda pemilu dengan berbagai alasan, salah satunya banjir yang telah terjadi dua bulan yang lalu.

Saya tidak begitu banyak menikmati atau mengunjungi tempat-tempat wisata di Yangon, tapi hal yang bagi saya sangat menarik adalah komunitas sosialnya. Kalau diperhatikan dari tadi saya terpikat dengan bagaiman komunitas perkerja para expat serta lokal di Yangon.

Orang-orang pun kesini untuk berkarya. Berkarya untuk sebuah kebaikkan. Kebaikkan agar kemanusiaan dapat tercipta diantara manusia yang sangat bervariasi serta berasal dari macam-macam suku, adat dan agama.

Disini, komunitasnya berusaha menciptakan sebuah pengertian kemanusiaan agar kita saling memahami dan menerima satu sama lain, toleransi mereka masih jauh dari kata perdamaian. Itulah yang membuat menariknya kota Yangon, orang-orang yang saya temui adalah orang-orang yang menarik. Orang-orang yang tidak terlalu memerhatikan penampilan duniawi melainkan isi otak mereka dan apa yang mereka kerjakan untuk kebaikan bersama. Dari guru, wartawan, penulis, dokter, chef, kurator, pengacara, arsitek, mereka semua tetap bersahaja dan sangat berbobot. Kebanyakkan akan menyebut mereka geek atau nerd, tapi mereka nyaman, dan yang terpenting adalah kontribusi mereka demi kemanusiaan, bukan pakaian apa yang dia pakai atau foto instagramnya yang mendapat ratusan likes.

Orang lokal pun disini sangat unik. Mereka tidak terbiasa melihat orang asia (baca: yang sewarna kulit dengan mereka) berjalan dengan orang putih (baca: kaukasia). Walaupun begitu mereka ramah. Ya memang ada beberapa yang dasarnya serakah, orang-orang itu tempatnya di kepemerintahan.

Tempat yang paling menarik untuk bersosialisasi bagi saya adalah mengunjungi pembukaan galeri atau peresmian koleksi baru. Disana kita bisa bertemu banyak orang, tak hanya penikmat seni namun juga berbagai manusia dari berbagai macam kalangan. Salah satu favorit saya adalah galeri Pansodan Gallery milik Aung Soe Min. Tiap selasa malam mereka selalu mengadakan social gathering. Berawal dari kisaran tahun 2009, para pengurus galeri memutuskan untuk menyediakan bir gratis pada malam social gathering, lama kelamaan hal ini menjadi tak terkontrol sehingga mereka berhenti memberikan bir gratis, namun social gathering tetap berlanjut. Hingga hari ini, rata-rata pengunjung galeri pada malam social gathering adalah sekitar 30 hingga 40 orang. Social Gathering di Pansodan Gallery sangat terkenal sehingga jika kamu bertanya pada ekspat atau pelancong yang pernah tinggal di Yangon pada lima tahun belakangan ini, mereka pasti pernah datang ke acara ini.

 

Sewaktu saya tinggal di Yangon, saya tinggal tak jauh dari downtown Yangon, pusat keramaian dan gedung-gedung tua yang penuh dengan restoran yang unik dan beranekaragam (dari masakan Indonesia hingga mancanegara semua ada). Umumnya kemanapun saya pergi, tempat-tempat itu bisa dijangkau dengan jalan kaki. Hal ini yang tidak ada Indonesia. Kemudahan untuk jalan kaki, apalagi sekarang sudah jarang ada trotoar untuk para pejalan kaki di Indonesia. Di Yangon, orang-orang mengeluhkan semakin sempitnya lahan untuk berjalan kaki. Konon katanya dulu lahan untuk pejalan kaki luasnya bisa seperti parkiran mobil sendiri.

Kemacetan tidak separah di Jakarta dan bayangkan, di Yangon tidak ada motor! Selama saya disana cuma ada satu motor yang saya lihat melintas dan itu polisi yang memakainya. Katanya sih motor dilarang karena pernah ada keributan beberapa tahun lalu. Pantes saja, kota ini masih hijau dan tidak berpolusi. Sangking tidak berpolusinya, saya bisa melihat jutaan bintang dimalam hari yang bertaburan dilangit tatkala kami sedang menghadiri acara rooftop.

Di Yangon, orang-orang yang berpendidikan terutama mahasiswa-mahasiswa aktivis yang berdemo, tempatnya dipenjara. Mereka dijebloskan kepenjara oleh pemerintah karena memprotes berbagai kebijakan. Sayang sekali rasanya, padahal mahasiswa-mahasiswa ini bisa membangun Myanmar. Sayangnya pemerintah Myanmar adalah pemerintahan militer yang sekuat tenaga berusaha mengontrol rakyatnya (baca: seperti era Soeharto).

Myanmar 2015 adalah Indonesia di era Orde Baru. Atas nama agama para petinggi menebarkan kebencian dan diskriminasi berlebihan kepada kaum minoritas. Mereka menindas dan menunjukkan kekuasaannya pada minoritas, pertama pada warga Islam, kedua warga Kristen, ketiga warga keturunan Tiong Hoa. Anehnya penduduk asli Myanmar yang beragama Islam dilarang untuk menggunakan hak suaranya dan mereka punya peraturan cukup aneh, kalau mereka Islam, di KTP mereka akan ditulis keturunan India atau Pakistan walaupun dia keturunan Myanmar asli. Islam dianggap sebagai sebuah suku dan ras bukan sebagai keyakinan.

Walaupun saya tidak mengunjungi semua tempat wisata Yangon, saya sempat menikmati keindahan Shwedagon Pagoda, sebuah situs peninggalan yang konon katanya sudah berusia ribuan tahun, yang tidak jauh dari downtown Yangon dan bisa dicapai dengan jalan kaki. Di Shwedagon Pagoda kita bisa menikmatinya dengan tiket masuk sekitar delapan puluh ribu rupiah. Namun karena muka kita mirip dengan warga Myanmar, kita sebenarnya bisa saja melewati konter pembelian tiket karena ternyata tiket untuk warga Myanmar gratis. Di Shwedagon Pagoda katanya terdapat gigi serta rambut peninggalan Buddha yang terreservasi namun yang ditampilkan hanyalah duplikatnya dimuka publik.

Di Shwedagon Pagoda pun terdapat banyak kuil kuil kecil yang mengitari pusat Pagoda itu. Kita pula bisa mengitari Shwedagon Pagoda. Dan tatkala saya mengitari pagoda tersebut, pagoda tersebut mengingatkan saya pada Kabah dimana umat manusia juga mengitari kabah.

Saya pun bilang begitu pada teman saya, bahwa mengitari Shwedagon Pagoda sensasinya hampir sama dengan mengitari Kabah di Masjidil Haram. Teman saya pun bilang, kalau saya ngomong seperti itu dan didengar oleh biksu nasionalis, maka saya bisa dipenjarakan.

Yang membuat wisata kuliner Yangon unik adalah mendapatkan tempat makan yang terletak diantara gang-gang kecil diantara gedung-gedung tua. Kedai-kedai (baca: warung makanan) adalah tempat-tempat unik yang dicari untuk merasakan sensasi keanekaragaman makanan. Saya diajak makan disalah satu tempat makanan khas Jepang yang dikelola oleh seorang ahli Kendo. Walaupun terletak disebuah gang kecil, makanan yang disajikan sangat segar. Saya selalu memesan ikan sashiminya.

 

Selain dari kondisi politiknya yang sangat menyedihkan, Yangon sudah mulai pembangunan besar-besaran seperti Jakarta. Maka dari itu macet sudah sering terjadi. Dalam tiga tahun, kabarnya banyak yang berubah begitu pesat. Saya takut sekali Yangon akan berubah menjadi Jakarta dikemudian hari.

Sesungguhnya saya jatuh cinta dengan kota ini. Saya mengerti mengapa banyak ekspat yang betah. Saya mengerti mengapa Yangon bisa sangat menarik. Di hari terakhir saya, saya berjanji untuk kembali lagi, dengan harapan kondisi politik Yangon makin membaik dan gedung-gedung tua serta kearifan lokal yang masih terus terjaga.

Oh ya saya juga ikut bangga dan senang ketika warga Myanmar akhirnya bisa menggunakan hak suaranya di pemilihan umum yang baru dilaksanakan. Baca: Myanmar ruling party concedes as Suu Kyi heads for poll landslide