Relasi

Cinta Diuji kala Pandemi, Ada Sisi Gelapnya

Pandemi Covid-19 yang mengancam kehidupan dan mobilitas manusia memang memunculkan sisi kemanusiaan dan perasaan sayang. Banyak orang berlomba-lomba berbagi cinta dan kasih, apa pun wujudnya. Ada yang begitu perhatian, hingga saling melindungi dan membantu. Duh, bikin terharu.

Tetapi, jangan lupa, di tengah pandemi dan swaisolasi ini, cinta dan kasih juga menghadapi ujian terberatnya. Swaisolasi yang seharusnya bisa menjadi bulan madu kedua atau kesekian kalinya bagi pasangan yang memiliki anak maupun yang belum, malah dapat menjadi sesuatu yang buruk bagi banyak perempuan. Terutama, perempuan yang secara finansial bergantung pada pasangannya.

Dalam konteks relasi heteronormatif, banyak perempuan yang menggantungkan hidupnya kepada lelaki yang menjadi pasangannya. Dengan posisi tersebut, sering kali ada ketimpangan dalam pembagian peran gender. Biasanya terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Terlebih, kerja domestik yang kerap dilakukan perempuan tidak dianggap sebagai kerja reproduksi.

Bisa dibayangkan, bagaimana nasib perempuan ketika terisolasi bersama pasangannya itu?

Di tengah pernikahan yang dilandasi cinta dan kasih itu nyatanya juga terselip rasa mual, apalagi jika satu sama lain belum mengenal lebih jauh. Maka, ketika terisolasi seperti saat ini, ketidakcocokkan bisa meruncing.

Di Wuhan, Tiongkok, terjadi peningkatan perceraian sejak karantina wilayah akibat sering ditemukan ketidakcocokkan di rumah. Belum lagi, ketika kerja dari rumah (WFH), ada saja kelakuan pasangan yang bikin kesal dan malu-maluin. Contohnya, pasangan yang berjalan setengah telanjang di belakang saat berlangsung konferensi video. Duh…

Sementara, bagi pasangan yang masih harus kerja di luar rumah, berpotensi terpapar virus corona dan menularkannya kepada keluarga di rumah. Malah ada pasangan yang sudah menikah sampai pisah ranjang atau kamar untuk menghindari risiko penularan. Komunikasi yang selama ini menjadi kunci dalam pernikahan menjadi terhambat.

Ada pula yang mengisolasi diri dari anak-anak atau keluarganya, seperti yang dilakukan oleh banyak tenaga medis di dunia. Mereka tak ingin keluarganya tertular sepulang menangani pasien Covid-19. Bahkan, ada yang sampai mengasingkan diri dan tidur di garasi, lho.

Di situ pula, cinta diuji. Apakah kita akan melakukan apapun untuk melindungi anggota keluarga kita?

Namun, di sisi lain, selalu ada saja orang-orang yang sengaja nongkrong di luar rumah dan mengabaikan perlindungan kesehatan anggota keluarganya, dengan alasan untuk mengusir rasa jenuh di rumah.

Begini ya, kalau memang cinta dengan keluarga, tentu akan memikirkan kesehatan dirinya dan keluarganya. Masa sih berani mempertaruhkan kesehatan keluarga hanya demi cari nyamannya sendiri? Sementara, istri juga harus menanggung beban ganda akibat ketimpangan dalam pembagian kerja domestik.

Tentunya, ideologi tentang cinta saja tidak cukup, tapi bagaimana kita menerapkan itu dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi, di tengah wabah. Ini bukan soal bagi-bagi sembako, masker, dan hand sanitizer saja, tapi bagaimana kita juga memperhatikan keperluan dan kepentingan orang-orang yang kita cintai.

Memahami gender saja juga tidak akan menyelesaikan masalah, terlebih kalau cuma di mulut saja. Bahkan, orang yang satu ideologi pun belum tentu dapat setara dalam sebuah hubungan. Apalagi, kalau berkoar-koar menyerukan hak asasi manusia, tapi hak untuk hidup sehat keluarganya tidak diperhatikan.

Kalau kamu memiliki ketahanan ekonomi, mending tinggalkan saja pasangan yang seperti itu. Tapi, bagaimana kalau sudah terjebak dalam relasi pernikahan yang tidak sehat? Lalu, kamu kesulitan mencari bantuan karena seluruh layanan konsultasi sedang tak bisa ditemui secara langsung? Sebab itu, dibutuhkan inisiatif dan kepekaan antar sesama pasangan untuk dapat bertahan di tengah wabah ini.

Lantas, bagaimana dengan tenaga medis yang tinggal di permukiman yang padat penduduk? Di Indonesia, sudah banyak orang yang mengusir tenaga medis dari tempat tinggal mereka. Kalau di luar negeri, tenaga medis diberi sambutan meriah setiap pergantian jadwal jaga sebagai tanda cinta. Hanya di Indonesia, tenaga medis diusir karena ia melakukan pekerjaannya dengan penuh cinta.

Betul, wabah Covid-19 tak hanya mematikan manusia, tapi juga mematikan hubungan kita dengan seseorang, dan mematikan kepekaan terhadap orang-orang yang paling terdampak akibat wabah. Ia pun mematikan nalar hanya demi kesenangan pribadi.

Nah, di saat seperti itu, jangan sampai kita tidak lulus ujian. Jangan sampai kita menyesal, karena tidak memperjuangkan cinta. Jangan lupa mencintai!