Perspektif

Diskusi Perempuan Bukan Untuk Masturbasi Lelaki

Suatu hari, saya mengadakan diskusi membahas seksualitas perempuan. Pesertanya beragam, jumlah perempuan dan laki-laki hampir seimbang, walaupun masih lebih banyak perempuan tentunya.

Sebelum diskusi, peserta laki-laki sudah diingatkan untuk menahan diri agar tidak menguasai ruang diskusi. Alasannya, lelaki sudah banyak mendapatkan ruang untuk mendominasi ruang diskusi, dan sudah saatnya pengalaman perempuan didengarkan.

Semula, saya kira laki-laki memang tertarik dengan urusan seksualitas perempuan, tapi ternyata banyak pertanyaan dan pernyataan yang malah menginvalidasi pengalaman perempuan. Semisal, ungkapan “saya rasa seksualitas sudah tidak lagi tabu, setidaknya bagi saya”.

Ya terang saja tidak tabu bagi lelaki yang memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan, tapi tabu bagi perempuan dan lelaki yang tidak memiliki akses informasi tentang pendidikan seks. Di sinilah mengapa lelaki harus tahu diri. Dia harus memahami bahwa dia datang dari lingkungan seperti apa, yang akhirnya memberikan dia akses untuk memahami persoalan seksualitas.

Lantas, apa kabar dengan perempuan yang terlanjur hamil karena kesulitan mendapatkan informasi mengenai kesehatan reproduksi? Bagaimana dengan pasangan istri suami yang tidak tahu di mana memasukkan penis ketika berhubungan seksual? Atau, bagaimana dengan ustaz yang bilang kalau mens nggak usah pakai pembalut? Dan, ceramah itu disiarkan oleh TV nasional pula?

Baca juga: Kenapa Orang Indonesia Takut dengan Seks?

Apa yang dikatakan laki-laki tadi bahwa ketabuan sudah selesai adalah menginvalidasi pengalaman perempuan. Pernyataan seperti itu akhirnya menghentikan diskusi dan mentok pada teori. Tidak bersentuhan dengan realitas yang ada.

Karena kita sedang berada di ruang perempuan, penting sekali untuk mengangkat pengalaman perempuan, bukan mengatakan bahwa hal itu tidak perlu dibicarakan lagi atau sudah selesai.

Seharusnya, ketika lelaki datang ke ruang diskusi perempuan, mereka harus memahami posisinya, bukan mendikte dan berusaha membungkam pengalaman perempuan. Apalagi, sampai berupaya menjauhkan perempuan dari realitas yang ada.

Wahai lelaki, kamu memang tidak mengalaminya, namun banyak perempuan mendapatkan dampak dari pembodohan massal dan upaya pembungkaman realitas. Jadi, berhenti membuat diskusi perempuan berdasarkan pengalamanmu, karena ini diskusi tentang isu perempuan dalam budaya patriarki yang secara hierarkis menempatkan lelaki lebih tinggi dan di atas segalanya.

Mohon tahu diri lah.

Baca juga: Suka atau Tidak, Laki-laki Lebih Rapuh daripada Perempuan

Sesaat sebelum diskusi berakhir, seorang lelaki mengacungkan tangannya untuk bertanya. Semula dikira masih ada pertanyaan yang belum selesai mengenai seksualitas, eh tahunya malah bertanya di luar topik. Dia bilang, “Jadi sebenarnya akar penindasan perempuan itu apa?”

Lha?!

Ada beberapa poin kenapa pertanyaan itu tidak tepat. Pertama, karena pertanyaan itu sering diajukan oleh laki-laki aktivis pada setiap lingkar diskusi perempuan, bahkan ketika temanya sedang tidak sejalan. Memang betul sebagian besar ingin belajar, namun sebagian lagi cuma ingin beradu argumen teori untuk menguji intelektualitas perempuan.

Upaya untuk mengubah tema diskusi adalah upaya untuk mendominasi dan merasa jadi orang yang paling berhak. Kok bisa-bisanya ruang diskusi perempuan dikooptasi untuk masturbasi intelektualitas laki-laki? Itu adalah sikap dan kerja-kerja pro patriarki.

Baca juga: Alerta, Alerta! Para Aktivis Cabul di Sekeliling Kita

Lalu, alasan kedua mengapa pertanyaan tadi tidak tepat adalah, kamu tidak akan pernah bisa menemukan jawaban yang absolut. Pengalaman perempuan sangat berbeda dan beragam, sehingga tidak bisa disamaratakan. Pemikiran yang hendak menyamaratakan seluruh pengalaman perempuan menjadi satu teori adalah kerangka berpikir patriarkis, yang memang terus berupaya menyeragamkan segala hal terkait perempuan.

Soal siapa duluan apakah kapitalisme atau patriarki tidak perlu jadi polemik yang tak berujung, sebab mereka saling bekerjasama menindas perempuan. Kalau kita ingin bergerak, tentunya semua aspek harus dilawan. Tak bisa mengabaikan kekerasan seksual yang dialami perempuan di tengah demonstrasi melawan kapitalisme. Keduanya sama penting untuk dilawan. Dan, perlu ada pembagian tugas, bukan malah menuduh gerakan perempuan sudah terkotak-kotak.

Tolong dicatat ya, tidak ada jawaban yang instan soal itu. Jika kamu sedang berupaya masturbasi intelektual dan ingin perempuan terlihat irasional karena kepincut, maka kamu manipulatif dan seksis. Ini juga cara kerja patriarki yang berusaha membenturkan perempuan agar menginvalidasi pengalamannya.

Alasan ketiga adalah, kenapa kamu tidak tanyakan saja itu kepada lelaki yang patriarkis? Kenapa mereka sukanya menindas perempuan? Kenapa itu selalu ditanyakan ke perempuan?

Tapi kan, nggak semua lelaki menindas… Ya coba deh baca alasan mengapa “tidak semua lelaki” telah mendiskreditkan perempuan. Perempuan sudah sering ditindas, lalu kamu bertanya kenapa ditindas? Kenapa kamu tidak bertanya kepada sesama lelaki saja, terutama lelaki yang patriarkis? Kenapa kalian tidak saling menegur, padahal tahu teman dan keluarga kalian punya pandangan yang menindas perempuan?

Lagipula, kenapa sih lelaki enggan mengkonfrontasi sesama lelaki yang ketahuan seksis, dan malah memojokkan perempuan dengan bertanya soal akar penindasan? Apakah sedang berupaya melindungi sesama lelaki?

Jika memang sudah selesai dengan urusan tindas menindas, kenapa tidak bisa berempati dengan pengalaman perempuan, bukan malah bermasturbasi intelektual untuk terlihat siapa lebih pintar?

Kalau kalian baru belajar teori-teori dan silau dengan segelintir pemikiran, lalu ingin pamer ilmu pengetahuan, ada baiknya dengarkan dulu perempuan. Bukan malah mengambil alih dan menjadikan ruang tersebut sebagai uji teori dan permainan intelektualitas.

Jadi besok-besok, udah paham kan?

pertama kali diterbitkan di voxpop.id pada tanggal 10 December 2019 dengan judul Diskusi Seksualitas Perempuan Bukan untuk Masturbasi Intelektualitas Laki-laki