Ditentang Orangtua karena Beda Pilihan, Aku Harus Apa Kak?
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Voxpop pada tanggal 11 November 2020.
Kehidupan anak perempuan memang dikondisikan sedemikian rupa oleh masyarakat kita, termasuk dalam lingkungan keluarga. Anak perempuan dibikin ketergantungan, sehingga tak punya kuasa dalam hidupnya. Alhasil, hidupnya terkekang sejak lahir bahkan hingga tua.
Banyak orangtua merasa tidak punya nilai, apabila anaknya tak segera menikah. Jangan salah, sampai hari ini masih banyak orangtua yang mengatur-atur jodoh anak perempuannya dengan memberikan semacam tuntutan.
Fase kehidupan dimana nilai diri seorang perempuan tergantung pada validasi orangtua atau orang lain tersebut sudah berlangsung berabad-abad. Itu sebabnya keputusan perempuan dalam menentukan sendiri jalan hidupnya selalu dipertanyakan, bahkan dianggap salah.
Banyak cerita perihal perempuan yang kerap menunggu persetujuan orangtua apabila menginginkan sesuatu. Kalaupun bukan orangtua, ia akan bertanya kepada pacarnya, bahkan kepada orang asing yang dianggap paling tahu tentang situasi dan kondisi kehidupannya.
Orangtua tak pernah mendidik anak perempuan untuk mengambil keputusan sendiri. Anak perempuan seakan harus menunggu lampu hijau dalam menentukan pilihan hidupnya. Dikondisikan tidak banyak tahu, tunduk, dan menyerah pada keadaan.
Ada banyak curhat tentang perempuan dewasa muda yang tengah bergulat dengan keluarganya, terutama orangtua, karena ia masih hidup ketergantungan. Bagaimana ketakutan untuk menentukan sendiri jalan hidupnya malah mendorong dia mencari validasi dari orang lain yang bahkan tak dikenalnya.
Itu sangat disayangkan. Yang semestinya perempuan dewasa muda bisa mengembangkan diri dan mencari tahu potensinya, justru dihambat oleh orangtua. Alih-alih mendukung anak perempuannya, orangtua yang patriarkis ini cenderung mengecilkan peran anak perempuan sebatas dapur, sumur, dan kasur.
Tapi memang tidak bisa menyalahkan orangtua begitu saja, karena mereka hidup pada masa yang mungkin akses pengetahuan dan informasi tidak semasif sekarang. Apalagi menyalahkan ibu, sebab ibu juga menjadi korban patriarki. Secara psikologis sudah sulit diubah. Meski demikian, ada saatnya untuk membela diri.
Tak sedikit, teman-teman perempuan mampu membuat orangtuanya mengerti. Tapi memang tidak mudah. Lantas, bagaimana caranya?
Ya harus bisa membuktikan diri sendiri tanpa melulu minta izin dari orangtua. Jika selalu meminta izin, padahal itu menyangkut kuasa hidup kita, bisa jadi kita tidak akan pernah berada dalam posisi hari ini.
Tak perlu meminta validasi sebelum membuktikan bahwa sebenarnya kita mampu dan mandiri. Bagaimana bisa menuntut validasi atau pengakuan kalau kita sendiri tidak melakukan apa-apa? Berhentilah mengemis validasi, mulailah melakukan perubahan dari diri sendiri.
Dengan begitu, kita tetap bisa menghormati orangtua tanpa harus terus-terusan mengikuti apa yang mereka inginkan. Tentu sesekali orangtua bakal menentang, tapi anggap saja itu sebagai motivasi. Bagaimanapun jika ingin perubahan, harus siap menghadapi segala konsekuensi.
Sebagai perempuan yang sejak lama terkungkung lingkaran patriarki, sering kali menanyakan solusi kepada orang lain tentang bagaimana menghadapi masalah sendiri. Nah, daripada bertanya kepada orang lain, kenapa tidak bertanya kepada diri sendiri?
Ada beberapa pertanyaan, semisal apa yang kita inginkan? Lalu, coba bandingkan antara keinginan dan situasi sekarang, apakah sejalan atau tidak? Jika tidak sejalan, apa yang bisa dilakukan, meski harus dimulai dari hal-hal kecil terlebih dahulu? Lantas, apakah itu memberi percikan kebahagiaan?
Coba deh untuk tidak bertanya kepada orang lain “aku harus apa, kak?” Sebab, kamu sendiri yang akan menjalaninya. Terlebih dalam masyarakat patriarkal, jawabannya tidak jauh-jauh dari kata sabar, sabar, dan sabar.
Kalaupun bertanya kepada orang yang sudah terbebas dari kungkungan tersebut, jawabannya sering kali tidak nyambung. Sebab, masing-masing situasinya sangat berbeda. Jadi mulailah bertanya kepada diri sendiri, kira-kira apa yang bisa dilakukan saat ini? Bisa dimulai dari hal-hal kecil.
Jika orangtua masih berkeras menentang, ya sudah fokus saja pada apa yang kamu kehendaki. Ketika sudah cukup berdaya tentu punya posisi tawar, kok. Semisal, urusan jodoh. Kalau mereka terus-terusan bertanya kapan kamu nikah, sementara semua argumentasi sudah kamu sampaikan, bilang saja begini, “Kalau bapak sama ibu masih nanya-nanya itu terus, mending aku nggak pulang ke rumah.” Percayalah, mereka akan langsung terdiam.
Pada akhirnya, jika mereka benar-benar sayang, mereka akan menerima keputusan atau pilihanmu. Tentu, itu lebih baik kalau disertai dengan pencapaian-pencapaian di kemudian hari. Dengan demikian, perubahan tak hanya terjadi pada dirimu, tapi juga orangtuamu.