Relasi, Seks

Friends with Benefits? Yang Perlu Diketahui Supaya Nggak Baper

Artikel ini pertama tayang di VoxPop.id pada tanggal 13 Juli 2020.

Bagi yang belum tahu, Friends with Benefits (FWB) adalah sebutan bagi individu-individu yang ingin melakukan hubungan seksual tanpa komitmen, perasaan, dan status. Menjalani FWB tentu bisa monogami atau non-monogami tergantung perjanjian awal. Namun, untuk bisa FWB-an, seseorang harus siap secara mental, sehingga praktik ini tidak bisa dan tidak cocok dilakukan oleh orang awam.

Praktik FWB adalah perjanjian yang harus penuh dengan kesadaran konsensus (persetujuan), dan tentu konsekuensi. Konsensus berarti memperhatikan prinsip-prinsip bahwa konsen itu spesifik, konsen bisa berubah dan pihak yang terlibat harus terinformasi tentang konsekuensinya.

Dalam hal ini, konsekuensi dari seks adalah infeksi menular seksual dan kehamilan. Karena itu, untuk mengurangi risiko, pihak yang FWB-an harus sepakat melakukan hubungan seks menggunakan pengaman seperti kondom. Jadi harus sampai spesifik seperti itu.

Penggunaan kondom pun harus dipertegas bahwa selama FWB-an, pihak-pihak yang terlibat harus sadar betul bahwa kondom digunakan saat berhubungan seksual. Jika ada yang melepas kondom tanpa sepengetahuan partner, itu sudah di luar persetujuan awal dan termasuk pemerkosaan.

Konsekuensi lainnya adalah baper. Sering kali perempuan maupun lelaki bisa baper setelah berhubungan seksual, baik dalam praktik FWB atau bentuk hubungan lainnya. Semua orang berhak baper dan sulit move on atau susah melupakan pengalaman seksualnya. Ini wajar saja. Sebab itu, siapapun yang hendak menjalani FWB harus sadar akan kemungkinan konsekuensi ini.

Kalaupun nanti baper, bukan berarti orang yang dibaperin kudu tanggung jawab atas perasaan yang timbul. Tentunya dia tak punya tanggung jawab untuk memberi afeksi emosional kepada partner-nya. Sebab perjanjian awalnya adalah hubungan seksual tanpa komitmen, perasaan, dan status.

Seseorang yang FWB-an juga harus bisa menjaga sikap, jangan sampai menguntit (stalking) orang yang dibaperin, apalagi sampai meneror, sehingga membuat dia merasa tidak nyaman.

Itu memang konsekuensi dari FWB. Makanya, bagi kamu yang belum atau tidak siap dengan segala konsekuensinya, jangan melakukan itu. Jangan coba-coba FWB-an hanya karena dia janji akan selalu ada untukmu atau janji akan pacaran sama kamu nantinya. Jangan juga melakukannya demi mendapatkan dia sebagai pacar di kemudian hari.

Agak sulit untuk mengubah FWB menjadi pacar, walaupun itu bisa terjadi. Itulah mengapa saat FWB tidak boleh banyak berharap. Lagi pula, seks bukanlah alat tukar kasih sayang. Kamu juga tidak bisa menuntut dia untuk memperlakukan kamu layaknya pasangan, karena perjanjian awalnya tidak mengenal status.

Saya sering menemukan kasus seperti ini, dimana perempuan merasa sakit hati karena setelah berhubungan seks, ia merasa ditinggalkan. Padahal, ia tahu bahwa praktik FWB memang tidak mengenal status. Iya sih, kamu nggak bisa move on, tapi alangkah baiknya sebelum melakukan hubungan seksual, bertanyalah pada diri sendiri, “Apakah aku benar-benar ingin berhubungan seksual atau aku dimanipulasi untuk mau berhubungan seksual?”

Praktik FWB sering dijadikan cara bagi lelaki, baik yang katanya progresif maupun konservatif, untuk memanipulasi perempuan. Biasanya, bunyinya seperti ini, “Kamu kan feminis, kamu seharusnya berpikiran terbuka dan mau mengeksplorasi seksualitasmu.” Atau, “Kamu bisa bantu saya menunaikan ibadah kalau mau berhubungan seksual dengan saya.”

Tentu praktik FWB bisa sangat melukai perempuan ketika ia tidak dibekali tentang pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi. Belum lagi, jika ia tidak siap secara mental dan tumbuh dalam lingkungan yang patriarkal. Tetapi, ada pula ketika perempuan merasa FWB adalah kebutuhan, ia tak akan merasa terganggu setelah berpisah dengan pasangan FWB-nya.

Ada pula kasus dimana lelaki yang baper, lalu menguntit hingga meneror perempuan. Ini juga bisa berbahaya, karena bisa mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan.

Kalau sudah begitu, perempuan lah yang paling dirugikan. Tentu tidak ada yang salah dengan baper, perasaan itu valid. Namun, memaksa partner FWB untuk pacaran denganmu juga salah. Sama halnya dengan lelaki yang menguntit dan meneror perempuan, itu juga salah.

Bagi sebagian orang, praktik FWB tidak cocok dan sangat tidak disarankan. Sebagai manusia, kita harus tahu kapasitas dan menggunakan kuasa untuk menolak hal yang kita tahu tak mampu menghadapi konsekuensinya. Saya pun tidak menyarankan kamu untuk coba-coba, terutama perempuan, karena perempuan rentan untuk dimanipulasi dan eksploitasi.

Praktik FWB memang sering kali dipakai untuk memanipulasi dan mengeksploitasi perempuan, karena itu kita harus bisa menggunakan kuasa untuk mengatakan tidak pada ajakan FWB yang dirasa berpotensi terjadinya eksploitasi. Dan, jika ia menggunakan dalih feminisme, tentunya feminisme tidak membenarkan eksploitasi seksual atas nama kesetaraan gender.