Seks, Ulasan Buku

Kenapa kamu harus baca buku Headscarves and Hymens oleh Mona Eltahawy

Buku ini saya dapatkan ketika saya membaca artikel mengenai 9 Wanita Feminis Beragama Yang Harus Kamu Ketahui (9 Baddass Feminists of Faith You Should Know). Tokoh yang membuat saya sangat terkesan adalah Mona Eltahawy, seorang jurnalis asal mesir yang memperjuangkan hak hak wanita. Dan ketika saya tahu dia menulis sebuah buku Headscarves dan Hymens: Why the Middle East needs a Sexual Revolution (Kerudung dan Selaput Dara: Mengapa Timur Tengah membutuhkan Revolusi Seksual) saya merasa saya harus segera memilikinya.

Mungkin buku ini terdengar sangat tabu dan tak pantas jika dieedarkan di Indonesia karena akan banyak yang beranggapan bahwa hal ini akan berdampak buruk. Namun buku ini mengajarkan banyak hal mengenai hak hak wanita. Hak-hak wanita yang tak luput pula dari agama. Mona Eltahawy mengambil refrensi dari banyak hukum yang berlaku dinegara-negara Timur Tengah yang dekat dengan kehidupan agama.

Eltahawy membahas hak hak wanita dari sudut agama, hukum hingga kebutuhan biologis. Namun ia tak menyalahkan agama sedikit pun, malah dia sangat memuji kisah kisah para Nabi yang berfokus pada kehormatan wanita.

Eltahawy mengupas hukum-hukum di Negara Timur Tengah mengenai hak-hak wanita yang sangat tidak menguntungkan wanita sama sekali. Di Saudi Arabia, wanita tak memiliki hak sama sekali. Mereka tak bisa menyetir, mengambil keputusn sendiri hingga menentukan siapa pria yang akan mereka nikahkan. Semua ditentukan oleh Ayah si wanita. Senang tidak senang, mau tidak mau seorang wanita di Saudi Arabia harus menerima nasibnya. Hingga akhirnya wanita tersebut menikah, semua keputusan yang menyangkut hajat hidup wanita akan dipindahkan dari ayahnya kepada suaminya. Kejadian seperti ini masih terjadi di Yaman, Mesir, dan lain lain.

Walaupun sudah ada beberapa negara yang mensahkan hak-hak wanita namun jika undang-undang tersebut bertentangan dengan undang-undang yang menjustifikasi tindakan laki-laki maka, undang-undang tersebut tidak berlaku.

Dalam beberapa kisah pribadi yang Eltahawy tutur, ia pernah ditanya kenapa dia tidak memakai niqab (cadar/penutup wajah) oleh seorang wanita yang memakai niqab ketika ia sedang dalam kereta dikota Kairo, Mesir, ia kemudian menanyakan kembali mengapa ia harus menutup wajahnya. Lalu wanita tersebut menganalogikan Wanita dengan Permen. “Bayangkan kalau ada permen yang terbuka, kamu pilih mana? Permen yang tertutup atau yang terbuka.”

“Memangnya saya permen?” sahut Eltahawy.

Disini saya sadar, seringkali masyarakat terutama pria yang meberikan standar ganda pada wanita. Menganalogikan wanita sebagai permen dan benda benda lainnya. Sehingga nilai wanita seperti sama halnya dengan benda yang mereka bisa beli. Maka tak sering kita temukan wanita-wanita cantik di Indonesia yang terpincut oleh kekayaan pria-pria.

Pola pikir ini yang rasanya membuat Eltahawy dan tentu saja pembaca seperti saya geram. Sebegitunyakah wanita dibendakan oleh masyarakat? Pola pikir ini tidak saja terjadi dinegara timur tengah, namun hal ini juga terjadi di Indonesia disekitaran kita, hanya saja kita masih terbendung rasa bersalah dan takut jika kita tak mengikuti pola pikir yang ada.

Eltahawy kemudian menjelaskan mengenai praktik Female Genital Mutilation atau sunat pada gadis gadis kecil yang masih dilakukan oleh banyak pihak dinegara-negara timur tengah. Prosedur sunat pada gadis-gadis pun bermacam-macam dijelaskan. Banyak yang beranggapan hal ini dilakukan agar wanita tidak mempunyai gairah seksual dan tak boleh menikmati hubungan seks. Praktik ini dilakukan ketika anak gadis menginjak pubertas sehingga meninggalkan trauma yang mendalam.

Praktik ini hingga sekarang masih terjadi, yang awalnya dilakukan oleh mantri hingga tenaga medis. Namun karena PBB akhirnya menekan bahwa tindakan ini sangat merugikan dan tak ada untungnya sama sekali, maka beberapa negara di timur tengah akhirnya mensahkan undang-undang untuk melarang praktik tersebut. Walaupun sudah disahkan namun masih ada yang melakukannya diam-diam hingga saat ini.

Eltahawy pun menjelaskan praktik poligami yang dilakukan mengatasnamakan agama. Para pemuka agama ditimur tengah selalu merujuk pada Nabi Muhammad yang melakukan poligami. Mereka selalu mencari alasan untuk membenarkan hasrat seksual laki-laki. Padahal kalau dilihat, Nabi Muhammad melakukan poligami setelah Siti khadijjah meninggal dan beliau menikahi janda-janda yang sudah jelas lebih tua dari Nabi Muhammad, bukan wanita-wanita muda..

Begitu pula dengan polemik menikahi anak dibawah umur. Para pemuka agama selalu merujuk pada Nabi Muhammad yang menikahi Siti Aisha ketika masih belia. Hal itu selalu dibenarkan. Dan hukuman pada gadis-gadis kecil sangat pantas jika Ayah mereka mencurigai mereka sudah tidak perawan. Hal ini akhirnya menjadikan dasar memperjuangkan batas pernikahan pada wanita.

Kenapa para pemuka agama ini tidak merujuk pada pernikahan Nabi Muhammad dan Siti Khadija? Jika segala hal sesuatunya selalu di kaitkan pada Nabi Muhammad maka sudah seharusnya mereka menjadikan pernikahan mereka sebagai contoh: tetap menikah dengan satu wanita hingga akhir hayatnya. Atau mempromosikan menikah dengan wanita kaya raya yang beda belasan tahun.

Jikalau dilihat terjadi kesenjangan yang tidak adil. Mau dilihat dari sudut manapun jelas negara-negara tersebut memiliki standar ganda dan perlakuan yang tak adil.

Coba bayangkan:
Wanita-wanita ditimur tengah dididik dan didoktrin bahwa melakukan hubungan seksual adalah dosa besar. Kemaluan mereka dimutilasi dan terjadi trauma psikis dan fisik. Kemudian mereka dinikahkan dengan pria yang bukan pilihannya. Bagaimanakah Wanita dipaksa untuk menikmati hubungan seksual?

Sedangkan dalam beberapa Hadis disebutkan bahwa hubungan seksual menjadi kenikmatan kedua belah pihak bukan hanya satu pihak saja.

Begitu banyak yang Eltahawy ungkapkan mengenai perilaku yang tidak adil serta standar ganda yang ditujukan pada wanita. Hal ini bukan saja ditulis dari sudut pandang feminis namun diangkat dari pengertian agama, sehingga siapapun yang membaca tak akan merasakan bahwa penulis bias.

Pengalaman pribadi Eltahawy yang mendalam juga ia ungkapkan serta pencarian mengenai jati dirinya. Ia menceritakan bagaimana ia memutuskan untuk memakai jilbab hingga ia akhirnya melepasnya, pelecehan yang ia rasakan ketika melakukan ibadah haji, hingga eksplorasi seksual yang ia putuskan untuk rasakan.

Mungkin banyak yang beranggapan bahwa Feminis adalah gerakan yang salah dan sebuah kebencian terhadap agama, namun ketika ditelaah lagi agama pun mengajarkan wanita untuk menjadi feminis dalam beberapa hal walaupun tidak semua.

Sayangnya buku ini tak terdapat di Periplus dan tinggal satu di Kinokuniya yang akhirnya saya beli seharga Rp. 337.000. Namun harga tersebut tidak ada apa-apanya dibanding pemahaman yang saya dapati. Saya akhirnya dapat memahami seksualitas dan bagaimana saya memaknai hak atas tubuh saya, dan hal itu adalah hal yang sangat tabu dibicarakan, bahkan saya tak dapat membicarakanya dengan ibu dan teman saya.