Ketika Perempuan Berkuasa Atas Dirinya, Ulasan Buku Perempuan di Titik Nol
Buku ini cukup memberikan saya sebuah terapi kejut. Pasalnya buku ini sangat jujur dan gamblang menceritakan pengalaman perempuan namun tetap elegan dan kuat.Saya bisa memahami apa yang dirasakan Firdaus, tokoh sudut pandang pertama yang menceritakan kehidupannya. Dan saya dapat membenarkan apa yang ia lakukan terhadap germo yang berusaha memilikinya. Buku berjudul Perempuan di Titik Nol adalah sebuah cerita yang ditulis oleh Nawal El Sadawi yang kala itu sedang melakukan penelitian terhadap perempuan yang di penjara. Buku ini kemudia di terjemahkan oleh Amir Sutaarga dan diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Nawal kemudian merasa berhutang untuk menulis mengenai kisah Firdaus, seorang tahanan penjara yang akan dihukum mati karena membunuh germonya.
Buku ini diterbitkan di tahun 1975. Pada masa itu Nawal berprofesi sebagai dokter. Sayangnya buku ini tenggelam dari banyak buku wajib baca feminis karena Nawal berasal dari negara non-barat, tak berkulit putih kaukasia, dan berasal dari negara bekas penjajahan. Oleh karena itu penting sekali kita mengangkat ini kembali sebagai salah satu karya yang wajib dibaca untuk dapat memahami ketidakberpihakkan dunia kepada perempuan.
Walaupun buku ini adalah sebuah cerita mengenai memoir seorang perempuan tapi kau tak perlu memahami cerita ini dengan teori feminis yang menjelimet. Cukup dengan memahami dan mengikuti alur ceritanya kamu dapat mengerti apa yang dialami Firdaus dan sebagian besar Perempuan yang dikondisikan untuk menjadi subordinat dalam sistem yang menempatkan lelaki menjadi pusat dunia dan menjadi tergantung pada perempuan.
Firdaus mengawali kisahnya dengan menceritakan masa kecilnya. Dari ayahnya yang tak pernah menyayanginya, teman kecilnya yang memberikan ia mengenai rangsangan seksual pertamanya, pamannya yang melakukan kekerasan seksual padanya dari kecil hingga ia dinikahkan pamannya kepada seorang lelaki tua berbau busuk dan pelit. Firdaus kemudian berhasil kabur dan bekerja sebagai pelacur.
Firdaus berusaha menghidupi dirinya sendiri dengan berbagai cara. Apapun itu ia berupaya untuk bisa tetap bertahan hidup di dunia yang maskulin dan tak berpihak pada perempuan dengan tetap memiliki harga diri dan kebebasan.
Puncak dari buku ini ialah, ia menyadari bahwa dunianya diciptakan oleh lelaki. Perempuan diperdaya untuk menjadi tak berdaya dan dieskploitasi untuk diperbudak sebagai seorang istri dengan sebutan mulia. Menjadi pekerja seks adalah satu-satunya cara ia dapat hidup bebas dan mandiri. Namun di balik itu, pekerja seks juga pekerjaan yang diciptakan oleh lelaki melalui pemiskinan perempuan dan diskirminasi sistem. Bagi Firdaus, menjadi pekerja seks adalah pekerjaan yang lebih terhormat ketimbang menjadi istri yang diperbudak dalam penjara pernikahan. Pernikahan tak lain hanyalah prostitusi dan perbudakaan yang dilegalkan karena pada kenyataannya perempuan didomestikasi dan dieksploitasi sedemikian rupa tanpa mendapatkan bayaran. Firdaus adalah wujud nyata pemikiran perempuan mengenai institusi pernikahan itu sendiri.
Seumur hidup saya, ketika ada lelaki yang mengajak saya menikah dengan berbagai syarat dan tuntutan seperti mengharuskan bisa masak dan mengurus rumah tangga, saya langsung berfikir buat apa saya menikah jika saya hendak dijadikan budak gratisan seumur hidup saya. Untungnya saya tidak pernah mengatakan ya karena saya tahu nilai saya. Saya yang menentukan nilai saya sendiri, bukan lelaki. Itu juga yang dilakukan Firdaus. Firdaus menentukan harganya sendiri, ia tak membiarkan lelaki menguasainya seperti sebelum-sebelumnya.
Buku ini adalah cerita yang dapat membangunkan kita dari mimpi palsu patriarki. Jika kita mengharapkan lelaki menyelamatkan kita, maka yang terjadi adalah kita akan diperbudak kembali oleh lelaki itu sendiri. Jangan sampai kita menaruh harga diri kita dalam genggaman lelaki. Kita yang menentukan nasib kita sendiri.
Apa yang Firdaus lakukan adalah melawan dengan memberdayakan dirinya sendiri dan tak bergantung pada lelaki. Ia tak lagi mengizinkan lelaki menguasainya bahkan ia pun menolak menikah lagi terbutki dari perasaan bahagianya ketika ia bisa meraih kekayaan dan kenyamanannya itu sendiri. Ia memahami bagaimana uang dapat membebaskannya dari segala diskriminasi sosial. Namun ia juga paham uang dapat juga menjatuhkannya ketika uang itu sendiri dikuasai oleh lelaki.
Walaupun demikian saya merasa beberapa penerjemahannya kurang pas. Mungkin karena yang menerjemahkannya adalah seorang lelaki sehingga saya kurang menangkap beberapa maksudnya. Saya merasa bahwa buku ini patut diterjemahkan ulang dan sampul bukunya didisain kembali agar dapat menarik perhatian para pembaca di tanah air.
Walaupun buku ini terbit di tahun 1975, pengalaman Firdaus masih sangat relevan hingga hari ini. Masalah kemiskinan, kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan semuanya masih ada. Sehinga buku ini pantas dijadikan buku wajib bacaan baik untuk perempuan dan lelaki di masa sekolah sehingga membentuk kesadaran kritis dan perspektif adil gender sedini mungkin.
Dari buku ini kita juga dapat membuka ruang diksusi bagaimana selama ini perempuan tidak mendapatkan ruang untuk mengenyam pendidikan, meraih jabatan pekerjaan tinggi tanpa harus memberikan seks kepada atasan, serta menberdayakan dirinya untuk tidak begantung pada orang lain terutama lelaki lagi.
Sejak saya menyelesaikan buku ini, saya menjadi penasaran mengenai sosok asli Firdaus. Namun sulit sekali menemukan dirinya dan tak mungkin pula Nawal membocorkan identitasnya. Namun saya rasa Firdaus ada di dalam diri saya dan setiap perempuan yang hendak berani melawan tirani patriarki serta mimpi palsu patriarki.
Firdaus lebih berani dari saya. Keberanian dan kenekatan Firdaus untuk tak bergantung pada sistem dominasi patriarki adalah inspirasi yang harus dimiliki setiap perempuan. Oleh karena itu kita harus menentukan sendiri harga diri itu tanpa mengantungkan nasib pada lelaki.