Ngaku Anak Kiri Tapi Otak Patriarki
Suatu ketika laki-laki yang mendaku dirinya dari kelompok resistance mengatakan bahwa pergerakan perempuan hari ini tidak tahu akar penindasan. Menurutnya, gerakan perempuan terkotak-kotakkan.
Duh, rasanya ingin tepok jidat! Jidat dia, maksudnya.
Bisa-bisanya seorang lelaki ‘kiri’ (???) menghakimi apa yang dialami perempuan. Kemudian, ia berargumen bahwa menolak laki-laki dalam ruang diskusi perempuan adalah bentuk politik identitas.
Lah, bagaimana bisa lelaki yang tidak mengalami penindasan seperti perempuan berbicara soal pembebasan perempuan, kemudian mendikte perempuan bagaimana seharusnya membebaskan diri? Sementara, mereka tidak mau berkaca pada pengalaman mereka sendiri yang tentu jauh berbeda.
Lupa ya, dalam masyarakat patriarkis, nyatanya yang begitu menderita ya perempuan. Oh, ini bukan ingin berlomba-lomba ‘siapa yang paling’ atau gimana lho. Sebab penderitaan bukanlah perlombaan.
Jadi, kenapa juga perempuan masih harus mengikuti pola pikir dan tuntutan laki-laki yang katanya kiri itu, lalu bergerak sesuai dengan keinginannya? Nggak gitu, kamerad!
Kalau kamu memang aktivis gerakan kiri, mendaku feminis pula, tapi masih terus mengatur-atur bagaimana perempuan bersikap dan bergerak, itu sih pengekangan. Diomelin sama eyang Emma Goldman, lho!
Lantas, apa bedanya dengan otak patriarki yang kerap mengusik kerja-kerja gerakan perempuan? Tidak memahami kebutuhan dan ketubuhan perempuan, tapi ingin mendikte dengan konsep pergerakan yang bisa jadi mau-maumu saja. Selalu skeptis dengan perlawanan perempuan, meski apa adanya.
Hal itu saya alami sendiri. Sewaktu menggunakan tarian Jawa dalam unjuk rasa, seorang laki-laki aktivis (lagi-lagi katanya kiri) sempat nyeletuk, “Jawa kan feodal.” Ia nyeletuk begitu tanpa melihat dan memahami apa makna dari tarian tersebut. Padahal, tarian itu menggambarkan bagaimana perempuan dituntut untuk ‘cantik’ dan saling bersaing dalam masyarakat patriarkis.
Ya gitu deh, suka atau tidak, masih banyak laki-laki aktivis yang tidak memahami perempuan ketika berupaya re–claim atas apa yang selama ini bikin mereka terkekang. Tarian tadi juga bisa dibilang sebagai alat perlawanan.
Hal yang lebih menyebalkan terjadi ketika saya memutuskan untuk mengadakan diskusi buku di markas salah satu partai. Partai yang sering dinyinyirin netizen sebagai partainya anak muda borjuis.
Jadi ceritanya, ada kelompok (( pembebasan )) dari Jakarta yang mengunggah foto diskusi tersebut dengan tulisan, “Feminis Ngehek.” Padahal, mereka nggak hadir dalam acara, apalagi mendengarkan isi diskusi yang membedah buku saya itu.
Selama diskusi, saya pun terus menyinggung bagaimana perempuan-perempuan yang menjadi pasien saya ditindas oleh kapitalisme dan patriarki, serta tidak punya akses terhadap pendidikan dan ekonomi. Bagaimana perempuan bisa melawan, jika umur 20 tahun sudah punya 2 anak? Sementara, suaminya tidak mengizinkan sang istri bekerja ataupun sekolah, padahal penghasilan si suami tak mencukupi.
Kalau sudah begitu, apakah kamu bisa cekokin mereka dengan segala macam teori yang njlimet, lalu menanyakan apakah patriarki atau kapitalisme yang menindas mereka?
Duhh…
Belum lagi, ketika Hari Kebangkitan Perempuan pada 22 Desember. Selama ini, kita selalu mengenal tanggal itu sebagai Hari Ibu. Padahal, dalam sejarah, tanggal 22 Desember adalah hari saat pertama kali diadakan Kongres Perempuan Indonesia pada 1928.
Terlepas bahwa arti “ibu” bisa diartikan banyak hal sebagai sapaan untuk menghormati, namun narasi yang berkembang hari ini adalah ibu sebagai perempuan yang sudah melahirkan. Makna ini tidak hanya dipersempit oleh Orde Baru, rezim Orde Lama juga melakukan hal serupa pada awal 1950-an.
Sejak tahun 1928 hingga hari ini, tuntutan perempuan Indonesia masih sama. Perempuan pra-kemerdekaan Indonesia sudah berbicara soal harga susu yang mahal, masalah poligami, perkawinan usia anak, dan lainnya. Pada masa itu, perempuan sudah memahami bagaimana kolonialisme dan imperialisme mensubordinasikan perempuan.
Lalu, kamu sekarang masih mempertanyakan apakah kapitalisme atau patriarki yang duluan menindas perempuan? Ya mereka saling berkelindan dalam menindas perempuan. Ngapain lagi meributkan mana yang lebih dulu?
Yang penting adalah bagaimana perempuan saling menguatkan persaudarian dan solidaritas. Kita pun harus membagi tugas dalam melawan patriarki dan kapitalisme yang terus menggerus ruang perempuan. Jadi, gerakan perempuan tidak terkotak-kotakkan.
Gerakan perempuan bekerja dan bergerak di berbagai sektor, karena perempuan ada dalam segala lini kehidupan. Lelaki tidak bisa sekonyong-konyong mendikte bagaimana perempuan melawan, sebab laki-laki tidak mengalami beban ganda atau bahkan berlipat-lipat ganda akibat fungsi tubuhnya. Perempuan ditindas karena ia mengalami menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Tapi ada pula perempuan yang ditindas karena tidak bisa menstruasi, melahirkan, dan menyusui.
Tidak perlu mendikte bagaimana perempuan harus bergerak. Pergerakan kami bukan untuk mendapatkan afirmasi dari lelaki, karena kita sama-sama setara. Ini bukannya anti-kritik, oh tidak.
Kalau kamu lelaki ingin mengkritik gerakan perempuan, maka mulailah dengan berbagi tugas domestik dengan perempuan. Mulailah dengan melakukan pekerjaan merawat anak dan keluarga. Mulailah memahami kebutuhan dan ketubuhan perempuan.
Selama ini, laki-laki merasa bebas mengkritik karena tidak menghadapi beban-beban domestik dan pekerjaan seperti itu, kan?
Kami pun saling menggilir mic atau pengeras suara agar suara perempuan dari berbagai sektor bisa terdengar. Tidak ada yang terkotak-kotakkan, karena kami saling berbagi ruang. Panjang umur persaudarian!