Anak Perempuan Butuh Panutan Yang Lebih Beragam
Sewaktu saya kecil, saya ingat bagaimana sinetron Indonesia mempengaruhi pandangan saya terhadap perempuan. Seringkali gambaran perempuan yang ada di TV jadi terbawa pada kehidupan nyata saya, walau terkadang ada beberapa hal yang sangat fiktif.
Saya juga melihat hal serupa dengan anak-anak perempuan yang masih SD. Jika ditanya mereka mau jadi apa saat besar nanti, banyak yang menjawab menjadi artis atau menjadi youtuber. Memang tidak ada yang salah menjadi artis atau bahkan youtuber yang dapat membawa konten-konten edukatif, namun sayangnya tidak ada variasi pilihan untuk perempuan selain dari yang terpampang di media.
Bahkan jika ditanya dan kita lihat di media sosial, banyak anak perempuan di bawah umur bercita-citakan untuk menikah semuda mungkin. Media sosial dibanjiri dengan gerakan untuk menikah muda dan membuat perempuan merasa bersalah jika tidak menikah. Jika dilihat gerakan ini kencang sekali sehingga tak jarang kamu menemukan cerita-cerita tentan perempuan dinikahkan di usia dini.
Tentu saya memiliki keistimewaan untuk mengakses hiburan yang lebih beragam karena saya berasal dari keluarga yang cukup mampu untuk mengakses internet. Saya bisa mengakses tontotnan yang karakter perempuannya memberikan saya penuh aspires dan inspirasi. Saya akhirnya terpapar dengan ide-ide tentang perempuan yang memiliki ambisi dan cita-cita. Namun akses terhadap internet saja tidak cukup.
Lingkungan seseorang turut mepengaruhi bagaimana perempuan menilai dirinya. Banyak perempuan yang tidak memiliki panutan perempuan yang lebih tua yang memiliki jalan hidup yang berbeda, seperti menikah di usia tiga puluh dan memilih menempuh karirnya. Jikapun seseorang menikah di usia tigapuluhan, maka keluarganya akan menstigmanya dan menakut-nakuti anak perempuan di dalam keluarga untuk tidak menjadi seperti dia.
Saya pernah melihat almarhumah ibu saya sendiri menggunjing tentang keponakannya yang tidak kunjung menikah. Padahal ibu saya sendiri menikah di usia tigapuluhan. Tentu kita tidak bisa menyalahkan beliau karena ia terlahir dan dibesarkan dalam kultur patriarki. Ia adalah korban patriarki yang tidak tahu ia dirinya adalah korban serta tidak memiliki sumber daya yang sama seperti saya sekarang.
Setelah saya mengenal sepupu saya lebih dekat, justru saya ingin menjadi seperti dia. Maksudnya seperti dia adalah memiliki pemikiran yang cukup dewasa dan kreatif, serta memiliki karir yang mantap. Terkait urusan dia menikah di usia tigapuluhan, saya sebenarnya tidak perduli. Yang saya lihat adalah ia menemukan orang yang membuatnya bahagia, dan siapa sih yang tidak ingin mendapati pasangan yang membahagiakan dirinya.
Malah sepupu saya membuktikan bahwa kamu tetap bisa menemukan cinta di atas usia tigapuluh dan tetap bahagia.
Selain sepupu saya, ada tiga dokter gigi senior yang menjadi rekan saya. Mereka adalah pemilik klinik dimana saya bekerja. Ketiga dokter gigi ini adalah perempuan-perempuan yang menikah di pertengahan tigapuluhan, dan mereka membuktikan bahwa tak ada yang salah menikah di usia tersebut. Terlebih mereka melakukannya ketika mereka merasa sudah siap.
Saya memang beruntung memiliki lingkungan yang memberikan saya contoh bahwa ada banyak hal yang bisa diraih, serta tidak ada yang salah dengan menikah di atas tigapuluh tahun. Justru karena saya mengenal mereka, saya jadi menolak untuk menikah terlalu cepat dan mengutamakan untuk memenuhi potensi saya sebelum membangun keluarga.
Tapi tidak semua perempuan dikelilingi oleh perempuan-perempuan yang bisa dijadikan panutan hidupnya. Yang ada perempuan dikeliling oleh suara bising yang menerornya untuk segera menikah dan memiliki keturunan. Banyak perempuan yang tidak memiliki sistem pendukung bahkan sumber daya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Anak perempuan dinikahkan di usia dini hanya untuk membantu meringangkan perekonomian keluarga. Jika memang perempuan dianggap sebagai beban lantas kenapa tidak membiarkan perempuan sekolah sehingga ia bisa berdaya dan bekerja menghasilkan uang?
Jika anak adalah beban, mengapa tidak anak lelaki dinikahkan juga untuk meringankan perekonomian keluarga? Anak lelaki dibiarkan sekolah hingga ia bisa berdaya dan bekerja, namun perempuan dipaksa untuk menikah agar tenaganya bisa dieksploitasi untuk melakukan kerja reproduksi secara cuma-cuma. Anak perempuan dilihat sebagai objek yang bisa dipertukarkan dan dia besar tanpa bisa berdaya menghidupi dirinya sendiri.
Cara kita melihat anak perempuan dan lelaki menentukan bagaimana kita membesarkan anak-anak kita dan memberikan contoh panutan yang layak ditiru. Bahkan seringkali perempuan dibesarkan dengan tujuan mendapatkan suami yang dapat menghidupinya, bukan diengan tujuan untuk bisa berdaya memenuhi kebutuhan dan menggapai potensi hidupnya sendiri.
Perempuan dibesarkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan orang lain, namun bukan untuk dirinya sendiri. Ia dibesarkan sebagai objek bukan subjek dan penulis takdirnya.
Sudah saatnya kita memberikan panutan-panutan yang lebih beragam kepada anak perempuan kita sehingga ia tahu, bahwa ia memiliki banyak pilihan untuk memenuhi dan menggapai potensi hidup terbaiknya.