Ceritaku, Personal

Benarkah perempuan terlalu mandiri tidak bisa mendapatkan pasangan?

Tempo hari ketika saya sedang meminta ibu-ibu tukang pijat langganan saya untuk memijat saya, dia tak sengaja mengintip ketika sedang swiping atau memilih-milih profil di aplikasi kencan melalui telpon genggam sayaKami bercanda sedikit tentang mencari jodoh, tapi kemudian dia menyeletuk:

“Kamu sih menjadi perempuan terlalu mandiri.”

Kalimat itu ditujukan kepada fakta bahwa saya sampai sekarang belum memiliki pasangan.

Saya kembali bertanya “Kalau saya tidak mandiri darimana saya bisa menghidup diri saya sendiri dan mendapatkan pasangan yang terbaik?”

Frase “perempuan terlalu mandiri sehingga sulit mendapatkan lelaki” ini seringkali dilontarkan kepada perempuan yang terlalu sibuk bekerja. Saya sebenarnya bingung dengan kalimat ini.

Coba bayangkan kalau perempuan tidak punya penghasilan, kepada siapakah dia akan bergantung? Orangtuanya sudah pensiun. Ke suami? Kalau tidak punya suami bagaimana?

Lagipula upaya untuk mendapatkan pasangan itu membutuhkan modal yang tidak kecil. Terlebih jika kita sebagai perempuan mendambakan calon pasangan yang berkualitas.

Di dunia yang patriarkis ini, realitanya nilai perempuan masih diukur dari kecantikannya. Perempuan mengeluarkan modal untuk datang ke kencan pertama. Dia harus dandan dan menggunakan pakaian yang terbaik. Menggunakan parfum agar teman kencannya terkesima. Apakah itu bukan pengeluaran juga? Alas bedak yang terbaik bisa harganya jutaan dan baju termanis bisa ratusan ribu bahkan jutaan.

Belum lagi untuk mendapatkan kencan pertama kita harus bergaul di lingkungan yang tepat. Kita mengeluarkan uang untuk transportasi dan makan untuk berada di tempat-tempat tersebut. Kalaupun kita memakai aplikasi kencan, kita masih mengeluarkan uang untuk telpon genggam, pulsa internet, listrik hingga terkadang membayar aplikasi kencan untuk mendapatkan profil pasangan terbaik dan pilihan orang-orang yang eksklusif.

Selain fisiknya, perempuan juga dilihat dari kepintarannya. Untuk berada di lingkungan yang tepat, perempuan harus mendidik dirinya sendiri dengan buku dan seminar serta mengglontorkan jutaan rupiah untuk ikut kursus dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas diri.

Untuk bisa bertahan didunia ini, kita harus kerja. Untuk kerja pun kita harus mengeluarkan modal untuk makan, transportasi, perangkat elektronik hingga terkadang harus mengikuti berbagai acara jejaring untuk mendapatkan rekanan kerja dan dikenal orang. Itu semua biaya yang tidak sedikit.

Tulisan ini terkesan bahwa perempuan harus mengeluarkan dana sebanyak itu dan hidupnya kok berkisaran tentang mencari jodoh ya? Sebenarnya buat siapapun yang hendak mencari jodohnya, baik perempuan maupun lelaki juga mengeluarkan modal untuk mendapatkan pasangan. Lelaki bekerja agar dia bisa berada dipergaulan yang tepat sehingga mendapatkan perempuan yang dia anggap menarik baik secera fisik dan intelektual.

Lelaki juga sama sibuknya seperti perempuan ketika ia hendak meningkatkan kualitas hidupnya sendiri dan mendapatkan pasangan yang terbaik. Kita semua berusaha tapi kenapa kok seringkali perempuan tidak dilihat usahanya? Wajah cantik dan rambut panjang ini tidak secara alami terjadi karena semuanya butuh perawatan.

Kalau misalkan komentarnya adalah saya terlalu sibuk maka itu masuk akal. Saya memang terlalu sibuk karena saya bekerja untuk memenuhi pengeluaran saya. Belum lagi kalau kita ingin mendapatkan pasangan yang terbaik kita harus menempatkan diri di lingkungan yang mengenalkan kita ke individu yang berkualitas.

Begitu pula dengan orangtua kita yang selama ini membesarkan kita dan memberikan kita pendidikan. Orangtua kita menaruh kita di sekolah sekolah terbaik agar kita mendapat pendidikan yang dapat membuat kita bertahan hidup dan pergaulan kita dapat membantu kita saat kita kerja dan mencari pasangan kelak.

Lantas kalau perempuan tidak mendanai itu semua sendiri, siapa yang akan mendanainya apalagi kalau orangtuanya sudah tidak bisa atau tidak ada.

Di artikel ini saya mau menekankan bahwa upaya untuk mendapatkan pasangan kita perlu mengeluarkan modal. Tentu saja hal ini bisa sangat bias kelas karena untuk urusan mendapatkan pasangan saja kok hanya orang-orang tertentu yang dilihat dapat memiliki pasangan yang terbaik. Tapi bukan itu maksud saya.

Tentunya kita mencari pasangan yang sepadan dengan diri kita dan dapat kita sanggupi gaya hidupnya. Pada kenyataannya kita menginginkan pasangan yang memiliki nilai hidup yang sama serta tingkat ekonomi dan status sosial yang setidaknya kurang lebih setara dengan kita sehingga kita bisa bertahan dalam hubungan dan mengimbangi pasangan kita.

Saya tidak mengatakan bahwa kita harus ke salon tiap bulan atau punya keanggotaan gym untuk mendapatkan pasangan, tapi kalau kita menginginkan orang yang rupawan dan menjaga badan, setidaknya kita harus mau mengeluarkan modal untuk menyamai calon pasangan kita. Kita pun tidak perlu memaksakan diri jika hal upaya-upaya tersebut tidak cocok dengan gaya hidup kita.

Bahkan ketika kita tidak sedang mencari pasangan, perempuan pun harus tetap bekerja menghidupinya sendiri. Ketika suatu hubungan tidak berhasil dan perempuan harus melewati masa bersedih, ia harus mengeluarkan uang untuk menghibur diri dan memulihkan diri. Ini semua adalah pengeluaran yang perempuan sendiri harus tanggung dalam upayanya mendapatkan pasangan

Hidup perempuan tentunya bukan tentang berkisar mencari suami atau pasangan. Ini adalah beberapa persen bagian hidupnya jika ia ingin berupaya mendapatkan pasangan. Perempuan perlu bekerja dan uang untuk terus bertahan hidup dan mengaktualisasi diri.

Lantas mengapa frase perempuan terlalu sibuk itu ditujukan kepada perempuan lajang yang tak kunjung mendapatkan pasangan? Karena masyarakat beranggapan bahwa perempuan lajang yang tak berrumah tangga seharusnya di rumah saja mengurus rumah tangganya sendiri. Apa yang mau diurus kalau tidak ada ada kegiatan di luar rumah? Baju apa yang mau saya cuci kalau saya tidak beraktifitas? Saya mau cuci piring siapa kalau saya tidak makan?

Dalam kasus saya, daripada saya sibuk menghamburkan uang, saya memutuskan untuk bekerja tiap hari di tempat-tempat yang berbeda untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Bahkan saya kembali lagi bersekolah dan mengikuti kursus-kursus.

Saya akui saya memang terlalu sibuk, tapi itu karena saya tidak punya suami dan anak. Saya secara sadar memilih untuk menyibukkan saya daripada saya menghabiskan diri untuk hal-hal negatif. Saya memilih untuk meningkatkan kapasitas dengan berbagai cara.

Saya belum memiliki pasangan karena menurut saya belum ada yang pas. Kalau ditanya apakah karena saya terlalu sibuk sehingga tidak ada waktu, nyatanya setiap minggu ada saja kenalan baru yang mengajak saya menikah tapi saya tolak karena tidak sejalan nilai hidupnya dengan saya.

Kalaupun perempuan terlalu mandiri, memangnya kenapa? Apakah lelaki mau digantungkan hidupnya sampai mengganggu kesehariannya? Apakah lelaki mau diinvasi ruang-ruang pribadi karena ada perempuan yang terus menyeretnya? Apakah para lelaki didunia ini sanggup membiayai gaya hidup yang diinginkan setiap perempuan? Saya yakin jawabannya tidak. Bahkan ketika sudah menikah banyak lelaki yang tidak ingin digantungkan oleh perempuan karena saya yakin bebannya terlalu berat.

Berrelasi itu butuh modal. Walaupun uang bukan segalanya tapi semua butuh uang. Banyak perceraian yang terjadi ketika salah satu pihak yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan keluarga tidak bisa memenuhinya lagi terlebih jika perempuan yang bergantung kepada lelaki, atau ketika lelaki tak sanggup menahan egonya sehingga merasa terserang ketika pasangan perempuannya memiiki penghasilan lebih tinggi.

Kita perlu sadar bahwa upaya untuk mendapatkan pasangan yang sesuai dengan keinginan kita itu membutuhkan  usaha. Usaha-usaha ini pun tidak murah dan gratis. Ia membutuhkan uang bahkan  untuk memperbaiki diri dan memulihkan diri juga butuh uang. Bahkan kalau meningkatkan diri hanya sekedar membuka video motivasi di youtube itu juga uang karena kita butuh perangkat elektronik, pulsa internet dan listrik untuk bisa melakukan itu semua. Dan tentunya siapa sih yang tidak mau punya pasangan yang bisa mandiri dan tetap berbagi kehidupan bersama?

Menjadi mandiri adalah cara perempuan dan manusia untuk bertahan hidup dan meningkatkan kualitas hidupnya. Dan tak seharusnya hal ini dilihat sebagai alasan mengapa perempuan tak kunjung mendapatkan pasangan atau bahkan sebagai ancaman.

Kemampuan untuk mandiri seharusnya tidak perlu ditakuti oleh masyarakat. Sejatinya itu bisa menjadi nilai dalam mencari pasangan. Tentu saja saya juga mendambakan pasangan yang mandiri yang bisa mengurus hidupnya sendiri, sehingga dia atau saya tidak perlu bergantung terkait kehidupan berrumah tangga melainkan selain mengisi dan memberi warna baru. Bergantung menandakan bahwa ada ketidaksanggupan dari salah satu pihak sehingga jika ada yang tak berjalan sesuai fungsinya maka akan ambruk, namun jika kita saling mengisi maka kita tidak perlu khawatir jika salah satu tidak bisa menjalankan fungsinya, kita bisa saling mengisi dimana kita dibutuhkan.

Contohnya kalau kita hanya menggantungkan satu sumber penghasilan maka jika orang yang bekerja memberikan penghasilan tidak bisa melakukan tugasnya lagi, maka rumah tangga akan mudah ambruk. Tidak herak kamu melihat banyak perempuan menggugat cerai suaminya lantaran tak bisa menafkahi. Namun saat keduanya berpenghasilan dan saling mengisi, maka ketika ada yang tak bisa berpenghasilan, maka rumah tangga tidak akan mudah goyah dan kebutuhan tetap diusahakan untuk terpenuhi.

Kalau perkara apakah saya masih membutuhkan lelaki (dalam konteks heteroseksual), tentu saja butuh, tapi tidak untuk menggantungkan hidup saya melainkan untuk saling mengisi hari-hari saya sebagai pasangan.

Kita seharusnya merayakan perempuan-perempuan yang mandiri dan resilien bukan menakuti perempuan atau merasa terancam dengan kehadiran mereka.