Yang Mesti Dipahami Biar Nggak Asal Nyebar Video Intim
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Voxpop pada tanggal 2 Desember 2020.
Mendokumentasikan hubungan intim bersama pasangan bisa jadi menyenangkan dan meningkatkan gairah serta kualitas hubungan. Namun, menyetujui untuk merekam atau memfoto kegiatan intim itu bukan berarti setuju untuk disebar ke publik.
Sama halnya ketika seseorang menyetujui untuk berhubungan seksual, bukan berarti setuju untuk hamil pula – meskipun telah menikah. Itulah mengapa perlu pencegahan seperti menggunakan kontrasepsi.
Sayangnya, itu belum dipahami banyak orang.
Setiap ada pesohor, terutama perempuan, yang video atau foto hubungan intimnya tersebar, masyarakat selalu menjadikannya bahan objektifikasi dan perundungan. Nasib serupa juga dialami perempuan lainnya ketika dokumentasi kegiatan intimnya tersebar.
Masyarakat pun berlomba-lomba menyebarkan konten tersebut seakan menjadi ajang pembuktian bahwa mereka punya kuasa atas tubuh orang lain, terutama perempuan. Bahkan, tak sedikit yang ikut menyebarkan itu untuk mendongkrak popularitas akun di media sosial atau platform masing-masing.
Oh ya, sekarang sepertinya tidak relevan lagi menyebut penyebaran konten intim sebagai revenge porn. Lebih tepatnya, ya penyebaran video, foto, atau bentuk lainnya tanpa izin. Sebab tidak semua orang yang menyebarkan konten intim itu bermotif balas dendam. Bisa jadi mereka pun tidak kenal dengan beberapa perempuan yang dokumentasinya mereka simpan dan sebarkan.
Selain itu, diksi revenge porn sudah tak lagi digunakan karena membenarkan tindakan balas dendam terhadap perempuan. Seolah-olah tindakan itu dibenarkan karena perempuan melakukan sesuatu yang tidak diinginkan lelaki, semisal lelaki itu diputusin.
Penyebaran konten intim tanpa izin juga termasuk kekerasan berbasis gender online (KBGO) dan begitu sering perempuan terkena dampaknya, serta mendapatkan pesan-pesan mesum yang tidak diinginkan.
Pada kenyataannya, setiap ada konten intim yang tersebar, perempuan lah yang selalu kena perundungan. Sedangkan lelaki yang ketahuan tidur dengan seseorang, publik malah menyanjungnya bak pejuang yang berhasil menaklukkan banyak perempuan.
Stigma yang dihadapi perempuan lebih berat dan selalu dikaitkan dengan anak dan keluarganya. Identitasnya sebagai seorang ibu, istri, dan anak akan selalu dipermasalahkan dan orang-orang terdekatnya disorot untuk dilihat bagaimana respons mereka.
Itulah perbedaan yang begitu nyata ketika perempuan dan laki-laki yang konten intimnya tersebar atau disebar tanpa izin. Lelaki dipuji karena dianggap perkasa, sedangkan perempuan dinilai sebagai aib.
Jadi, apa yang harus kita lakukan ketika ada video atau foto intim yang tersebar di internet? Jangan menyebarkannya, dan tidak perlu merespons konten tersebut. Ini bukan berarti kita diam. Kita patut menghargai privasi orang lain dan menghentikan siklus kekerasan itu dengan tidak menyebarkannya.
Jika ingin bersuara, mending bantu lapor ke pengelola platform bahwa ada penyebaran konten intim. Atau, bisa ikut menyerukan agar orang lain tidak ikut-ikutan menyebarkannya. Sebab, kalau terus menyebarkan, kita berkontribusi terhadap rantai dan siklus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan.
Lagi pula, apa sih untungnya menyebarkan konten intim orang lain tanpa izin? Yang ada malah bisa dijerat dengan UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Yah, walaupun ada pasal karet di UU ITE yang sering kali digunakan untuk mengkriminalkan perempuan. Tapi, penyebar konten intim bisa kena juga, lho!
Lantas, bagaimana kalau mau seru-seruan merekam video intim bersama pasangan? Ada beberapa langkah yang aman. Semisal, tidak menyorot wajah atau menyembunyikan bagian tubuh yang mudah dikenali, seperti tanda lahir atau tato.
Pastikan juga menyimpan dokumentasinya di ponsel yang tidak banyak diketahui orang, atau di tempat penyimpanan digital yang aksesnya sangat ketat dan terenkripsi.
Lalu, bagaimana kalau tetap tersebar? Kalau tidak ada wajahnya, kan tidak perlu khawatir. Kalaupun ada wajahnya, berarti itu bisa dibilang hanya rekayasa. Tidak perlu repot-repot mengklarifikasi karena situasinya malah jadi runyam. Jika memang harus diklarifikasi, pahami dulu konsekuensinya dengan melakukan konsultasi hukum.
Namun, jika benar-benar merasa terancam, hubungi lembaga bantuan hukum atau menghubungi SAFEnet yang bisa bantu memberikan konsultasi hukum terkait penyebaran konten intim ini.
Memang ada baiknya berhati-hati dan lebih mawas diri sebelum merekam atau memfoto konten intim. Pun, menguatkan diri dengan mengetahui bagaimana cara menghadapinya, termasuk jika mendapat ancaman penyebaran konten pribadi itu ke publik.
Dengan begitu, kita juga bisa memahami bagaimana jika ada perempuan lain atau bisa saja kamu sendiri, yang mengalami kasus penyebaran konten intim dan kekerasan seksual ini.