Surat untuk Mbak Inul soal Keperawanan
Halo mbak Inul Daratista, apa kabar? Semoga sehat ya mbak. Begini, mbak kan sempat share di Instagram soal gaya pacaran anak jaman sekarang yang nyah nyoh nyah nyoh hal biasa alias keperawanan udah nggak penting lagi.
Saya mau info aja nih, tapi jangan kaget ya. Keperawanan itu cuma mitos lho. Semacam standar ciptaan manusia yang menempatkan lelaki di atas segalanya dan apa-apa dilihat dari sudut pandang lelaki. Kalau mbak pernah dengar ada orang yang suka melarang perempuan bekerja, nggak boleh ini-itu, bolehnya di rumah aja, nah itu masih satu pikiran.
Tentu mbak Inul nggak setuju kan kalau perempuan dilarang bekerja di luar rumah? Kalau nurutin pikiran yang kayak gitu, mungkin mbak nggak akan setenar dan punya bisnis seperti sekarang.
Sampai-sampai dulu Rhoma Irama melarang mbak Inul goyang ngebor. Pahit kan, mbak? Nah, itu juga sama. Perilaku yang mengekang perempuan. Kalau mbak pernah dengan istilah patriarki, ya itu biang keroknya.
Patriarki juga membuat standar keperawanan. Biar perempuan tunduk dan mau diatur-atur. Tapi kalau lelaki boleh ngapa-ngapain, apalagi nggak ada tandanya tuh kalau lelaki masih perjaka. Padahal, selaput dara cuma selapis daging tipis yang belum tentu semua perempuan punya, karena setiap perempuan diciptakan berbeda-beda.
Sama kayak bang Rhoma dulu yang melarang mbak Inul goyang ngebor, supaya mbak mau tunduk dan mau diatur. Kebetulan waktu itu kan mbak Inul jadi idola baru, fansnya makin banyak, jadi orang-orang pengennya mbak yang tampil.
Nah, sama dengan seks. Perempuan dilarang menikmati seks, yang boleh menikmati seks laki-laki aja. Sebetulnya mereka yang mengekang perempuan melalui standar keperawanan merasa takut kalau perempuan punya banyak pilihan. Perempuan bisa meninggalkan laki-laki tersebut lantaran ketahuan dia nggak bisa bikin perempuan menikmati seks. Kalau lelaki mudah meninggalkan perempuan karena udah nggak senang lagi, perempuan pun bisa sebaliknya.
Segitu takutnya lho lelaki yang maunya sama perempuan perawan aja. Lagi pula, pikiran itu cuma bikin perempuan saling bersaing untuk urusan yang nggak penting.
Dengan siapa kita berhubungan seks pertama kali, baik dalam status pranikah maupun menikah, pengalaman itu sama-sama nggak bisa dibeli dan diukur-ukur nilainya. Apalagi dengan seberapa besar mahar ketika pernikahan. Logika ‘perawan mahal harganya dan sakral’ – yang merawanin kudu suaminya – seolah-olah menegaskan bahwa lelaki harus bayar perempuan untuk seks melalui pernikahan. Itu sih logika transaksi.
Nawal El Saadawi melalui bukunya Perempuan di Titik Nol juga menyinggung soal itu. Saya pun nggak mau dibayar pakai mahar, terus jadi budak seks dalam rumah tangga. Mending cari duit sendiri daripada bergantung pada lelaki.
Masalah perempuan yang dibuat ketergantungan secara ekonomi pada lelaki sebetulnya juga menjadi perhatian saat ini. Perempuan dibikin nggak berdaya. Bahkan, banyak perempuan nggak berani cerai, meski suaminya KDRT. Khawatir ekonominya terpuruk kalau pisah.
Yah, kalau kayak mbak Inul sih enak. Udah punya bisnis di mana-mana. Tapi bagaimana dengan perempuan miskin yang terpenjara oleh budaya patriarki dalam rumah tangganya?
Mereka pun bingung kalau cerai, selain masalah ekonomi, mereka akan mendapat stigma buruk sebagai janda dan digoda sembarangan lantaran janda dianggap sebagai penggoda lelaki. Makanya, banyak dari mereka yang bertahan dalam pernikahan, meski penuh dengan kekerasan. Termasuk, diperkosa pula oleh suaminya karena menolak berhubungan seks.
Mbak Inul kan salah satu perempuan berdaya di negeri ini, saya yakin mbak bisa memahami ini. Bagaimana kuatnya cengkeraman patriarki, perilaku yang mengutamakan laki-laki. Perilaku yang melarang perempuan bekerja di luar rumah, perilaku yang dulu sempat melarang mbak goyang ngebor, dan menganggap keperawanan sebagai standar penilaian baik atau buruknya, suci atau tidaknya perempuan.
Pernyataan mbak Inul soal keperawanan malah bikin perempuan saling membenci, bahkan membenci dirinya sendiri karena nggak perawan. Masa sih, ketika aktivis perempuan dan figur publik berkampanye soal mencintai tubuh sendiri, mbak malah memicu orang untuk membenci tubuhnya sendiri?
Dulu, para aktivis perempuan lho yang ikut belain mbak Inul ketika goyang ngebor dicaci-maki dan dilarang-larang. Perempuan harus saling bela untuk mencapai kesetaraan. Sama-sama mendukung perjuangan perempuan, apalagi tanggal 8 Maret adalah Hari Perempuan Internasional. Jangan mau diadu, apalagi ikut mengadu-adu.
Nah, dulu aja perempuan udah saling bela untuk meraih haknya dalam bergoyang, masa sekarang malah menjatuhkan perempuan yang udah nggak perawan?