Perspektif

Tara Basro dan ‘Body Positivity’ sebagai Perlawanan yang Revolusioner

Pernyataan Kominfo bahwa foto Tara Basro yang diunggah di media sosial mengandung unsur pornografi dan melanggar UU ITE menunjukkan semakin sempitnya ruang gerak perempuan. Padahal, Tara hanya ingin menyampaikan pesan tentang body positivity dan mencintai diri sendiri.

Tentang bagaimana sempitnya ruang gerak perempuan di ranah publik sebelumnya juga ditunjukkan oleh Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty yang bilang bahwa perempuan bisa hamil saat berenang satu kolam dengan laki-laki. Diihh… gitu amat sih sama perempuan.

Lantas, apakah aktor laki-laki yang mengunggah foto semi telanjang seperti Tara Basro akan diancam dengan UU ITE juga? Helloo… apa kabar iklan celana dalam dan iklan parfum yang dibintangi oleh model lelaki berbadan kekar dan menampilkan putingnya yang lucu itu?

Saya yakin banyak perempuan heteroseksual dan lelaki homoseksual di luar sana diam-diam memiliki fantasi seksual dengan lelaki tersebut. Tak ada yang salah dengan nafsu seks. Yang salah kalau kemudian melakukan pelecehan.

Dalam konteks Tara Basro, lagi-lagi kita bisa melihat bagaimana biasnya masyarakat menilai tubuh perempuan. Pemikiran yang melulu menganggap tubuh perempuan sebagai objek seks sudah sangat mendominasi.

Hal itu terjadi karena pembiaran terhadap narasi yang terus memojokkan perempuan oleh masyarakat patriarkis atau masyarakat yang menempatkan lelaki di atas segalanya dan menggunakan pandangan lelaki (male gaze) sebagai standar penilaian.

Apa yang dilakukan oleh Tara Basro merupakan perlawanan dirinya atas tuntutan masyarakat terhadap perempuan dan tubuh yang ideal. Melalui unggahannya, aktris terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2015 ini berpesan bahwa ia mencintai dan menerima tubuhnya apa adanya.

Mencintai tubuh kita sendiri merupakan salah satu perlawanan yang revolusioner. Sebab, tindakan itu bisa membebaskan diri kita dari sesuatu yang menindas, dalam hal ini konstruk pemikiran masyarakat tentang standar tubuh ideal.

Selama ini, konstruk tentang tubuh ideal dilanggengkan untuk membuat perempuan benci dengan dirinya sendiri. Itulah kenapa perempuan kerap dituntut untuk pergi ke gym, membeli suplemen, bahkan sampai ada yang depresi hingga bunuh diri karena tidak tahan dengan tekanan.

Lantas, apakah kita akan terus melanggengkan pandangan yang nyata-nyata menyakiti, bahkan bisa membunuh perempuan itu? Tentu saja tidak. Kalau perlu, hantam dengan keras!

Berbagai kecaman dan ancaman terhadap Tara Basro, termasuk dengan pasal karet UU ITE, bisa jadi lantaran masyarakat benci melihat perempuan yang berkulit cokelat dan memiliki lingkar perut berlebih. Sebab, selain misoginisme, masyarakat patriarkis bisa mengidap fatphobia atau fobia terhadap orang berbadan besar. Fatphobia ini terus bersemayam, terbukti sering menjadi alasan suami menceraikan istrinya.

Sementara, banyak sekali bapak-bapak perut buncit menjemur tubuhnya pada sore hari dengan hanya menggunakan celana pendek. Itu kenapa nggak ada yang persoalkan ya?

Lagi pula, Tara Basro tidak sedang berusaha bikin kalian horny. Ya kalau kalian orangnya horny-an, itu urusan kalian. Masa jadi urusan Tara Basro? Toh, dia juga sedang berbicara dengan sesama perempuan yang memiliki warna kulit dan bentuk tubuh serupa dengan dirinya.

Jadi, pleaseee… nggak usah kegeeran!

Heran ya, belakangan ini makin banyak orang, lembaga, dan peraturan yang memojokkan perempuan. Ini nih risikonya kalau masyarakat kita sudah terlalu lama mengobjektifikasi tubuh perempuan secara berlebihan. Alhasil, hidup jadi tidak aman dan tidak nyaman. Giliran ada perlawanan, banyak yang kejang-kejang. Ciri-ciri masyarakat yang semakin konservatif, ya begitu.

Buktinya, muncul tuh RUU Ketahanan Keluarga. Segitu konservatifnya RUU tersebut sampai perempuan tidak diakui secara utuh. Dalam draf RUU yang problematik itu, perempuan dianggap tak layak menjadi kepala keluarga. Padahal, banyak perempuan yang justru menjadi tulang punggung keluarga, lantaran ditinggal begitu saja oleh suaminya.

Jika RUU Ketahanan Keluarga disahkan jadi UU, ruang gerak perempuan juga akan semakin sempit dan terpojokkan. Perempuan akan kesulitan bekerja di luar rumah untuk menafkahi keluarga. Ia bakal dianggap abai dan tak mengurus keluarganya menurut UU. Lah, memangnya di luar rumah ngapain? Rebahan?!

Belum lagi dengan Omnibus Law. Ini adalah wujud nyata bagaimana patriarki berkelindan dengan negara menggunakan struktur untuk menindas perempuan. Sebab, UU tersebut juga bakal mengecilkan ruang gerak perempuan di ranah publik.

Kalau sudah begitu, bagaimana perempuan bisa sekolah, bekerja, dan bersosialisasi? Tentu saja sulit. Dampaknya, perempuan kehilangan akses ekonomi alias miskin. Lalu, perempuan dibuat untuk ketergantungan dengan laki-laki. Ketika ingin mandiri, dituding mengabaikan keluarga. Ini kekerasan berlapis.

Kekerasan dan penyempitan ruang gerak perempuan sebetulnya tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia berproses melalui ideologi-ideologi yang menyelinap melalui berbagai propaganda. Kesannya sih berpihak, tapi sebenarnya mengecilkan ruang gerak perempuan. Semisal, ujaran “perempuan harus dilindungi, karena itu harus berpakaian tertutup dan jangan pulang malam-malam”.

Semua ini terjadi karena kekerasan terhadap perempuan terjadi secara sistematis. Sebab itu, kita harus menggandeng saudari-saudari kita dan para sekutu untuk melawan kekerasan sistematis ini.

Kamu bisa berkumpul bersama teman-teman perempuanmu untuk berunjuk rasa pada 8 Maret atau bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional. Mari, tunjukkan pada negara ini bahwa kamu menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.