Tuhan Juga Milik Perempuan Menstruasi
Kita pasti sering mendengar bahwa perempuan tak boleh ibadah atau bahkan memasuki tempat ibadah ketika sedang menstruasi. Perempuan yang menstruasi dianggap najis, jijik, jorok dan hina. Banyak sekali mitos seputar perempuan yang masuk ke rumah ibadah akan mendapatkan semacam kutukan. Entah mereka akan diikuti mahluk gaib atau akan mendapatkan keburukkan.
Apakah itu berarti perempuan yang bermenstruasi sebegitu hina di mata Tuhan? Apakah perempuan tak boleh bertemu Tuhannya saat ia sedang bermenstruasi? Bukankah Tuhan milik umatnya termasuk perempuan yang menstruasi?
Larangan-larangan yang tak mengizinkan perempuan masuk ke dalam rumah ibadah sebenarnya datang dari anjuran dan saran kepada perempuan yang menstruasi. Hal ini dikarenakan tubuh perempuan yang bermenstruasi menggunakan banyak energi untuk melepaskan darah yang tak lagi dibutuhkan oleh tubuh untuk pembuahan. Secara otomatis, tubuh mengambil energi dari makanan yang kita makan sehari-hari untuk dapat mejalani proses alami dalam meluruhkan darah dari dinding rahim.
Sebenarnya ada semacam pemakluman terhadap perempuan yang menstruasi untuk tak beribadah, dan hal ini datang dari ajaran yang penuh kasih. Menstruasi adalah sebuah pengalaman biologis yang tak bisa dikendalikan kapan darahnya akan mengalir keluar dari vagina kita, sehingga perempuan tak bisa dipaksakan untuk beraktifitas penuh.
Gejala menstruasi sebelum dan sesaat menstruasi pun bukan sesuatu yang bisa kita kehendaki atau kita atur, seperti rasa lelah, sakit pada sendi, keram perut dan rasa pusing. Jika seseorang memiliki gejala tersebut, ia tak akan bisa beribadah secara lancar terutama jika ritual peribadatan tersebut melibatkan keharusan berdiri dan bergerak dalam jangka waktu yang lama. Oleh karenanya masuk akal jika perempuan disarankan untuk beristirahat, bukan dilarang masuk ke rumah ibadah dan beribadah.
Selain itu, anjuran itu muncul karena saat itu, belum ada temuan sanitasi yang dapat menampung darah menstruasi secara memadai, sehingga ditakutkan darahnya akan tercecer di tempat ibadah, dan menganggu orang lain. Namun kini sudah ada pembalut, tampon hingga cawan menstruasi yang dapat menampung darah menstruasi, sehingga ketakutan bahwa tempat ibadah akan kejatuhan darah menstruasi sudah tak relevan di hari ini.
Tentu konsep ini belum dapat diterima banyak orang, namun dengan logika yang menjauhkan perempuan dari ibadah, apakah perempuan tak boleh bertemu dengan Tuhan saat bermenstruasi?
Tuhan menciptakan perempuan dengan tubuh yang memiliki rahim disertai dengan hormon-hormonnya. Perempuan diberikan amanah untuk bereproduksi serta melanjutkan peradaban. Darah yang keluar dari tubuhnya adalah hasil dari kehendak Tuhan yang menghendaki darah itu keluar. Ia juga memberikan pilihan melalui akalnya untuk berkreasi dalam menciptakan alat untuk menampung darah yang keluar dari rahimnya. Menstruasi adalah karunia Tuhan kepada umatnya.
Hormon tubuh perempuan juga bergejolak, ia mejadi lebih sensitif dan peka. Justru di saat seperti ini tubuhnya selaras dengan jiwanya. Jiwa yang peka bisa menjadi perjalanan spiritual tersendiri bagi seorang perempuan. Di saat seperti ini seringkali ada kebutuhan batiniah untuk merasa lebih dekat dengan sesuatu, terutama dengan sebuah kesadaran yang lebih besar daripada jiwa dan raganya. Justru dengan kondisi tersebut, jiwanya bisa merasa lebih terkoneksi dengan Sang Maha Pencipta. Ia memiliki kemampuan untuk merasa lebih dekat dengan transenden.
Bayangkan sedihnya perempuan dilarang, dibuat merasa terhina, dijauhkan dengan penciptanya di saat jiwa dan raganya membutuhkan untuk bertemu, dipeluk dan bercengkrama dengan sang Ilahi. Bisa-bisa perempuan dapat membenci dirinya sendiri karena tubuhya dijauhkan dari Tuhan oleh masyarakat. Kebencian pada tubuh yang menstruasi dapat berdampak pada kondisi psikologisnya. Bisa jadi perempuan membenci dirinya sendiri karena ia bermenstruasi.
Kontradiksi sekali bukan? Di saat Tuhan menciptakan tubuh kita dengan kemampuan menstruasi, namun di saat yang bersamaan masyarakat membuat perempuan membenci tubuh yang diberikan oleh Tuhan hanya karena darah yang tak bisa ia kendalikan melalui berbagai mitos dan konstruksi sosial. Lantas bagaimana kita dapat mencintai Tuhan jika kita membenci tubuh dan kemampuan yang Ia berikan?
Kebencian pada tubuh pernah saya alami karena saya mengalami menstruasi. Setiap bulan saya harus membeli pembalut yang terbuat dari plastik untuk menampung darah saya. Uang yang saya keluarkan cukup banyak dan itu membuat saya kesal dan lelah. Belum lagi dengan deretan mitos dan ‘larangan’ yang membuat kita bolak-balik mempertanyakan keabsahan dan nalar dibalik konsep itu semua. Bagaimana saya tak sakit hati dengan tuntutan untuk ‘bersih’ namun tetap dituntut untuk punya anak?
Kebencian saya terhadap tubuh saya mulai berubah menjadi cinta ketika saya menemukan cawan menstruasi. Temuan sanitasi untuk menstruasi ini dapat menampung darah saya, dan saya tak perlu terus membeli yang terbaru tiap tahun karena saya bisa menggunakannya kembali setiap bulan. Bentuk-bentuk cawan menstruasi yang beragam menawarkan berbagai alternatif kenyamanan dalam memastikan darah menstruasi yang keluar tidak menembus pakaian luar saya, sehingga vagina saya tetap dalam keadaan bersih dan tidak lembab.
Akhirnya saya dapat berekonsiliasi lagi dengan tubuh saya, terlebih ketika saya mulai meyakini bahwa Tuhan menciptakan tubuh saya dengan segala kemampuan untuk menstruasi. Tuhan menunjukkan kehendaknya pada tubuh saya melalui menstruasi. Luar biasa bukan bagaimana kita bisa merasa dekat dengan Tuhan melalui menstruasi?
Indra perasa yang peka saat menstruasi membuat jiwa saya merasa lebih selaras dan terkoneksi dengan kalbu. Waktu istirahat saya, saya gunakan untuk menjernihkan pikiran dan mengolah rasa. Di saat yang zen justru saya bisa bertemu dan menghadirkan Tuhan. Tuhan tidak jauh saat menstruasi, ia terasa lebih dekat. Saya bisa bertemu Tuhan kapanpun bahkan saat menstruasi.
Mitos-mitos yang mengatakan perempuan tak bisa beribadah saat menstruasi sudah tak bisa memengaruhi saya untuk tak beribadah. Melalui menstruasi, saya bisa merasakan kebesaran Tuhan melalui rahim saya, sehingga darah yang keluar bukanlah darah yang kotor dan hina seperti yang dianggap orang-orang. Terlebih akal yang diberikan Tuhan kepada manusia mampu membuat sanitasi perempuan menstruasi terjaga, memudahkan saya beraktifitas.
Pengalaman spiritual saya adalah koneksi saya yang paling privat dengan Tuhan saya. Mungkin Tuhan saya bukan Tuhan yang dipuja banyak orang, dan melalui menstruasi saya sadar, saya sebenarnya tidak membutuhkan validasi dari orang yang tak setuju dengan perempuan menstruasi yang beribadah.
Namun yang pasti Tuhan saya menciptakan saya dengan tubuh untuk dicintai dan untuk dikasihi. Karena Tuhan saya juga milik perempuan yang menstruasi.
Tulisan ini adalah hasil dari lokakarya bersama Wahid Foundation untuk menghasilkan Narasi Damai melalui #KamiNaratorDamai.