Perspektif

Mengenal Microevolution dari Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia

Kamu pasti pernahkah mendengar kritik yang dilayangkan kepada R.A. Kartini yang berbunyi seperti “Ah Kartini kan borjouis, tentu saja dia punya akses kepada pendidikan.” Ungkapan ini sekejap mengecilkan perlawanan yang dilakukan Kartini tanpa melihat konteksnya. Di masanya, perempuan yang membaca, menulis, belajar banyak bahasa hingga bertukar pesan dengan perempuan-perempuan di Belanda adalah sebuah perlawanan kecil yang dapat dilakukan perempuan dalam segala keterbatasan. Perlawanan kecil ini disebut dengan microrevolution.

Dalam webinar Kolokium Ulama Perempuan Seri #1; Mengapa Ulama Perempuan (di) Tenggelam (kan) dalam Sejarah? Refleksi Ulama Perempuan Abad XX-XXI, Samia Kotele, seorang kandidat doktoral dari Perancis memberikan definisi pada micrevolution atau gerakan mikro dari temuan penelitiannya dalam sejarah ulama perempuan di Indonesia. Gerakan mikro didefinisikan sebagai sebuah bentuk perlawanan kecil yang dilakukan oleh perempuan di dalam lingkungannya di tengah masyarakat yang masih melihat perempuan sebagai manusia yang inferior, untuk mendapatkan keadilan gender.

Samia kemudian mencontohkan gerakan Aisyiyah yang muncul pada tahun 1917 di era pra-kemerdekaan Indoesia. Perempuan-perempuan dari kelompok Aisyiyah ini hendak mengikuti Kongres Perempuan yang berada di kota yang berbeda. Di masa itu, untuk perempuan bisa keluar kota dan menghadiri pertemuan, tentunya ia akan mendapatkan banyak pertentangan, entah dari keluarganya, dari masyarakatnya hingga dari organisasinya. Namun apa yang dilakukan perempuan saat itu?

Para perempuan Aisyiyah bernegosiasi dengan pemimpin organisasi mereka agar mereka boleh pergi. Mungkin kesannya sepele, sekedar keluar kota untuk menghadiri sebuah acara, untuk ukuran perempuan moderen hari ini tidak artinya. Namun di zaman itu, sekelompok perempuan pergi keluar kota, untuk menghadiri Kongres Perempuan pula adalah sebuah langkah yang begitu maju.

Selain itu, untuk perempuan bisa berdiri di hadapan kongres yang berisikan perempuan dan lelaki dan berpidato adalah sebuah hal yang bisa dikatakan maju saat itu, terutama ketika gerakan sosial dan politik selalu diisi oleh lelaki.

Rohana Kudus kemudian dijadikan contoh oleh Samia sebagai sebuah microrevolution lainnya yang berada di luar pulau Jawa. Rohana menerbitkan Sunting Melayu. Walaupun diterbitkan dalam jumlah yang sangat sedikit, namun perempuan bisa menulis tanpa menggunakan nama pena, kemudian didengarkan oleh banyak orang adalah sesuatu yang memiliki dampak yang besar di masanya.

Apa yang dikemukakan oleh Samia, mengingatkan saya pada presentasi Ita Fatia Nadia, seorang sejarawan dalam sebuah webinar yang dilaksanakan oleh Perempuan Mahardhika berjudul Perempuan Muda Dalam Sejarah. Ita menceritakan bagaimana ia ke Belanda untuk mencari arsip koran yang ditulis oleh perempuan Indonesia bernama Siti Soendari yang menerbitkan majalah Wanito Sworo. Siti mengumpulkan tulisan, menyunting dan mencetak Wanito Sworo sendiri dan menyebarkannya untuk dibaca perempuan.

Menurut Ita, pada masa itu Siti dianggap sudah keluar dari lingkungannya yang sangat feodal. “Ia keluar dan berbicara tengan emansipasi. Ia berbicara mengenai bagaimana perempuan dipoligami dan bagaimana perempuan tidak bisa baca tulis. Ia memberikan pendidikan tak hanya kepada perempuan tapi juga kepada lelaki tentang poligami.”

Ita kemudian mengutip perkataan Siti Soendari, “Menerbitkan koran adalah langkah pertama, sambil belajar membaca, sambil membangun kesadaran politiknya.” Tentu perkataan Siti ini reolusioner sekali di masanya. Siapa sangka kita bisa membangun kesadaran politik dengan mengajarkan seseorang untuk membaca. Menarik bukan?

Selain menerbitkan koran, terdapat ruang pendidikan yang dibangun oleh Rohana Kudus dan R.A. Kartini memang dalam lingkup kecil namun mereka bangun berdasarkan kondisi kontekstual di masa itu. Mereka memberikan pendidikan kepada perempuan agar perempuan dapat berdaya.

Tampaknya, tidak adil jika kita menyepelekan apa yang dilakukan perempuan-perempuan di masa tersebut dengan sebutan “ah dia borjuis” dan meremehkan apa yang dia lakukan. Samia pun mengatakan bahwa bukan urusan peneliti atau tugas peneliti untuk mencari tahu bentuk gerakan yang paling ideal.

Dalam melihat gerakan perempuan dalam sejarah Indonesia, kita harus bisa melihat konteksnya apa. Bagaimanakah perempuan di masa itu diperlakukan? Bagaimanakah ruang gerak perempuan? Bagaimanakah akses pendidikan itu tersedia? Kita tidak bisa menyamakan perlawanan gerakan perempuan dengan angkat senjata atau ikut perang. Kita harus memahami konteks kehidupan perempuan di saat itu seperti apa.

Kartini mungkin saja berasal dari keluarga ningrat dan dianggap istimewa sehingga dapat mengakses pendidikan, namun untuk keluar dari lingkungannya tidaklah mudah. Perempuan ningrat di masa itu justru lebih banyak dikekang ruang geraknya daripada perempuan proletar. Kartini memang bisa menempuh pendidikan yang orang lain tak bisa miliki, tapi ia tetap terbelenggu dalam konstruksi sosial di masa itu.

Upaya untuk terus membandingkan mana gerakan perempuan yang paling ideal justru menjadi kontradiktif sekali. Terdapat banyak meme dan tulisan di internet yang membandingkan gerakan perempuan gelombang pertama di Amerika dan Inggris dengan gerakan perempuan Indonesia hari ini tapa melihat konteksnya apa. Padahal gerakan perempuan gelombang pertama yang memperjuangkan hak pilih untuk perempuan juga mendapatka banyak pertentangan di masanya.

Apa yang dilakukan perempuan di masa lalu dan sekarang sekecil apapun itu tetaplah sebuah perlawanan. Hal itu bisa sekecil bernegosiasi dengan orangtua kita tentang sekolah dan pendidikan yang ingin kita tempuh atau menolak pernikahan dini apalagi dijodohkan dengan orang lain. Sehingga tak sepatutnya kita saling membandingkan dan menghakimi mana gekaran yang lebih baik. Justru kita harus bergerak sesuai konteks yang ada.

Pergerakan perempuan berangkat dari pengalaman perempuan yang terdekat dengan dirinya dan membumi bersama perempuan lainnya. Karena perlawanan perempuan sekecil apapun itu memberikan makna pada hidupnya.

Simak sejarah gerakan perempuan bersama Indonesia bersama Samia Kotele dan Ita Fatia Nadia:

https://www.facebook.com/plugins/video.php?height=314&href=https%3A%2F%2Fwww.facebook.com%2Fmubadalah.id%2Fvideos%2F375686534325869%2F&show_text=false&width=560&t=0

https://www.facebook.com/plugins/video.php?height=314&href=https%3A%2F%2Fwww.facebook.com%2Fmahardhika.org%2Fvideos%2F2849826395341698%2F&show_text=false&width=560&t=0