Katanya Adil, tapi Kalau Sama Perempuan Nggak tuh
Di Indonesia, belum ada hukum yang melindungi korban kejahatan revenge porn. Sebab itu, korban revenge porn yang sebagian besar adalah perempuan, malah dijadikan tersangka karena dianggap membuat konten pornografi.
Alih-alih melaporkan ancaman dan/atau penyebaran foto maupun video seksi, perempuan dapat dijerat dengan beragam undang-undang. Mulai dari UU ITE, UU Pornografi, hingga pasal dalam KUHP tentang pencemaran nama baik.
Karena hukum tidak memihak kepada perempuan, saudari kita seperti Baiq Nuril dan Anindya Joediono yang hendak melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya, malah dijerat balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. Apalagi bagi korban revenge porn yang hendak melaporkan ancaman dan/atau penyebaran foto maupun video seksinya, justru semakin merasa terancam dengan pasal berlapis.
Nahas sekali nasib perempuan hari ini. Dimanipulasi dengan segala rayuan manis hingga ancaman untuk mau memberikan tubuhnya kepada penjahat kelamin. Sayangnya, hukum kita juga tidak mengenal relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual.
Aparat penegak hukum kita mungkin ada yang paham, tapi dengan alasan perangkat hukum yang tidak memadai, jadi terkesan membela pelaku. Apalagi, pelakunya adalah laki-laki dalam kultur masyarakat yang patriarkis.
Dalam kondisi seperti itu, banyak orang yang menganggap bahwa ini salah perempuan karena ‘mau’ mengirim atau mendokumentasikan foto maupun video seksinya. Namun, mereka tahu bahwa lelaki punya kemampuan untuk bujuk rayu dengan segala gombalan dan janji bakal dinikahi.
Otomatis perempuan yang tumbuh dalam lingkungan patriarkis tidak memiliki kemampuan asertif untuk menolak permintaan lelaki, terlebih jika diiming-imingi janji yang belakangan hanyalah janji palsu. Inilah yang dimanfaatkan oleh para pelaku kekerasan seksual untuk memperdaya mereka.
Sebetulnya kasus-kasus seperti ini bukan cuma di Indonesia, di negara yang katanya negara maju pun kerap terjadi. Sebagai contoh, kasus Jeffrey Epstein yang merupakan seorang pemodal Amerika dan pelaku kejahatan seks.
Jeffrey Epstein melakukan perdagangan perempuan dan mempersiapkan perempuan di bawah umur untuk dijadikan pekerja seks. Perbuatan Epstein sebetulnya berkali-kali dilaporkan oleh banyak korban perempuan, tapi nyatanya Epstein hanya dipenjara satu hari dalam seminggu.
Hingga akhirnya, kasus ini mencuat di media massa karena melibatkan sejumlah tokoh yang punya pengaruh besar. Epstein pun dikabarkan bunuh diri beberapa saat sebelum dijatuhi hukuman. Namun, banyak yang berspekulasi bahwa ia dibunuh oleh lingkarannya, karena ada beberapa kejanggalan.
Terlepas dari itu, bisa dibayangkan bagaimana perempuan selaku korban kejahatan seks tetap berada dalam posisi yang sulit. Giliran ada perempuan yang terus gigih melawan demi kebenaran dan keadilan, biasanya diserang balik dengan tuduhan menyebarkan hoaks atau dianggap tidak memiliki bukti.
Hal itu juga dialami oleh perempuan difabel yang mengalami kekerasan seksual, karena ada anggapan bahwa si pelaku hanya akan melakukannya kepada perempuan ‘cantik’ tanpa disabilitas.
Padahal, kita tahu, kekerasan seksual bukan mengenai siapa yang menarik dan cantik, namun bagaimana seseorang berusaha menunjukkan kekuasaannya terhadap orang lain.
Kalau kamu mewawancarai para pelaku kekerasan seksual, mereka akan bilang bahwa korban pantas mendapatkan perlakuan tersebut. Pernyataan itu berusaha membenarkan tindakan pelaku yang ingin menunjukkan kekuasaannya terhadap otonomi tubuh orang lain.
Pelaku sebetulnya tahu bahwa perbuatan itu salah, namun ia tetap membenarkannya dengan pernyataan yang menyudutkan korban. Bahkan, jika ada bukti medis berupa visum atau lainnya, mereka akan mengabaikannya.
Di sisi lain, kabarnya bukti-bukti visum pemerkosaan sering kali tidak diperiksa, seperti di salah satu gudang kepolisian di Amerika. Ketika akhirnya diperiksa, pelaku yang memperkosa orang terdekat pernah memperkosa orang asing yang tak ia kenal. Bayangkan, jika aparat menyempatkan waktu untuk melakukan pemeriksaan melalui tes DNA, mereka bisa mengurangi kasus pemerkosaan.
Pengabaian seperti itu tentu menguntungkan si pemerkosa, sehingga masih banyak yang berkeliaran dan terus mengincar calon korbannya. Jika ada pembunuh berantai, maka ada pemerkosa berantai. Aparat mana pun tak boleh lalai, apalagi abai.
Siapapun pelakunya, jika sudah cukup bukti, ya sikat! ‘Solidaritas’ sesama lelaki dalam kasus kekerasan seksual jelas sangat berbahaya. Terlebih, kultur tersebut terus dipelihara oleh banyak lelaki dalam lingkungan yang patriarkis.
Lelaki yang waras seharusnya sadar bahwa itu terjadi di lingkaran mereka. Tentunya, mereka yang tahu itu salah akan meninggalkan pertemanan yang memelihara kultur predator seks dan mencoba menegurnya.
Ya, memang begitu kompleksnya persoalan ini. Sebab itu, kita perlu payung hukum yang benar-benar memihak korban, yang notabene sebagian besar perempuan. Selama ini, hukum dirasa tidak memihak, karena tidak ada perspektif keadilan gender dalam pembuatan undang-undang. Apalagi, dengan adanya kejahatan revenge porn yang belakangan ini marak seiring perkembangan dunia teknologi.
Tapi, jangankan itu, definisi kekerasan seksual saja masih belum jelas. Karena itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera disahkan menjadi UU. Definisi mengenai kekerasan seksual harus dapat menjawab permasalahan yang dialami oleh perempuan dan kelompok minoritas, seperti kelompok disabilitas dan keragaman ekspresi gender.
Kita tak bisa membiarkan ini terjadi terus menerus, sehingga kita harus aktif mendesak DPR untuk mengesahkan RUU ini. Kamu bisa mendukungnya melalui petisi ini dan menghubungi perwakilanmu di DPR. Bagaimana Pak, Bu, wahai anggota dewan yang terhormat?