Mengangkat Suara Perempuan Yang Terampas
Mungkin kamu tak akan pernah terfikirkan bahwa Indonesia memiliki sejarah yang cukup kelam. Bahkan hingga hari ini sejarah tersebut menyimpan luka lama yang dirasakan hingga hari ini. Lima puluh tahun yang lalu ada sekitar 5 juta penduduk Indonesia ditangkap, disiksa, dikubur hidup-hidup hingga dibunuh hanya karena bersinggungan atau memiliki kerabat yang berafiliasi dengan sebuah partai tanpa peradilan yang manusiawi.
Terlepas apapun ideologi politik yang kamu miliki, menangkap WNI tanpa melalui proses hukum yang adil tanpa diberikannya hak-haknya sebagai manusia merupakan bentuk kejahatan hukum. Persekusi yang dilakukan dimasa itu mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan serta memberikan celah untuk para penguasa disaat itu melanggengkan kekerasan dan menyebar fitnah keji untuk membenarkan pelanggaran HAM yang terjadi.
Perempuan-perempuan dari segala umur yang aktif dalam ranah sosial, kesenian hingga intelektual tertangkap dan dijadikan tahanan politik dan diasingkan kekamp-kamp hingga bertahun-tahun lamanya. Selama masa tahanan itu pula, perempuan-perempuan tersebut hidup dalam segala keterbatasan. Namun dibalik keterbatasan itu pula mereka terus berkarya.
Berangkat dari kondisi batin yang hancur, tahanan-tahanan perempuan tersebut mencari medium untuk meluapkan perasaannya. Musik menjadi sarana untuk menyalurkan dan menuangkan isi hatinya yang penuh dengan kegelisahan. Seperti Utati Koesalah yang ditangkap ketika ia berusia 22 tahun di Jakarta, ia membayangkan apakah ibunya yang berada di kampung tahu ia ditangkap atau tidak. Kerinduan akan ibunya ia tulis dalam lagu berjudul “Ibu” dimana ia berupaya untuk mengingat-ingat kenangan manis yang ia miliki bersama ibunya.
Penangkapan terhadap ribuan orang dikamp-kamp ini berdampak pada ribuan anak yang harus terpisah dari orangtuanya. Mereka harus meninggalkan anak-anak yang masih kecil sehingga banyak anak-anak yang dititipkan kesaudaranya yang terpencar. Berangkat dari rasa gelisah itulah Heriyani Busono menuliskan lirik-lirik “Lagu Untuk Anakku” di kamp Ambarawa.
Lihatlah pagi cerah indah anakku
Lihatlah mawar merah merekah sayangku
Secerah pagi indah hari depanmu
Semerah mawar rekah harapankuDua derita kubawa setia
Cita dan cinta lahirkan s’galaNan indah di hari mendatang sayangmu
Jadilah putera harapan bangsamu
Selain itu lagu-lagu yang lahir dibalik jeruji besi juga banyak yang lahir dari sebuah ironi. Tatkala kita berbahagia ketika sedang berulang-tahun, banyak sekali tahanan yang tidak merasa bahagia ketika ulang tahun. Sehingga muncullah lagu-lagu yang diciptakan sebagai penyemangat untuk tetap memiliki harapan akan sebuah masa depan yang lebih baik. Oleh karenanya Zubaedah Nungtjik AR yang ditahan di penjara Bukit Duri, menciptakan lagu sendiri untuk menyambut teman-teman sesama tahanan perempuan yang ulang tahun yang diberi judul “Salam Harapan”.
Bersama terbitnya matahari pagi
Mekar mewah mekarlah melati
Salam harapan padamu kawan
S’moga kau tetap sehat sentosaBagai gunung karang di tengah-tengah latan
Tetap tegak didera gelombang
Lajulah laju p’rahu kita laju
Pasti ‘kan mencapai pantai cita
Lusinan lagu tercipta dari ketidakberdayaan namun mereka dengan segala cara berusaha untuk tetap bertahan dalam berbagai kondisi. Lagu-lagu yang dihasilkan dibalik jeruji besi akhirnya didokumentasikan kembali oleh Utati Koesalah selepas mereka keluar dari penjara. Ketika mereka bebas pun mereka tidak lepas dari penjara stigma sosial yang harus mereka hadapi sebagai mantan tahanan politik.
Walaupun stigma sosial tersebut melekat erat, hal ini tidak menghentikan mereka untuk tetap menjalin silaturahmi antar sesama teman sepenjara setelah mereka keluar dari penjara. Berkumpul diantara teman-teman yang memiliki sejarah dimana keluarganya tertangkap menjadi sebuah cara untuk mengobati luka lama. Selain itu, mereka tetap terus berusaha untuk berdaya dengan terus melakukan kegiatan amal.
Karena seringnya mereka berkumpul, mereka tidak ingin perkumpulanya menjadi sia-sia, alhasil mereka membentuk sebuah paduan suara Dialita yang merupakan singkatan dari “Diatas Lima Puluh Tahun” karena yang tergabung adalah perempuan-perempuan diatas usia 50 tahun. Dialita kemudian meyanyikan lagu-lagu yang dihasilkan dari dalam penjara.
Dari lagu-lagu yang dikumpulkan dan dinyanyikan kembali oleh Dialita, telah menarik banyak musisi muda seperti Bonita dan Kartika Jahja bersama Institut Ungu untuk bergerak membuatkan konser berjudul Konser Perempuan Untuk Kemanusiaan: Lagu Untuk Anakku yang digelar pada 13 Desember 2017 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Konser ini berupaya menyampaikan pesan-pesan perdamaian dan persahabatan yang diusung oleh ibu-ibu Dialita.
Saya mendapatkan sebuah kesempatan berharga yang tak bisa saya lewatkan untuk membantu konser tersebut. Walaupun kontribusi saya sangat sedikit sebagai salah satu penggerak publikasi media sosial dan penerima tamu saat acara, saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga mengenai persahabatan, perdamaian dan solidaritas dari perempuan-perempuan yang ditahan. Alasan saya berkerja secara sukarela untuk konser tersebut karena saya sangat bersimpati atas tragedi yang menimpa mereka.
Konser yang melibatkan musisi seperti Sinta Nursanti, Endah Laras, Junior Soemantri untuk turut menata ulang lagu-lagu Dialita, sangatlah berkesan bagi saya, sebab tak akan ada lagi konser yang berupaya mengangkat suara-suara penyintas perempuan yang haknya terampas oleh negara yang sangat mereka cintai. Di era ketidakstabilan akan arah politik yang tak menentu, konser ini menjadi harapan untuk saya bahwa masih ada yang perduli akan kondisi kemanusiaan masa kini.
Apa yang terjadi pada perempuan-perempuan yang ditahan sebagai tahanan politk, dapat terjadi pada saya dan siapa saja oleh karena itu penting bagi saya untuk dapat membantu dan menunjukkan solidaritas saya. Mereka adalah ibu saya, nenek saya, saudari saya, dan sebagai sesama perempuan dan manusia sudah menjadi tanggung jawab bersama untuk membantu meluruskan sejarah serta memberi ruang kepada para penyintas untuk menemukan jalan rekonsiliasi antar negara dan dirinya sebagai manusia.
Hingga hari ini pemerintah Indonesia masih tak mengakui kejahatan yang dilakukan dimasa lalu. Bahkan setelah terselenggaranya International People’s Tribunal untuk kasus pelanggaran HAM dimasa lalu, pemerintah masih enggan untuk menemukan titik temu dan berdamai dengan penyintas.
Oleh karena itu sudah tugas kita sebagai sesama manusia, sebagai sesama perempuan untuk tetap terus bergerak bersama dan merangkul mereka yang berada dalam posisi yang tak beruntung. Melalui medium diskusi, film, teater hingga musik kita dapat membuka ruang diskusi yang berguna untuk saling mengedukasi serta memberikan pemahaman agar menumbuhkan rasa kasih antar sesama.