Maaf, Kami Memang Anak-anak yang Tak Bisa Dibanggakan Orangtua
Kamu pernah nggak merasa bahwa orangtuamu nggak pernah puas dengan segala pencapaianmu? Bahkan, ketika pencapaian itu melebihi rata-rata? Semisal, kamu dapat nilai 78 untuk Bahasa Inggris, sedangkan teman-temanmu rata-rata 65.
Namun, ayahmu merasa bahwa kamu seharusnya mendapatkan nilai 85, dan kamu dibuat merasa bodoh karena tidak mencapai 85. Alih-alih bangga dan merasa cukup dengan pencapaian itu, ayahmu malah terus membuatmu merasa tak berarti.
Atau, misalnya ibumu mengatakan bahwa perempuan jangan menjadi jurnalis, kemudian menyuruh kamu untuk menjadi dokter agar gampang dapat suami. Alih-alih mendorong agar bisa mandiri secara finansial dan hidup bahagia, ibumu malah mereduksi nilai-nilai yang ada pada dirimu, seolah-olah hidup perempuan ujung-ujungnya cuma untuk mendapatkan suami.
Contoh lainnya, ketika orangtua memaksa kamu menjadi PNS, padahal kamu merasa nggak akan cocok dengan lingkungan kerja PNS. Kamu malah memilih untuk menjadi penulis yang bisa menghasilkan sejumlah buku. Tapi tetap saja, orangtua merasa nggak bangga karena kamu bukan PNS.
Biasanya pola-pola seperti ini didapatkan dari orangtua Baby Boomers atau generasi yang lahir di antara tahun 1946-1964. Era ini adalah era paska Perang Dunia II, serta awal Kemerdekaan Indonesia. Dampak perang pun sampai ke Indonesia, karena ada perang ideologi antar Blok Barat dan Timur. Paham dan kelompok komunis diberangus.
Di era tersebut, keberhasilan seseorang ditakar dari berapa banyak uang yang ia hasilkan. Saat itu, profesi yang dianggap menjanjikan kestabilan dari segi penghasilan, antara lain PNS, polisi, tentara, dokter, insinyur, dan pengacara. Ini pula pilihan yang diberikan kepada anak-anak yang dilahirkan dari orang tua generasi Baby Boomers. Kapitalisme berhasil membuat orang menjadi individualis dan menakar segala sesuatunya dengan uang.
Kita sering mendengar hal itu datang dari orangtua yang menaruh harapan kepada anaknya untuk menjadi seseorang yang bisa mereka banggakan. Namun, mereka tidak pernah bertanya apakah hal itu membuat anak bahagia? Apakah anak mengalami tekanan atau tidak? Akhirnya, anak menyimpan segala emosi itu dalam dirinya.
Dengan keragaman profesi yang ada sekarang, seharusnya pilihan profesi tidak terbatas pada itu-itu saja. Begitu pula dengan cara anak mencapai kestabilan dan kemandirian finansial. Tentunya, itu tanpa tekanan dari orangtua yang hanya akan mengganggu kesehatan mental hingga bikin anak jadi depresi.
Orangtua terkadang hanya mencari kebahagiaan sesaat untuk diri mereka sendiri, sehingga cenderung nggak peduli dengan apa yang dirasakan atau diperjuangkan oleh anaknya.
Sebetulnya anak bisa memaklumi karena kondisi politik dan ekonomi dunia saat itu telah membentuk pola pikir orangtuanya. Namun, sadar atau tidak, perilaku tadi bisa merusak dan menyakiti anak-anak, bahkan dapat berimbas ke orangtua juga, sampai-sampai ada yang jatuh sakit.
Orangtua seperti itu umumnya nggak mau mengakui bahwa pola didik mereka sebetulnya sudah tidak tepat, bahkan bisa menimbulkan trauma pada anak. Orangtua malah terus mengejar agar anaknya bisa mencapai standar kehidupan yang mereka inginkan, meski itu belum tentu bikin anak bahagia.
Aneh memang, kalau ada orangtua yang terus memaksakan standar kehidupan yang mereka inginkan, padahal mereka pun tidak menjalani kehidupan anaknya.
Kini, beberapa sekolah mulai memberikan surat kepada orangtua murid ketika menerima hasil ujian anak. Guru-guru mengimbau agar orangtua bisa memahami anaknya yang tidak mendapatkan nilai sempurna di mata pelajaran tertentu. Sebab, mungkin saja minat dan bakatnya bukan di pelajaran tersebut. Bisa jadi di bidang lain, seperti musik, seni lukis, menyanyi, olahraga, dan lainnya.
Sebetulnya anak bisa memaafkan perilaku orangtua yang seperti itu. Namun, gimana caranya bisa berdamai dengan perilaku orang tua, ketika mereka yang memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan menyesali segala keputusan yang diambil oleh anaknya sendiri?
Yang menyedihkan adalah orangtua yang terus menerus mengecilkan niat dan usaha anaknya. Hal itu sering terjadi pada anak perempuan. Banyak anak perempuan di desa tidak diizinkan untuk sekolah tinggi-tinggi, karena masih menganggap dapur, sumur, dan kasur sebagai takdir seorang perempuan. Alhasil, si anak dilihat sebagai beban karena potensinya hanya diukur dari hal-hal berbau domestik yang tidak menghasilkan uang.
Anehnya, kalau anak perempuan dianggap sebagai beban, kenapa tidak terus sekolahkan mereka agar bisa mengembangkan potensi dan mandiri secara finansial, sehingga tidak membebani keluarga? Kenapa malah merumahkan mereka dengan tuntutan domestik?
Sekalinya perempuan bisa mengenyam pendidikan, eh malah hanya dipandang sebagai ‘nilai tambah’ untuk mendapatkan suami. Kalau sudah begitu, perempuan bakal mengalami beban ganda: beban kerja dan beban rumah tangga.
Anak-anak, terutama anak perempuan, yang memutuskan untuk tidak mengikuti standar dan tuntutan sosial kerap disesalkan oleh orangtua generasi Baby Boomers. Mereka mematahkan semangat dan mengecilkan hati anak hanya agar anak mengikuti kemauan mereka, bahkan sering kali mereduksi segala pencapaian anak.
Jadi, wahai orangtua, biarkan anakmu bahagia dengan pilihannya sendiri. Bukan memaksa anak untuk ini-itu. Yang ada malah bisa menyakiti anak, bahkan menyakiti dirimu sendiri sebagai orangtua. Tak ada orangtua yang ingin melihat anaknya tersakiti, bukan?