Mengapa Aksi Perempuan Direnggut? Hal-hal yang Terjadi di IWD 2020
Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) pada 8 Maret 2020 menuai banyak kontroversi. Sebab, ruang publik yang seharusnya aman untuk perempuan seketika menjadi tidak aman. Ini sangat disayangkan mengingat banyak perempuan muda yang pertama kali ikut aksi perempuan.
Aksi IWD 2020 yang berlangsung di Jakarta itu diikuti oleh barisan massa yang cukup beragam dan melibatkan berbagai lapisan yang datang membawa poster dan tuntutan. Ini menarik sekali karena perempuan begitu kreatif dalam menyuarakan keresahan mereka.
Publik pun diajak untuk berbicara mengenai hal-hal yang selama ini belum tersentuh. Salah satu contoh, seorang perempuan memakai baju yang dibuat dari pembalut untuk menunjukkan bagaimana menstruasi masih dianggap tabu. Ekspresi ini adalah bentuk perlawanan yang tak pernah ditunjukkan sebelumnya.
Ada pula aksi yang dilakukan oleh teman-teman perempuan Greenpeace yang membentangkan spanduk di jembatan penyeberangan berisi pernyataan “Perempuan Dilecehkan, Direndahkan, Diperkosa. LAWAN!” Kemudian, aksi juga dibarengi dengan teatrikal mengenai beban ganda yang dialami buruh perempuan.
Aksi IWD 2020 yang kebetulan hari Minggu itu dimulai dari jam 11 siang, ketika massa sudah berkumpul dan berbaris. Namun sayangnya, saya merasa aksi ini direbut. Yang seharusnya massa berjalan dan bergerak, malah ditahan dulu dengan orasi-orasi politik yang terlalu lama.
Biasanya, orasi perempuan dilakukan sambil berjalan dari titik kumpul menuju titik aspirasi, namun kelompok buruh terkesan mendominasi aksi. Atribut-atribut mereka pun seakan mayoritas, kelompok lain seperti minoritas dan tak punya tempat yang leluasa untuk bersuara.
Dominasi dan penguasaan diskursus perihal tuntutan aksi terasa begitu nyata. Katanya tuntutan itu untuk kepentingan rakyat, tapi mengapa orasinya hanya seputar Omnibus Law dan perburuhan saja?
Omnibus Law memang penting untuk diangkat, namun jangan lupa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Adat juga penting untuk terus diserukan. Belum lagi, kita harus menolak Rancangan KUHP dan RUU Ketahanan Keluarga yang juga berkelindan dengan Omnibus Law.
Kita tahu, kehidupan masyarakat adat pun terancam karena limbah pabrik dan perebutan lahan untuk pembangunan pabrik oleh pemilik modal. Dan, perempuan dari masyarakat adat lah yang paling terdampak karena hidup mereka erat dengan lingkungan. Walaupun Afina dari kelompok masyarakat adat ikut berorasi, namun kelompok buruh seperti tidak ikut menyuarakan dan terus mendominasi.
Momentum IWD 2020 yang direbut ini tidak menyentuh isu lingkungan sama sekali, bahkan pekerja rumah tangga dan buruh migran seperti tak ada suaranya. Koordinator lapangan yang berada di panggung hanya menyuarakan jargon-jargon ‘kiri’ terkait perburuhan dan Omnibus Law. Lantas, di mana isu tentang perempuan di Hari Perempuan Internasional?
Memang sih, kalau dilihat dari sejarahnya, Hari Perempuan Internasional berangkat dari perjuangan kelas oleh perempuan. Tapi, mengapa di IWD ini organisasi buruh luput tentang cuti haid dan cuti melahirkan, padahal bicara Omnibus Law?
Jika memang ingin bergerak, kepentingan perempuan termasuk buruh perempuan harus diperjuangkan bersama. Perempuan adalah oposisi terhadap negara yang melanggengkan kekerasan sistematis. Apalagi, buruh perempuan akan semakin termarjinalkan jika RUU Ketahanan Keluarga disahkan.
Masalah perempuan dari masa ke masa memang bertambah dan kita tak bisa mengusung satu isu saja. Tentunya, aksi IWD harus bisa mengikuti kebutuhan perempuan dari segala lapisan sesuai dengan tuntutan GERAK Perempuan, karena kekerasan sistematis ini nyata dan semakin menjadi-jadi.
Mengenai masalah pelecehan yang dilakukan oleh sejumlah buruh laki-laki kepada peserta aksi perempuan, saya pun mengalaminya. Tak jarang, saya mendapatkan ucapan yang tidak pada tempatnya. Ruang publik seharusnya menjadi ruang aman untuk perempuan, terlebih di hari perempuan.
Ada pula kegaduhan yang dilakukan oleh beberapa buruh laki-laki, seperti menyanyikan lagu menggunakan toa di tengah perempuan berorasi hingga merisak perempuan yang sedang orasi. Aksi peserta laki-laki dari kelompok buruh itu membuat perempuan merasa tidak nyaman berada dalam satu ruang publik. Mereka juga tak menghormati perempuan bersuara.
Saya sempat mendamprat sekelompok lelaki tersebut karena tidak bisa menghormati perempuan yang sedang berorasi, namun yang ada saya malah disuruh diam oleh perempuan yang kemudian menarik dan meminta saya untuk tenang. Lha?!
Bayangkan, pada hari yang jelas-jelas hari perempuan, ketika ingin menjaga kelancaran aksi, eh malah disuruh diam, tenang, dan pindah ke barisan belakangan. What??!! Enak aja, saya nggak mau lah. Sebab ini ruang perempuan, lelaki tak seharusnya mengambil ruang perempuan dan membuat kegaduhan. Dan, sesama perempuan seharusnya saling mendukung.
Tentu saja, ini membuat saya menegur koordinator lapangan karena menguasai panggung orasi dan membiarkan barisan massa aksi mereka melakukan pelecehan seksual. Tapi, saya malah dituduh mengadu domba.
Jujur ya, saya marah ketika ruang publik perempuan direnggut begitu. Hari perempuan tak terasa seperti hari perempuan. Saya sampai menangis, karena merasa tidak nyaman saat aksi. Belakangan, organisasi buruh mengeluarkan pernyataan maaf soal pelecehan seksual.
Biasanya, saya merasa nyaman bersuara saat aksi perempuan. Namun, ketika ruang dan narasi direbut, tak ada gunanya lagi. Apalagi, saat aksi, sesama perempuan masih permisif terhadap kelakuan laki-laki tadi. Wajar perempuan marah, sebab selama ini ruang dan narasinya sudah habis dikoyak-koyak patriarki.