Books, My Review, Review, Ulasan Buku

Semangat Gerakan Perempuan adalah Semangat Islam, Ulasan Buku Hermeneutika Feminisme Reformasi Gender Dalam Islam

Sepanjang saya dibesarkan dalam lingkungan dan keluarga Islam, orang-orang di sekitar saya hanya menafsirkan Islam secara tekstual tanpa melihat sejarah diturunkan Al Qur’an. Di masa itu pun saya tidak tahu ada yang namanya tafsir yang dinamis. Islam sendiri pun dilihat sangat eksklusif dan monoton sehingga tak terlihat bagaimana cairnya kita memaknai Tauhid dan keesaan Tuhan.

Pemahaman Islam yang patriarkal ini membuat saya gusar dan gelisah. Saya sempat melewati fase dimana saya ingin melepaskan diri dalam Islam namun saya kemudian menemukan bahwa Islam merupakan semangat perubahan menuju kebaikan. Begitu pula dengan agama yang lain yang mengedepankan semangat kasih dan semangat kesederhanaan untuk mencapai pencerahan. Melalui Buku Hermeneutika Feminisme Reformasi Gender Dalam Islam yang merupakan karya ilmiah hasil desertasi Ds. Mardety Mardinsyah. Msi, saya dapat melihat bagaimana dalam membaca teks kita perlu menganalisa lebih dalam lagi melalui berbagai aspek yang melibatkan aspek sejarah, bahasa dan konteks untuk menafsirkan kembali demi perbaikan kehidupan Perempuan.

Lho kok enak untuk perbaikan kehidupan Perempuan?
Hmm… Kalau seperti itu mikirnya buat apa pula saya menjadi Islam dan kualitas hidup saya semakin buruk dan saya tersiksa? Saya tidak akan mau hidup seperti itu.

Jika kita melihat konteks Al Qur’an yang diturunkan pada abad ke 7 di jazirah Arab maka masyarakat Arab pada saat itu tidak menghormati perempuan sehingga mendapatkan kekerasan baik secara seksual maupun secara sistematis. Perempuan juga tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan ekonomi sehingga membuat mereka tak berdaya. Mereka juga tidak mendapatkan warisan serta hak politik untuk memimpin. Yang tadinya perempuan tidak memiliki apa-apa, maka dengan adanya Al Qur’an perempuan memiliki harta dan akses ekonomi dan pendidikan di abad ke 7 jazirah Arab.

Kini, perempuan di masyarakat abad ke 21 sudah mendapatkan banyak akses tersebut namun banyak perempuan juga yang masih mengalami tindakan represif dan diskriminasi sistemik. Sudah begitu, Al Qur’an pun digunakan untuk menjustifikasi pandangan yang merendahkan perempuan seperti adanya dua saksi perempuan dan satu saksi lelaki yang kemudian dilegitimasi sebagai pembenaaran bahwa akal perempuan itu setengah dari lelaki. Sayangnya orang-orang yang menggunakan Al Qur’an juga lupa bahwa Al Qur’an adalah semangat reformasi atau semangat perubahan menuju kebaikan.

Jika dengan mendapatkan warisan setengah dari lelaki membuat perempuan tidak berdaya dan makin tak berkecukupan seharusnya dengan semangat reformasi kita merujuk untuk membuat hidup perempuan menjadi sejahtera. Sehingga perempuan juga berhak mendapatkan porsi yang sama dengan saudara lelakinya sesudai dengan semangat Al Qur’an. Sebagai manusia yang dinamis kita terus berjalan menuju perubahan dan kebaikan bukan memarjinalkan kehidupan perempuan menggunakan Al Qur’an.

Coba kita bayangkan, apakah perempuan yang menjadi ibu tunggal dan harus menghidupi anak-anaknya seorang diri cukup dengan menerima warisan dengan setengah dari porsi saudara lelakinya? Tentunya kita tidak bisa menggunakan aturan warisan pada konteks yang ada pada abad 7 jazirah Arab kemudian mendorong perempuan tersebut untuk dipoligamikan oleh lelaki lain demi menyelamatkan hartanya sedangkan kebutuhan perempuan dan anak-anaknya makin meningkat. Di dalam buku Dr. Mardety, beliau juga menuliskan alasan terjadinya poligami adalah untuk menjaga warisan si perempuan yatim. Namun kini dengan adanya teknologi dan sistem perbankan yang mumpuni, Perempuan sudah cukup berdaya untuk bekerja sendiri dan menyimpan harta kekayaannya sendiri, sehingga tidak memerlukan bantuan lelaki untuk melindunginya. Kalau memang kita harus saling melindungi, maka bentuk perlindungan tidak melulu dengan menikah, bukan?

Yang saya sangat suka dengan buku Dr. Mardety adalah penjabaran dan penjelasan mengapa ayat-ayat Al Qur’an ditafsirkan secara tekstual dan tak kontekstual. Al Qur’an yang dikatakan sebagai penyelamat umatnya juga harus dapat mengakomodir pengalaman perempuan. Jika pengalaman perempuan tak dimasukkan dalam semangat juang reformasi Islam, maka jangan harap perempuan dapat sejahtera dan berkecukupan. Masalah akan terus ada jika penyelesaiannya menggunakan Al Qur’an dengan tafsir patriarkis dan tak melibatkan realita perempuan. Kita tidak perlu mandek diteori atau teks saja, kita juga harus merujuk pengalaman perempuan karena perbaikan hidup adalah hal yang kita tuju, bukan?

Dalam buku Dr. Mardety juga dijelaskan bagaimana dinamisnya Al Qur’an karena sesungguhnya ia berbicara kepada banyak orang. Tidak ada ayat yang benar-benar secara langsung menjelaskan bahwa Perempuan tidak bisa memimpin. Justru ketika diturunkannya Al Qur’an, perempuan dapat memimpin perang, kamar dagang hinga banyak keturunan nabi yang perempuan juga memimpin salat. Al Qur’an tidak menggenderkan pemimpin sehingga siapapun yang baik dapat menjadi pemimpin baik pemimpin masyarakat dan rumah tangga. Sehingga jika seorang lelaki tidak menafkahi dan lebih banyak si perempuan yang berkontribusi maka lelaki tak bisa memimpin, namun jika tugas menafkahi dikerjakan bersama, maka keduanya bisa memimpin. Alangkah baiknya bukan jika kita punya teman diskusi dalam memimpin? Layaknya manusia adalah Khalifah atau pemimpin di muka bumi, sehingga baik perempuan dan lelaki dapat bekerjasama dalam memimpin.

Di masyarakat moderen, tatanan masyarakat kita sudah teroganisir dengan baik. Jika ada orang yang menggunakan agama untuk menindas perempuan maka kita harus bisa menggunakan dan membuka ruang untuk menjadikan Islam sebagai semangat perubahan untuk kebaikan perempuan. Kita harus bisa memperjuangkan kehidupan yang baik untuk perempuan menggunakan Qur’an kembali. Semangat perubahan tidak boleh hilang.

Jika di zaman abad ke 7 Arab Islam ada perubahan untuk perbaikan hidup perempuan, maka di abad ke 21, Islam bisa menjadi semangat pergerakan perempuan untuk mewujudkan kesejahteraan perempuan yang lebih baik lagi dari abad ke-7. Dan ketika ada orang yang berupaya mengekang perempuan dan menghentikan segala progres pergerakan perempuan, maka sesungguhnya dia yang tidak memiliki semangat juang Islam dan menafikkan Al-Qur’an itu sendiri.

 

Untuk kamu yang ingin mendapatkan buku ini, kamu bisa membelinya di BitRead.