Perspektif

Sudah Dieksploitasi, Perempuan Dituntut Cantik Pula untuk Menyenangkan Lelaki

Aduh enaknya punya ajudan, bisa disuruh buat ngusir kucing. Andai kata saya punya ajudan, saya juga minta dia ngusir laler yang suka ganggu saya pas makan di pinggir jalan.

Saya merasa punya banyak kesamaan dengan Nia Ramadhani. Serius. Sama-sama nggak bisa masak dan bakal kaget juga kalau goreng tempe, termasuk bingung cara mengupas salak. Ini semata karena nggak membiasakan diri saja, jadi plisss… jangan salahkan ibu saya karena gagal mengajari anaknya memasak.

Yang membedakan antara saya dan Nia adalah kelas sosial. Dia menikah dengan anak konglomerat, sedangkan saya adalah anak dari seorang pensiunan PNS biasa saja. Meski demikian, sebagai perempuan, kami hidup di alam yang sama. Alam yang seharusnya mengajari kami untuk merawat satu sama lain.

Tapi nyatanya…

Sejak patriarki menguasai segala lini kehidupan, perempuan dipisahkan dari alamnya. Pengetahuan perempuan yang berasal dari alam pun dianggap mistis dan irasional. Maka tak heran, dulu banyak perempuan yang diburu karena dikira tukang sihir pembawa petaka.

Dan, sama halnya dengan alam, perempuan juga dieksploitasi dan ‘dipercantik’. Tujuannya agar lelaki mau menikahi. Biar nggak menjadi beban keluarga, katanya. Duh…

Namun, di sisi lain, banyak juga perempuan yang dibikin terbuai dengan silaunya alam. Mulai dari serbuk mika sebagai bahan makeup yang merupakan hasil kerja buruh anak di Afrika hingga berburu foto instagrammable di lokasi wisata alam. Tapi, pernah nggak terpikirkan, berapa banyak jejak karbon yang kita keluarkan ketika liburan hanya untuk mengisi ruang pamer di Instagram?

Tentu saja, ini lebih pada kritik diri sendiri, bukan untuk membanding-bandingkan sesama perempuan. Yah, syukur-syukur sih kalau memang bisa menjadi refleksi bersama. Sebab ini masih terkait dengan patriarki.

Ngomong-ngomong, pernah dengar zaman dimana ‘penyihir’ perempuan diburu dan dihukum, kan? Mereka dikejar oleh lelaki yang memiliki jabatan tinggi kala itu. Iya, seperti pak anggota dewan yang belum lama ini menjebak pekerja seks di hotel, lalu ikut menggerebeknya.

Patriarki memang begitu, selalu saja mengeksploitasi. Ia bersama kapitalisme berkelindan satu sama lain. Sering banget pemegang kendali roda kapitalisme adalah lelaki. Bahkan, semula banyak perusahaan beken di bidang kosmetik yang dipimpin oleh lelaki. Standar kecantikan yang dijual oleh perusahaan itu pun berdasarkan pandangan lelaki alias male gaze.

Belum lagi, beragam produk rumah tangga yang mensasar perempuan melalui iklan, seolah-olah mengukuhkan bahwa tempat perempuan hanya di ranah domestik. Di sini, kita bisa melihat bagaimana perempuan terpojokkan secara ekonomi, dituntut ‘cantik’ untuk menyenangkan lelaki, tapi tenaganya dieksploitasi untuk pekerjaan rumah tangga.

Coba bayangkan, bagaimana jika perempuan tidak mencuci atau memasak untuk suami dan anaknya? Apakah mereka bisa pergi kerja dan belajar dengan baju yang rapi plus perut kenyang? Sedihnya lagi, perempuan yang melakukan kerja-kerja tersebut tidak digaji. Padahal, pekerja rumah tangga yang menyiapkan makanan dan baju saja digaji.

Lelaki yang memperlakukan pasangan perempuannya sebagai pekerja rumah tangga tanpa diberi upah adalah eksploitasi.

Gini nih, sudah dijauhkan dari alam, perempuan didomestikasi dalam bangunan beton pula. Belum lagi kalau rumahnya digusur oleh aparat negara atau korporasi. Perempuan adalah kelompok yang paling rentan ketika terjadi penggusuran. Terlebih, penggusuran biasanya terjadi pada pagi hari, ketika anak dan suami sudah berangkat meninggalkan rumah dan perempuan sedang sendiri merawat rumah.

Baca juga: Kamu Bilang Perempuan di Rumah Saja Biar Aman, tapi Nyatanya Tidak

Perempuan akan selalu berada di garda terdepan ketika negara atau korporasi berupaya mengambil hak penghidupannya. Itulah mengapa mama Hermina Mawa aksi bertelanjang dada ketika menolak pembangunan Waduk Lambo, atau ibu-ibu Kendeng yang rela mengecor kakinya dengan semen di depan Istana karena menolak pembangunan pabrik semen di dekat desa mereka.

Sayangnya, perempuan-perempuan tersebut bukan Nia Ramadhani dengan barisan ajudan pribadinya, yang bisa mengawal dan mengamankan mereka di mana pun.

Alasan pembangunan dan pemberian izin kepada korporasi besar hanya semata-mata faktor investasi dan keuntungan. Namun, mereka kerap lupa dengan dampak kesehatan dari masyarakat di lokasi. Pemerintah sering kali tidak hadir di tengah warganya, seakan-akan itu adalah nasib yang harus ditanggung sendiri-sendiri.

Pemerintah yang miskin perspektif perempuan telah lama mengeksploitasi dan memarjinalkan perempuan. Tentunya, kuota perempuan saja tidak cukup, jika mereka masih menjadi perpanjangan tangan patriarki. Karena itu, perempuan harus mengambil sikap tegas ketika negara mengabaikan HAM.

Sesama perempuan harus mengorganisir diri untuk bersolidaritas. Dengan demikian, kekuatan perempuan akan semakin solid. Nah, tanggal 8 Maret 2020, perempuan di seluruh dunia akan berkumpul dan merapatkan barisan, begitu juga dengan perempuan di kotamu. Mari berjejaring dan merumuskan tuntutan bersama melawan sistem yang menindas perempuan.

Mungkin, mbak Nia Ramadhani dan teman-temannya mau ikutan aksi perempuan pada 8 Maret 2020? Ikuti tagar #GerakPerempuan di Instagram, ya! Kamu-kamu juga boleh.

Seperti kata Kartini dalam surat-suratnya, “Barang kali memang betul apa yang dikatakan orang, bahwa sebenarnya kami harus tinggal seorang diri di sebuah pulau yang tidak didiami manusia! Tetapi jika demikian, orang lalu betul-betul akan memikirkan diri sendiri saja, bukan? Saya kira kami harus hidup dengan dan untuk orang banyak. Itulah tujuan hidup, untuk membuat hidup indah!”