My Review, Review, Ulasan Buku

Sulami adalah Kita, Ulasan Perempuan – Kebenaran dan Penjara

Saya mendapatkan buku memoir berjudul Perempuan – Kebenaran dan Penjara yang ditulis oleh Sulami di salah satu toko online dimana buku ini sudah tak dijual lagi dalam kemasan barunya. Buku yang saya dapatkan juga buku bekas dan tampaknya buku ini sudah tak ada dipasaran. Oleh karena itu tak heran jika saya mendapatkannya dengan harga yang cukup mahal untuk buku seukuran ini.

Sayangnya buku ini sudah tidak dicetak lagi. Padahal tulisan dan pemikiran Sulami sangat menyimpan banyak pelajaran dan kebenaran yang sangat relevan hingga hari ini. Sulami berhasil meramalkan kondisi perempuan buruh hari ini, dan sayangnya kerja-kerja Sulami dalam Gerwani tak pernah terangkat karena penghancuran gerakan perempuan Indonesia dan fitnah yang dipropagandakan oleh rezim Orde Baru.

Namun kenapa sih saya kepengen banget baca buku Sulami? Siapakah Sulami?

Sulami adalah sekjen (Sekretaris Jenderal) II DPP Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Pada tahun 1965 ketika peristiwa pembunuhan jenral terjadi pada 30 September, Sulami tentunya tidak tahu menahu mengenai pembunuhan tersebut. Ia pun tidak ada di Lubang Buaya saat itu. Semua tuduhan yang diarahkan padanya juga direkayasa dan pengakuannya dilakukan di bawah tekanan dari rezim. Saat itu ia sedang sibuk mempersiapkan acara peringatan terkait pergerakan perempuan.

Sulami sendiri merupakan aktifis perempuan dari Gerwani. Program kerjanya yaitu memberantas buta huruf, membangun tempat penitipan anak, memberdayakan perempuan desa dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berbagai ranah. Ia pun sering dikirim ke luar negeri untuk ikut dalam kongres perempuan sedunia, terutama terkaitannya dengan buruh. Sebelumnya ia juga berjuang saat kemerdekaan Indonesia. Ketika masih remaja ia ikut bergerilya melawan penjajahan Jepang dan Belanda. Sehingga tak perlu kita pertanyakan lagi kecintaannya terhadap tanah air. Namun sayangnya, Sulami dipenjara karena tuduhan makar dan subversif, serta harus menjalankan 20 tahun penjara.

Tulisan Sulami juga memperjelas bagaimana tuduhan-tuduhan mengenai pembunuhan jendral direkayasa habis-habisan. Ia juga menceritakan bagaimana rezim tersebut sembarangan menangkap orang yang dianggap terlibat. Menyembunyikan anggota gerwani saja bisa dipenjara. Kemudian memiliki nama yang sama dengan salah satu buronan juga dapat dipenjara. Yang penting tangkap saja tanpa mencari tahu lebih dalam. Mereka pun juga mendapatkan siksaan saat ditangkap dan dipaksa mengaku disuruh oleh Gerwani. Namun ketika mereka mendapatkan giliran untuk disidang 9 tahun lebih sejak peristiwa 30 September terjadi, mereka baru bisa memperbaiki kesaksian mereka.

Pemikiran Sulami terkait sistem perekonomian dunia juga tertuang dengan baik. Pemikirannya mengingatkan saya pada beberapa tulisan Emma Goldman dan pidato-pidato Clara Zetkin. Ketiganya menekankan bagaimana Kapitalisme dapat menghancurkan kehidupan perempuan dan idealisme yang mereka junjung sangatlah berarti dan relevan untuk pemikiran hari ini.

Selain persoalan kapitalisme, ia membahas mengenai persoalan penjara dimana ia menyeritakan bahwa keadaan sosiallah yang membuat perempuan melakukan tindakan kriminal sehingga mereka di penjara. Coba saja jika mereka mendapatkan akses pendidikan dan kesejahteraan, mereka tak akan berfikir untuk mencuri atau membunuh.

Tentunya perempuan-perempuan ini berfikir panjang mengenai hajat hidup orang banyak. Sehingga pedih sekali ketika mereka dituduh subversif, apalagi jika mereka adalah pejuang kemerdekaan di tahun 1945.

Untuk bertahan di dalam penjara, Sulami tak kehabisan akal. Ia membuat drama-drama terkait masa penjajahan yang dapat dipentaskan ketika hari nasional tiba. Selain itu Sulami melakukan keonaran dan pembangkangan di dalam penjara karena bosannya terhadap ruitinitas dan beragam peraturan yang mengenkang. Ia kemudian menghabiskan sisa waktunya dengan menulis. Menulis menjadi sebuah pekerjaan baginya yang rutin ia lakukan. Jika ia tak menulis ia merasa tak produktif. Ia bisa menulis hingga jam 1-2 pagi. Sehingga ini menjadi perbedaan yang mencolok antara narapidana politik (napol) dan kriminal. Bagi napol, koran dan bahan bacaan dapat sangat menjadi harta yang begitu berharga, sehingga bentuk bacaan apapun dihindarkan dari napol, namun bagi narapidana kriminal, apalah arti bungkus koran.

Sulami juga seperti saya yang selalu mencari waktu untuk menulis di kala senggang. Dia mengabdikan waktunya utnuk produktif di dalam penjara Bukit Diri. Mau diapain pun ia tak akan berhenti mencari kegiatan untuk terus menghasilkan sesuatu dikala bosan. Penjara memberikannya inspirasi untuk menulis sajak-sajak serta esai-esai, namun sayangnya saya tak pernah melihat publikasinya selain buku ini. Yang saya rasa cukup relevan dengan saya adalah dia terus menuli walaupun tak akan dipublikasikan. Yang penting ia menulis.

Sulami juga sama seperti aktifis perempuan-perempuan lainnya di media sosial yang tak ada habisnya menulis untuk menyuarakan keresahannya. Jiwanya terus semangat mengungkapkan kegelisahannya. Penjara perempuan tak memenjarakan pikiran-pikirannya. Semangat dirinya terus bergejolak bahkan ketika tubuhnya berada di balik jeruji besi.

Bagi saya, penting sekali untuk membaca memoir-memoir pejuang perempuan sebelum saya, karena tanpa mereka kita tak akan mendapatkan akses yang hari ini kita nikmati. Gerwani membuka jalan dan memberi contoh bagaimana membangun pergerakan komunitas perempuan dari akar rumputnya. Ini adalah pelajaran berharga yang tak akan bisa saya temui. Contoh program kerja Gerwani menjadi cikal bakal kesejahteraan perempuan jika perempuan hendak mandiri dan memberdayakan diri. Selain itu, kita juga perlu ingat bahwa politik seksual akan selalu disematkan kepada pejuang perempuan yang melawan kapitalisme, patriarki dan oligarki. Ini ada dan nyata. Kita semua bisa menjadi korban. Oleh karena itu penting bagi peremuan untuk memisahkan diri dan melawan segala bentuk ketidakadilan serta tak berpihak pada penguasa dan para patron-patron tersebut. Kita musti ingat bahwa banyak dari patron tersebut sifatnya patriarkal sehingga jangan sampai kita menjadi perpanjangan tangan patriarki itu sendiri.

Aku ingin kita semua membaca tulisan-tulisan para perempuan pejuang pendahulu kita karena ini sangat penting dan relevan dengan hari ini. Dengan situasi politik yang memanas dan kelompok ekstrim kanan yang tak ada habisnya mengobjektifikasi dan memlemparkan politik seksual pada perempuan, kita harus terus melawan dan merebut hak dan ruang kita kembali.