Teruntuk Kamu yang Merasa Terpuaskan ketika Pekerja Seks Digerebek
“Wah, bapak hebat sekali bisa menjebak dan menangkap pekerja seks!”
Mungkin itu pujian yang diharapkan oleh si politikus yang belakangan ramai diberitakan telah menggerebek seorang perempuan pekerja seks. Sementara, kita tahu, seseorang terpaksa menjadi pekerja seks karena masalah ekonomi alias butuh uang agar ia dan keluarganya bisa hidup. Namun, politikus tersebut memutuskan untuk menjebak si koruptor si pekerja seks, sebelum akhirnya ditangkap tangan oleh KPK polisi.
Padahal, dalam kasus pekerja seks, kita harus memahami bahwa penanganan setiap permasalahannya berbeda. Banyak kasus dimana perempuan jadi korban perdagangan manusia. Walaupun mereka dapat upah, tak jarang upah tersebut lebih banyak dinikmati oleh mucikari.
Ada juga pekerja seks yang memang merdeka dan bisa menentukan dengan siapa dia melakukan transaksi. Tapi, mereka bukan perebut laki orang, seperti yang disebut oleh banyak pihak. Lah, buat apa merebut laki orang yang hanya akan memperbudak istri dengan segala macam urusan domestik tanpa finansial yang memadai? Belum lagi, malamnya diperkosa oleh suami sendiri, karena menolak seks akibat capek ngurus rumah seharian.
Tetapi, intinya sama saja. Keduanya adalah survival dalam hidup yang tak menguntungkan mereka. Perempuan yang diperdagangkan tak punya pilihan, selain diperkosa atau dibunuh. Begitu juga dengan perempuan yang dikatakan merdeka memilih menjadi pekerja seks, sama-sama demi mempertahankan hidupnya dengan caranya sendiri.
Sebab, akses pendidikan dan lapangan kerja yang terbatas membuat perempuan terkondisikan menjadi pekerja seks. Patriarki atau sistem yang mengutamakan lelaki juga turut andil menjadikan perempuan sebagai pekerja seks.
Bayangkan, perempuan dihilangkan akses pendidikan dan ekonominya, kemudian dibuat bergantung secara finansial kepada lelaki. Dan, ketika lelaki itu meninggal dunia atau kabur entah ke mana, apa yang bisa mereka lakukan? Kalau mereka dapat warisan yang bisa dijadikan pegangan untuk bertahan hidup sih mending, tapi kalau nggak ada gimana?
Tentunya, tidak semua perempuan yang kehilangan suami sebagai pegangan finansial lantas menjadi pekerja seks. Namun, kita harus bisa menghargai apa pun pilihan mereka.
Poligami sendiri tak akan menyelesaikan permasalahan ekonomi perempuan. Poligami hanya akan membuat perempuan semakin bergantung kepada lelaki.
Sikap puritan terhadap aktivitas seks ini tak semestinya membuat seseorang bisa menghakimi orang lain, apalagi sampai menjebak dan ikut menyeretnya ke bui. Seandainya tinggal di negara-negara Skandinavia, bukan pekerja seks yang ditangkap karena menawarkan jasa seks, tapi orang yang membeli dan menggunakan jasa tersebut.
Negara-negara Skandinavia memang memiliki perspektif yang berpihak kepada perempuan dalam membuat kebijakan. Mereka paham betul bahwa yang disasar seharusnya pengguna jasa seks.
Nah, jika Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) disahkan, si pengguna jasa seks yang masuk penjara, bukan pekerja seks. Hmmm… jangan-jangan, ini salah satu alasan mengapa RUU-PKS tidak juga disahkan.
Lagi pula, jika kita bicara lebih lanjut mengenai pekerja seks, ini pun bukan semata-mata soal permintaan dan penawaran, kok. Dalam masyarakat patriarkis nan misoginis, pekerja seks adalah pekerjaan yang diciptakan untuk mengukuhkan kekuasaan laki-laki. Kemudian, bak pahlawan kesiangan, mereka muncul seakan-akan ingin ‘menyelamatkan’ kondisi masyarakat.
Ada begitu banyak masalah di Indonesia, kenapa kok yang disasar pekerja seks melulu yang sebenarnya sedang berusaha bertahan hidup?
Jika memang hendak melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama perempuan, perbanyaklah pelatihan-pelatihan. Beri modal usaha kepada para perempuan, terutama orangtua tunggal. Atau, jika ingin lebih baik, libatkanlah perempuan dan pekerja seks dalam membuat dan menentukan kebijakan.
Tentu saja, pekerja seks bisa menjadi penentu kebijakan karena dia adalah pihak yang paling tahu mengenai kondisi dan kehidupannya sendiri, bukan bapak-bapak politikus di parlemen. Memangnya siapa yang nanti menjalani kebijakan tersebut? Sebab itu, wakil rakyat harus bijak mendengarkan keluh kesah rakyatnya. Semua golongan lah, bukan cuma konstituennya.
Kami nggak butuh pahlawan kesiangan – yang muncul terang-terangan, tapi tak peduli dengan sisi gelap yang menjadi pokok persoalan. Kami butuh lelaki yang bisa bekerjasama dan tidak menggurui. Jika ingin bekerjasama, dengarkanlah perempuan. Bukan mendikte, apalagi menjebak dan menangkapi perempuan.
Bukankah pemerintah dan parlemen itu ada agar rakyat bisa hidup sejahtera? Kenapa ini malah bikin rakyat semakin sengsara?
Sedih akutu…
Perempuan sudah seharusnya menuntut perubahan sistem karena telah mengalami kekerasan sistemik selama berabad-abad. Sistem negara yang dikuasai oleh lelaki patriarkis telah menyengsarakan kehidupan perempuan.
Sudah saatnya perempuan mengambil sikap tegas, ketika negara bersikap tak adil. Meski Indonesia sudah 75 tahun merdeka, nyatanya perempuan masih terjajah. Puaskah kalian menjadi penjajah bangsa sendiri?
Dan, teruntuk kamu-kamu yang merasa terpuaskan dengan adanya penggerebekan pekerja seks, memang selama ini sudah berkontribusi apa agar mereka bisa terlindungi dari himpitan ekonomi? Apa saja yang kamu lakukan supaya mereka bisa mandiri secara finansial tanpa harus menawarkan jasa seks?