Tubuh Perempuan sebagai Medium Perlawanan
Sewaktu aksi di Taman Aspirasi Monas pada Hari Kebangkitan Perempuan yang lalu, perempuan masih saja mendapatkan objektifikasi. Lah gimana, dada saya diblur oleh salah satu stasiun TV ketika melakukan tarian melawan kekerasan seksual layaknya Kolektif Las Tesis di Chili.
Terlebih, pemberitaan media telah mendistorsi makna ibu, semata-mata hanya urusan domestik. Padahal, kata “ibu” adalah sapaan terhadap perempuan, tapi maknanya dipersempit menjadi perempuan yang melahirkan dan memiliki anak. Lantas, bagaimana dengan perempuan yang nggak punya anak?
Di sisi lain, tubuh ibu sebagai perempuan yang utuh juga tak pernah mendapatkan ruang aman. Banyak orang menganggap bahwa perempuan yang menyusui anaknya di tempat terbuka sebagai perbuatan tidak senonoh. Menyusui anak seolah-olah menjadi aktivitas yang harus dilakukan sembunyi-sembunyi.
Padahal, si ibu hanya memberi makan sang anak, bukan kegiatan seksual. Kalau ada laki-laki yang naik birahi ketika melihatnya, ya laki-lakinya aja yang sangean. Jangan salahkan ibu mengandung.
Belum lagi, sejumlah negara adidaya yang kerap mengintimidasi negara-negara lainnya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar mengedepankan pemberian susu formula ketimbang ASI.
Ya, kita tahu nggak semua perempuan dapat mengeluarkan ASI sehingga sufor bisa membantu, tapi upaya intimidasi negara adidaya supaya negara-negara lainnya lebih menggalakkan sufor menunjukkan bagaimana sistem perekonomian dunia turut menyempitkan ruang bagi tubuh perempuan. Bahkan, iklan-iklan produk susu terkenal begitu masif.
Sufor ini kemudian dibuat mahal untuk meraup untung. Sudah dipersempit ruangnya, dibuat mahal pula susu formulanya. Sudah dijadikan objek seks, dimiskinkan pula.
Payudara yang merupakan pemberian Tuhan tampaknya tak pernah dihargai dengan baik sesuai fungsinya. Manusia-manusianya malah gemar mengobjektifikasi bagian tubuh perempuan tersebut.
Nah, cara perempuan melawan kekerasan seksual dengan menunjukkan bentuk tubuh apa adanya adalah tindakan mensyukuri pemberian Tuhan. Ini menunjukkan spiritualitas perempuan yang menggunakan tubuhnya untuk perlawanan.
Memang, mensyukuri pemberian Tuhan ada berbagai cara. Ada yang menutup tubuhnya, ada yang tidak. Itu pilihan setiap individu.
Kita pun tidak bisa menghakimi perempuan bagaimana ia menggunakan tubuhnya untuk mengadvokasi, memperjuangkan, dan merebut kembali ruang publik yang aman untuknya. Sebab, pelaku pelecehan dan kekerasan seksual adalah orang yang tidak menghargai dan menghormati tubuh orang lain.
Tentunya, saya paham, tidak ada yang salah kalau kamu terangsang dan tertarik ketika melihat perempuan dengan pakaian terbuka. Yang salah, ketika kamu memutuskan untuk bertindak dan membuat orang lain merasa tidak nyaman, yaitu ketika kamu memutuskan untuk melecehkan perempuan di jalan hingga pemerkosaan.
Tak jarang, saya pun sering terangsang ketika melihat lelaki yang saya sukai. Tapi bedanya adalah, saya memutuskan untuk tidak bertindak atas rangsangan tersebut dan tidak melakukan sesuatu yang bisa membuat dia menjadi tidak nyaman. Itulah bedanya orang yang menggunakan otak sebagai pemberian Tuhan dengan yang tidak. Jadi, siapa yang sesungguhnya tidak bersyukur?
Sayangnya, pelaku selalu berdalih bahwa penyebabnya adalah pakaian perempuan yang mengundang pelecehan seksual. Namun, pada kenyataannya, perempuan yang berniqab pun juga ikut mendapatkan pelecehan maupun kekerasan seksual.
Orang-orang yang selalu mencari ‘pembenaran’ atas perilaku itu adalah mereka yang tak bisa menghargai pemberian Tuhan kepada orang lain, sehingga membuat orang lain merasa tidak aman dan nyaman.
Hari gini kok masih ada yang terus melakukan ‘pembenaran’ terhadap kekerasan seksual? Hanya karena perempuan dianggap tak mengikuti keinginan laki-laki, terus pantas mendapatkan kekerasan seksual, gitu?
Dunia ini tidak berpusat pada pemikiran lelaki saja, cuy… Anggapan bahwa pakaian saya atau perempuan lainnya yang mengundang birahi menjadi tidak valid. Bahkan, tak ada agama manapun yang membenarkan umatnya melakukan kekerasan seksual. Kamu beragama, kan?
Penafsiran agama terhadap kain yang menutup tubuh perempuan pun beragam, namun itu bukan berarti pelaku dapat membenarkan tindakan pelecehan hingga kekerasan seksual. Tak ada pembenaran untuk itu, bahkan dalam hukum Indonesia sekalipun.
Ketika perempuan aksi dengan tubuhnya sebagai medium untuk menyuarakan aspirasinya dengan berpakaian terbuka atau tertutup, dan membicarakan eksistensi payudara di publik untuk kepentingan pertumbuhan bayi, adalah upaya untuk menormalkan ruang untuk perempuan. Sebuah aksi dengan spiritualitas dan penuh rasa penghormatan terhadap diri sendiri dan pencipta alam semesta.
Jadi, kalau kamu mendadak sange melihat perempuan yang aksi dengan tubuhnya, mending kamu di rumah saja agar perempuan aman dari perilaku yang tidak senonoh.
Selama ini, aksi-aksi tersebut merupakan upaya untuk memerdekakan perempuan dari kekerasan seksual serta kemiskinan, bukan aksi untuk memprovokasi birahi. Plisss… jangan kegeeran!