Feminis Ribet atau Kita yang Sudah Terlalu Nyaman?
Artikel ini pertama tayang di VoxPop.id pada tanggal 25 Agustus 2020.
Gimana sih caranya jadi feminis? Siapa yang berhak memberi label dan bisa diakui sebagai feminis?
Pertanyaan itu muncul ketika saya sedang mengisi sebuah webinar. Sesuatu yang lumrah disampaikan karena sebagai anak muda, kita memang sedang mencari identitas yang dirasa tepat. Lantas, adakah cara menjadi feminis?
Feminisme sendiri semacam paradigma atau kerangka berpikir dalam melihat permasalahan perempuan. Kita mesti bisa melihat dengan sudut pandang, apakah kondisi saat ini berimbas kepada perempuan dan kelompok rentan? Lalu, apakah kebebasan yang kita miliki sepadan dengan penindasan yang dialami orang lain?
Tentunya, perspektif feminis ini sangat relevan dan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, ketika hendak membeli baju di toko fesyen merek global ternama, kita patut mempertanyakan siapa yang membuat baju tersebut dan berapa upah mereka?
Sebab di balik baju mahal itu, ada tetesan keringat dan tangisan buruh perempuan karena tidak mendapatkan upah yang benar-benar layak. Sering kali buruh perempuan di pabrik garmen bekerja hingga malam hari demi memenuhi target produksi.
Bahkan, mereka tak sempat mendapatkan akses layanan kesehatan reproduksi yang baik. Banyak buruh perempuan terkena infeksi saluran kemih, karena mau ke toilet untuk buang air atau mengganti pembalut saja sulit – akibat mengejar target yang dipatok pemilik atau pengelola pabrik.
Belum lagi, jika kita merokok. Kebayang nggak sih, bagaimana buruh perempuan di pabrik rokok harus terpapar racun dari nikotin? Tak jarang, buruh perempuan yang teracuni melahirkan anak dengan disabilitas. Dan, jutaan perempuan lain mengalami kekerasan dari pasangannya gara-gara nggak kasih uang rokok.
Atau, pada makanan kita setiap hari. Berapa jejak karbon yang dikeluarkan sampai makanan itu tersaji di meja kita? Adakah penindasan terhadap perempuan dalam proses produksinya?
Bahkan, kita pun bisa mempertanyakan sampai ke persoalan ilmu pengetahuan. Semisal, konon J. Marion Sims yang dikenal sebagai Bapak Ginekologi Modern menggunakan budak keturunan Afrika untuk mempelajari anatomi perempuan. Ia disebut-sebut melakukan serangkaian eksperimen tanpa bius karena bias rasisme. Masih pantaskah J. Marion Sims disebut sebagai Bapak Ginekologi?
Jadi, untuk lebih mudahnya, menjadi feminis bukan tentang pengakuan guna mendapatkan label feminis, namun tentang proses. Menjadi feminis adalah proses membongkar perspektif dan pengetahuan dalam diri kita. Sebelum itu, kita harus sadar bahwa kita dibesarkan dengan konstruk yang jauh dari kata adil. Bahkan, pengetahuan kita berasal dari ketidakadilan. Sistem pendidikan pun hanya mempersiapkan kita untuk menjadi budak-budak cinta, eh budak korporat dan birokrat.
Itulah mengapa perlu membongkar pengetahuan dan berani mengkonfrontasi hal-hal yang membuat kita merasa sudah nyaman. Walaupun perempuan adalah kelompok yang tertindas, sebagian masih bisa mengenyam pendidikan tinggi.
Itu adalah bentuk kenyamanan atau orang sering menyebutnya dengan istilah privilese. Ketika menjadi feminis, berarti mau membongkar privilese dan belajar lebih jauh dari orang-orang yang kenyamanannya terenggut.
Kok susah ya jadi feminis? Kok ribet ya?
Ya karena kita sudah terlalu nyaman alias keenakkan.
Sebenarnya kita bisa menanam dan memproduksi sendiri makanan dan pakaian, tapi kita menolaknya dan menyerahkan tanggung jawab itu kepada orang lain, lalu membiarkan mereka diberi upah rendah.
Terus, gimana dong kalau tidak bisa menerapkan prinsip-prinsip feminisme dalam keseharian? Semisal, soal makanan, apakah harus menjadi vegan?
Tidak begitu juga. Kita tidak perlu berubah 180 derajat mulai besok dan membuang semua baju mahal dan bermerek yang sudah dibeli. Sebab perubahan bisa dimulai dari hal yang sederhana.
Proses menjadi feminis dapat dimulai dari mengubah cara pandang, semisal dengan pertanyaan simpel, “Siapa sih yang membuat makanan dan pakaianku?” Dengan mengubah cara pandang dan mulai berpikir kritis, kita memikirkan orang lain. Dengan bertanya siapa yang membuat baju kita selama ini, kita memikirkan para buruh perempuan.
Seperti kata Audre Lorde, “Saya tidak merdeka jika perempuan lain belum merdeka, walaupun bentuk penindasan mereka berbeda dengan saya.”
Kerangka berpikir seperti itu sangat penting. Bahwa kebebasan kita tidak ada artinya, jika ada orang lain yang tertindas. Dan, feminisme adalah kerangka berpikir sekaligus gerakan kolektif berasaskan solidaritas agar semuanya bisa mendapatkan keadilan.