Perspektif, Seks

Salahkah Perempuan Lajang ke Dokter Kandungan?

Artikel ini pertama tayang di VoxPop.id pada tanggal 2 September 2020.

Tinggal di kota besar ternyata sulit mencari dokter kandungan yang ramah dan tidak mudah menghakimi perempuan berstatus lajang. Padahal, cuma mau konsultasi masalah keputihan, misalnya. Tapi rasanya dibuat serba salah, belum nikah kok ke dokter kandungan?

Saya pernah beberapa kali ke dokter kandungan di rumah sakit ibu dan anak, karena saat itu belum tahu di mana bisa mengakses layanan kesehatan tanpa penuh penghakiman. Rata-rata dokter kandungan di sana menghakimi sejarah seksual saya, apalagi dia tahu saya yang masih lajang menggunakan kontrasepsi. Tindakannya jadi kayak kasar gitu.

Cerita mengenai bagaimana dokter kandungan menghakimi perempuan yang mencari layanan kesehatan juga dialami oleh beberapa perempuan lajang lainnya, bahkan sebelum mereka aktif secara seksual. Padahal, anak-anak remaja yang mengalami masalah dengan organ reproduksinya disarankan untuk mengonsumsi pil KB untuk mengurangi permasalahan dan rasa nyeri.

Namun, dokter kandungan sering kali menghalangi anak-anak remaja untuk mengonsumsi pil KB. Biasanya, dokter beralasan bahwa mengonsumsi pil tersebut dapat membuat seseorang menjadi mudah ‘tidur’ sembarangan.

Kita bisa lihat bagaimana mitos seks lebih dikedepankan daripada kesehatan reproduksi seksual. Kesehatan reproduksi seksual seseorang diabaikan hanya karena urusan pilihan seksualnya. Padahal, kalau dipikir-pikir, banyak sekali anak perempuan dan perempuan dewasa yang mengalami gangguan kesehatan organ reproduksi. Hal ini tidak ada kaitannya dengan aktivitas seksual.

Banyak anak perempuan dan perempuan dewasa serta orang yang memiliki rahim harus melalui rasa sakit yang tak terbayangkan saat menstruasi hanya karena dokter kandungan melarangnya untuk mengakses pengobatan karena mitos seksual yang tentu tidak ada landasan ilmiahnya.

Apakah mengenai dengan siapa dan berapa kali seseorang melakukan hubungan seksual menjadi urusan dokter kandungan?

Sebagai tenaga medis, tugasnya tentu memberikan edukasi tentang langkah-langkah preventif mencegah kehamilan dan infeksi menular seksual. Tapi, bukan urusannya untuk mengatur dengan siapa seseorang melakukan hubungan seksual dan berapa kali.

Belum lagi dengan stigma terhadap perempuan lajang yang pergi sendirian ke dokter kandungan. Beberapa teman menjadi enggan pergi sendiri ke dokter kandungan karena takut distigma. Sebab, pada umumnya, yang pergi ke dokter kandungan rata-rata pasangan heteroseksual yang telah menikah.

Mungkin ada yang berpikir bahwa pergi ke dokter kandungan yang mahal akan mengurangi atau terhindar dari stigma, tapi nyatanya tidak demikian. Seorang profesor pun sering kali ikut menghakimi perempuan atas pilihan seksualnya.

Bisa bertemu dokter kandungan itu suatu privilese, bahkan jika kita menemukan dokter yang tidak menghakimi. Namun, sering kali biaya untuk mengakses layanannya sangat mahal karena bersifat eksklusif.

Kita pun bisa melihat bagaimana pendidikan kedokteran kita hanya melihat organ reproduksi sebagai mesin penghasil bayi atau berfungsi untuk prokreasi saja. Prinsip itu lebih dipertahankan ketimbang memelihara kualitas kehidupan seseorang, dalam hal ini kesehatan organ dan kualitas hidup perempuan agar tidak mengalami rasa sakit.

Rasa sakit yang dilalui perempuan sering kali diabaikan dan dianggap sebagai bagian dari takdir. Terlebih, rasa sakit yang dialami perempuan ketika melahirkan selalu diagung-agungkan sebagai tanda atau puncak keibuan. Seolah-olah kalau tidak sakit belum sah menjadi ibu.

Kenapa kita membiarkan perempuan sejak kecil hingga melahirkan harus merasakan kesakitan hanya karena sebuah mitos? Sadar atau tidak, kita mengglamorkan rasa sakit tersebut dan memaksa perempuan untuk menerima itu seumur hidupnya.

Normalisasi rasa sakit ini berdampak pada bagaimana kita melihat hak-hak kesehatan reproduksi perempuan. Bahkan, normalisasi ini berawal sejak pengetahuan tentang organ reproduksi itu diproduksi. Bagaimana J. Marion Sims dulu mencoba berbagai eksperimen dengan menggunakan budak perempuan keturunan Afrika, yang dibiarkan sakit lantaran tidak dibius ketika tubuhnya dibedah. Masih pantaskah J. Marion Sims disebut sebagai Bapak Ginekologi Modern?

Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi perempuan memang sudah direbut oleh patriarki dan membuat perempuan merasa bersalah hanya karena memiliki rahim dan vagina. Padahal, para lelaki patriarkis menikmati tiada habis-habisnya, bahkan pamer sudah berapa banyak vagina yang dipenetrasi.

Patriarki juga yang mengeksploitasi perempuan untuk terus melahirkan anak dan dijadikan budak-budak kapitalisme.

Sementara, perempuan dijauhkan dari pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan dicekoki dengan pengetahuan yang sudah usang. Itu baru bicara tentang produksi ilmu pengetahuan, belum soal akses kesehatan reproduksi yang tidak semua perempuan bisa dapatkan atau masalah-masalah kandungan karena pencemaran lingkungan.

Ya, stigma terhadap perempuan lajang ketika ke dokter kandungan dan sulitnya mengakses layanan kesehatan reproduksi berakar dari sejarah penindasan perempuan yang panjang. Sudah saatnya kita menggugat agar ilmu tentang organ reproduksi berpihak kepada perempuan.