Relasi

Kebiasaan Lain yang Mesti Diakhiri saat Bertemu Keluarga Besar

Pada setiap perayaan hari besar keagamaan, semisal Idul Fitri, tentu sebagian dari kita ada yang bahagia, ada pula yang tidak. Perihal cerita-cerita bahagia bisa dengan mudah kita temui di media sosial. Sebab itu, tak ada salahnya, kali ini kita bicara tentang hal-hal yang tidak menyenangkan. Bukan soal ibadahnya, tapi praktik dalam menjalankan tradisi.

Salah satu tradisi yang tak pernah hilang adalah bertemu keluarga besar, baik secara offline maupun online. Bagaimanapun, bersilaturahmi dan saling bermaaf-maafan itu penting. Kata-kata maaf sampai berhamburan di mana-mana. Tapi kalau hari biasa kok susah banget minta maaf?

Nah, dalam pertemuan dengan keluarga besar itu kadang terselip sesuatu yang bisa merusak momen. Ternyata bukan cuma pertanyaan “kapan nikah” saja, banyak hal lain yang tidak menyenangkan. Terlebih, pemicunya adalah orangtua kita sendiri.

Sebagai contoh, kita dipaksa oleh orangtua untuk bertemu dengan keluarga besar yang sebetulnya kita tidak kenal. Ketemunya pun paling banter setahun sekali alias pas Lebaran saja. Itu pun terasa formalitas. Tapi tetap saja, sering kali kita diminta untuk show up atau tampil.

Bagi sebagian orang introvert bahkan extrovert, hal itu bisa sangat melelahkan secara emosi dan pikiran. Seorang introvert merasa terpaksa untuk berkomunikasi. Sedangkan extrovert bisa sama melelahkannya, jika keluarga yang ditemui sering melontarkan pertanyaan atau pernyataan yang memojokkan, meskipun kadang terlihat seperti basa-basi atau candaan.

Belum lagi, orangtua yang merasa bahwa anaknya hanya beban keluarga, ada lho! Biasanya, orangtua tersebut selalu berupaya mengontrol tingkah laku sang anak di depan keluarga besar.

Ya tentu, orangtua kita ingin menghabiskan waktu bersama saudara-saudarinya, tapi apa iya segitunya bahkan sampai marah ketika anak meminta perhatian? Kalau begitu, buat apa punya anak jika kelak merasa tak nyaman dengan tingkah laku anak pada umumnya?

Saya pernah bilang begini ke almarhumah ibu: “Setiap ketemu keluarga ibu, ibu selalu marah kepadaku.” Ternyata, pengalaman itu juga pernah dialami orang lain. Sementara itu, di serial This Is Us, diceritakan bagaimana anak-anak dalam keluarga Pearson memprotes ibunya karena mereka tidak suka berkunjung ke rumah nenek saat perayaan Thanksgiving, lantaran sang ibu selalu marah kepada anak-anaknya ketika berkunjung ke rumah nenek.

Setelah saya bilang begitu, ibu mulai mengintrospeksi diri dan mengubah perilakunya. Begitu juga dengan sang ibu di serial televisi tadi. Setelah ditegur oleh anaknya, ia pun berhenti memarahi anak-anaknya dan memutuskan untuk tidak berkunjung lagi ke rumah nenek.

Orangtua sering kali tidak mau memvalidasi perasaan kita. Mereka cenderung menganggap bahwa perasaan kita tidak nyata. Seakan merasakan hal tertentu itu salah.

Maka, tidak heran jika ada anak yang enggan berjumpa dengan keluarga besar, meski sedang Lebaran. Kalaupun dipaksa, anak akan merasa tidak nyaman. Seorang teman memutuskan untuk tidak bertemu dengan keluarga besarnya hanya untuk menghindari komentar yang menyakitkan.

Lucu ya, pada hari yang penuh maaf seperti Idul Fitri, orang-orang terdekat seperti keluarga secara sadar atau tidak justru menyakiti diri kita. Baru maaf-maafan, eh udah nambah daftar dosa lagi. Apa gunanya puasa dan mensucikan diri selama sebulan? Apa gunanya menahan nafsu kalau menahan nafsu untuk tidak melontarkan komentar yang menyakitkan saja tidak bisa?

Umumnya, orangtua menginginkan anak karena mereka ingin ada yang menemani saat hari tua. Sebab itu, mereka kerap bertanya soal “kapan nikah” dan “kapan punya anak”. Namun, bagaimana caranya seorang anak mau hidup bersama orangtua, jika dari kecil dibuat merasa tak berharga dan hanya sebagai ‘investasi’ masa depan orangtua?

Jika anak memang benar-benar sebagai ‘investasi’ orangtua, tidak bisakah mereka memperlakukan anak dan memvalidasi perasaannya selayaknya manusia? Bukan malah memperlakukan anak sebagai mesin uang yang harus terus ‘di-upgrade‘ dengan komentar atau kritikan tajam agar bisa menghasilkan banyak uang.

Tak jarang, kita menemukan orangtua yang juga memanipulasi anaknya agar sang anak merasa bersalah, jika tak melakukan atau menuruti apa yang diminta orangtua. Pola ini terus dipelihara hingga mereka besar dengan kata-kata durhaka, dosa, dan neraka.

Kemudian, mereka menyalahkan anak yang sudah besar jika kelak ia tak mau pulang dan berupaya mengontrolnya dengan berbagai ucapan yang kadang menyakitkan. Tak heran, banyak anak yang sudah dewasa hari ini tidak terlalu menginginkan berada dekat dengan orangtuanya yang kolot.

Entah sampai kapan kita akan memelihara praktik menyebalkan dalam tradisi yang mewarnai hari sesakral Idul Fitri. Apalagi, banyak orang berlomba-lomba memasang foto bahagia bersama keluarganya di media sosial. Jadi depresi.

Sebab itu, momen Idul Fitri tak selamanya membahagiakan. Saya berharap, jika kelak memiliki dan membangun keluarga, saya tak perlu meneruskan praktik-praktik tidak menyenangkan dalam tradisi yang muncul saat Lebaran atau hari-hari lainnya.