Relasi

Kegagalan Heteroseksual Melawan Homofobia dan Transfobia

Kasus Ferdian Paleka yang melakukan ujaran kebencian terhadap transpuan menunjukkan bahwa kita gagal melindungi sesama manusia. Mengapa kebencian terhadap transpuan begitu terawat?

Kita mengenal Dorce Gamalama yang tampil di layar kaca sejak lama. Atau, almarhum Ade Juwita yang jenaka. Namun sayangnya, tokoh-tokoh yang tidak berada di kedua biner gender sering kali menjadi bahan lelucon saja, sehingga memperkuat stigma.

Tak jarang, cis-heteroseksual (merujuk pada seseorang yang memiliki persepsi gender sesuai dengan jenis kelaminnya) mengaku tak ada masalah dengan keberadaan teman-teman LGBTIQ, asalkan mereka tidak menggangu.

Pernyataan itu tentunya membingungkan. Memangnya orang yang cis-hetero tidak suka mengganggu? Toh, nyatanya lelaki cis-hetero yang paling banyak meneror perempuan dan LGBTIQ.

Kita pun sering mendengar adanya stereotip laki-laki yang sering nge-gym adalah lelaki homoseksual dan mereka suka menggoda laki-laki di ruang ganti. Dan, yang terjadi adalah, kecaman terhadap lelaki yang melecehkan lelaki lebih besar daripada lelaki yang melecehkan perempuan.

Atau, pernah ada hetero yang bingung ketika seorang trans atau gay atau lesbian suka dengannya. Sering kali kekhawatiran orang hetero seperti ini: “Aku takut kalau mereka suka samaku, takut ketika mereka kutolak.” Padahal, kalau mau menolak, ya perlakukan mereka sama seperti menolak orang hetero yang kebetulan juga suka.

Transpria dan lesbian juga mendapatkan stigma dan perlakuan yang sama buruknya. Tak jarang, lelaki yang homofobik merasa perlu untuk ‘menyembuhkan’ mereka. Padahal, tak ada yang perlu disembuhkan. Yang perlu disembuhkan hanyalah kebencianmu.

Belum lagi, ucapan seperti “saya sih nggak setuju sama LGBT, saya juga nggak mendukung hak mereka, tapi saya nggak gimana-gimana gitu”. Lah, memangnya LGBTIQ harus meminta persetujuanmu untuk mendapatkan hak mencintai seseorang dan berekspresi sesuai kehendaknya?

Kita kerap menggunakan bahasa yang tidak peka ketika merujuk pada teman-tema keragaman orientasi seksual dan ekspresi gender. Ini karena kita tumbuh dalam lingkungan heteronormatif, seolah-olah relasi yang paling wajar adalah relasi heteroseksual.

Makanya nggak heran kalau orang-orang cis-hetero menganggap dirinya normal dan orang yang tidak heteroseksual dianggap tidak normal. Jika kita meliyankan orang lain, kita sama saja mendiskriminasi dan mensubordinasi mereka.

Di sisi lain, ada pula aturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang larangan ‘sosok banci’ di televisi pada 2016. Padahal, Indonesia sudah lama menerima keragaman gender. Hal itu semakin mengukuhkan peran regulator dalam melakukan diskriminasi secara sistemik terhadap kelompok minoritas gender dan orientasi seksual. Hanya sedikit media yang mau menggambarkan LGBTIQ secara manusiawi. Itu pun masih indie.

Ketakutan terhadap teman-teman LGBTIQ tentunya berasal dari budaya patriarki yang mensubordinasi perempuan, sehingga siapapun – termasuk manusia yang memiliki penis – yang mengekspresikan dirinya selayaknya perempuan akan dianggap lebih rendah. Begitu pula dengan ketakutan jika seseorang dilecehkan oleh gay. Namun, ketika lelaki hetero yang melakukan pelecehan terhadap perempuan, mereka menganggap itu normal.

Normalisasi terhadap pelecehan terhadap perempuan dan ketakutan berlebih terhadap gay menunjukkan bagaimana patriarki begitu berpihak pada lelaki. Tentu saja, kekerasan yang dilakukan oleh lelaki terhadap lelaki juga harus dikecam, seperti yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga. Namun, yang perlu dikecam adalah tindakan kekerasannya, bukan orientasi seksualnya.

Uraian di atas memang baru menjelaskan tentang stereotip, belum termasuk kekerasan sistemik yang dilakukan oleh kelompok heteroseksual terhadap minoritas seksual dan ekspresi gender, semisal persoalan hilangnya akses seperti akses mendapatkan KTP, ekonomi, dan pendidikan. Hanya sedikit orang saja yang dapat bertahan ketika ia mengekspresikan diri sebagai homoseksual atau transgender.

Sementara, sebagai sesama manusia yang katanya heteroseksual, kita sudah punya banyak akses terhadap pendidikan dan ekonomi. Sebab itu, tak semestinya kita meliyankan sesama manusia yang kurang beruntung tersebut.

Iya, saya tahu egomu mungkin tersakiti karena kamu kekeuh beranggapan bahwa kamu nggak setuju dengan teman-teman LGBTIQ. Tetapi, semakin kamu menggunakan bahasa-bahasa yang memojokkan dan mengasingkan mereka, maka semakin kamu berkontribusi melanggengkan patriarki.

Saya sebagai cis-gender juga sering ditegur oleh teman-teman LGBTIQ karena bahasa yang kurang peka – masih sering menggunakan bahasa-bahasa heteronormatif. Sebab saya juga masih berproses untuk menghilangkan bias-bias gender.

Kebetulan, tanggal 17 Mei lalu adalah Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia, dan Bifobia (International Day Against Homophobia, Transphobia, and Biphobia). Saya minta maaf karena belum cukup mampu melawan homofobia dan transfobia di lingkungan yang heteronormatif dan patriarkis ini.