Merasa Tak Baik-baik Saja Bukan karena Tidak Pandai Bersyukur
Pengingat: Artikel ini dapat mengingatkan kembali pengalaman Anda terhadap kesehatan mental.
Artikel ini pertama tayang di VoxPop.id pada tanggal 15 September 2020.
Tentu banyak dari kita yang pernah curhat ke orangtua mengenai berbagai macam persoalan. Tak sedikit pula dari kita yang kemudian dinasihati agar lebih pandai bersyukur. “Ah, kamu kurang bersyukur saja” atau “Ah, kamu memilih untuk tidak bahagia”. Bahkan, ada orangtua yang bilang, “Kalau kita lagi sedih, cobalah melihat orang-orang yang hidupnya di bawah kita.”
Saya pun pernah memberi respons serupa ketika seorang teman curhat mengenai masalahnya. Dan, baru beberapa tahun terakhir ini, saya sadar bahwa itu bukan respons yang tepat. Mengapa demikian?
Bisa jadi karena kita tidak tahu bagaimana caranya mendukung orang yang sedang depresi, dan lingkungan pun tidak memberikan contoh yang baik bagaimana caranya merespons orang yang sedang kesulitan.
Orang yang mengalami stres, depresi, hingga memiliki keinginan untuk bunuh diri bukan karena tidak pandai mensyukuri hidup, melainkan karena tidak tahu bagaimana mengelola emosi.
Selama ini, kita selalu dituntut untuk terus memenuhi atau mencapai standar tertentu dalam hidup. Kita dibuat merasa bersalah jika gagal. Kalau menangis dianggap cengeng. Dampaknya, kita malah menilai diri sendiri sebagai sebuah kegagalan.
Sebab dari kecil, kita selalu dituntut oleh orangtua agar menjadi anak yang pintar, harus ranking satu, harus juara kelas. Orangtua cenderung marah kalau anaknya mendapat nilai jelek, bukannya memahami apa kendala yang dihadapi anak. Seakan tidak mau menerima kekurangan, maunya yang bagus-bagus saja. Padahal, yang tampak bagus dalam hidup ini belum tentu sesuatu yang baik.
Ketika sudah dewasa, muncul tuntutan: harus kuliah, cepat lulus terus cari kerja dengan gaji setinggi mungkin, kemudian menikah dan punya anak. Kalau keluar dari alur kehidupan tersebut, kita bakal dianggap gagal. Akibatnya, muncul tekanan yang bisa mengganggu kesehatan mental. Belum lagi, dalam urusan asmara, seolah-olah patah hati itu salah dan hidup melajang adalah kutukan.
Di tengah itu semua, ada orang-orang yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya atau menyampaikan keinginan untuk bunuh diri. Namun, mereka malah mendapatkan stigma: “orang yang tidak mau bersyukur”, “orang yang tak taat ajaran agama”, hingga dianggap hanya “ingin mencari perhatian”.
Padahal, itu bisa muncul karena masyarakat, terutama keluarga, cenderung tidak ingin menerima kegagalan. Ini persoalan sistemik. Masyarakat menilai seseorang dari nilai produktivitasnya belaka, mulai dari produktivitas kerja hingga mereproduksi anak. Seseorang dipaksa untuk mengabdi pada nilai-nilai tersebut hanya untuk mendapatkan pengakuan dan validasi di masyarakat.
Bahkan, untuk mengambil rehat sejenak pun, seseorang dianggap lemah dan kalah. Kita seakan dilarang untuk merasakan emosi negatif dan dipaksa untuk terus positif. Bagaimana bisa positif, jika tidak diizinkan untuk menerima emosi yang negatif sekalipun? Bagaimana bisa positif, jika lingkungan tidak mendukung?
Dunia yang kapitalistik memaksa kita untuk produktif tanpa memerhatikan pentingnya untuk rehat sejenak atau menyadari bahwa tidak perlu memaksakan diri untuk mengikuti standar-standar tertentu, seperti berapa gajimu, punya rumah dan mobil tidak, hingga berapa anakmu.
Kita dibuat berlomba-lomba untuk memiliki ‘nilai baik’ untuk bisa masuk universitas terbaik. Universitas terbaik untuk mendapatkan pekerjaan sesuai standar masyarakat, tentunya. Pada akhirnya, kita menjadi buruh yang dimanfaatkan untuk mempertebal pundi-pundi pemilik modal.
Tentunya ini bukan mencari ‘kambing hitam’ untuk menyalahkan sesuatu di luar diri kita. Tapi kenyataannya, memang banyak hal yang terjadi di luar diri kita yang tidak bisa dikendalikan. Kita hanya bisa memilih bagaimana bersikap terhadap tekanan-tekanan tersebut.
Menyadari bahwa ada permasalahan sistemik juga salah satu upaya untuk memahami apa yang terjadi, sehingga kita bisa memutuskan rantai tersebut. Dengan demikian, permasalahan itu tidak diteruskan lagi dalam masyarakat, terutama keluarga.
Jadi, persoalan kesehatan mental bukan sekadar berpikir positif, kemudian semua akan berubah. Hingga hari ini, saya masih belajar caranya menerima kekalahan, penolakan, dan belajar tentang keikhlasan.
Tentunya, setiap orang punya formula masing-masing untuk bisa melalui masa-masa sulit. Ada pula yang memilih untuk konseling ke psikolog atau menjalani medikasi ke psikiater. Tidak ada yang salah dengan seseorang yang berani mengakui bahwa dirinya butuh bantuan dan sistem pendukung.
Sebab dunia yang kapitalis ini menghasilkan permasalahan struktural yang sistemik dan berdampak pada kesehatan tubuh maupun kesehatan mental. Kita harus mulai berani memikirkan hal ini. Berani mengubah cara berpikir tentang kesehatan mental dan berjuang melawan sistem yang terus-terusan menggerogoti kita.