Personal

Apa yang Diajarkan Konsep Konsensual Kepada Saya?

Pertama kali diterbitkan di VoxPop.id pada tanggal 23 September 2020.

Banyak yang bilang bahwa pendidikan seks dapat membuat seseorang menjadi liar, karena bisa sesuka hati melakukan seks. Tapi nyatanya, setelah mengenal dan mendapatkan pengetahuan tentang pendidikan seks, saya malah menunda melakukan hubungan seksual. Hubungan tersebut bisa menyebabkan kehamilan tak terencana, belum lagi risiko terkena infeksi menular seksual.

Sama seperti bahaya rokok dan alkohol. Sejak tahu dampaknya terhadap kesehatan, saya memutuskan untuk tidak merokok dan tidak mengonsumsi minuman beralkohol secara terus menerus. Ya lebih sayang dan menghargai tubuh sendiri saja.

Begitu pula dengan seks. Walaupun sudah cukup umur untuk melakukannya, saya memutuskan untuk menunda hingga siap secara mental.

Jadi, dengan mendapatkan dan memahami pendidikan seksual, tidak serta merta ingin bersetubuh, walaupun mungkin saja suka dengan orang di seberang sana. Suka sama suka bukan berarti suatu persetujuan untuk bisa ngeseks kapan saja ketika salah satu pihak menginginkannya.

Pendidikan seks justru mengajarkan bagaimana menghargai diri sendiri dan orang lain, serta memberi pemahaman agar kita tidak mudah dimanipulasi untuk melakukan hubungan seksual atau hal-hal lain yang bernada seksual. Dulu, saya pernah menuruti permintaan seorang laki-laki yang meminta foto intim, dengan membuat saya merasa bersalah hanya karena suka dengannya. Tapi kini, jadi lebih mawas diri.

Konsep persetujuan (consent) tidak dimaknai sesempit pikiran orang-orang yang menganggap bahwa konsep tersebut mengajarkan ‘seks bebas’, sehingga bisa merusak moral anak bangsa. Sebab persetujuan atas hubungan konsensual tidak serta merta terjadi karena suka sama suka, tapi karena pihak-pihak yang terlibat saling menghormati dan menghargai batas-batas tiap individu.

Dengan demikian, pendidikan seks justru menempatkan manusia dengan penuh martabat.

Tentunya menjadi manusia yang bermartabat adalah keinginan setiap orang, tak hanya feminis. Namun, beberapa kelompok menganggap bahwa gerakan feminis bikin seseorang menjadi lebih liar. Btw, liar gimana maksudnya? Malah banyak yang monogami kok. Menjalankan hubungan monogami dengan prinsip keadilan dan kesetaraan.

Prinsip-prinsip tersebut dapat melindungi martabat perempuan sebagai istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebab, perempuan juga memiliki hak untuk menolak hal yang tidak diinginkan, termasuk ajakan suami untuk berhubungan seksual ketika istri sedang lelah atau lainnya. Bukankah suami harus menggauli istrinya dengan baik? Bukankah itu berarti memperhatikan keinginan dan kebutuhan istrinya?

Balik lagi soal konsep persetujuan atau consent. Jadi, menganggap pemahaman tentang sexual consent sama dengan mengajarkan ‘seks bebas’ adalah logika yang bengkok. Itu artinya perlu diluruskan. Sebab, logika yang bengkok tersebut mengarah pada pembenaran terhadap pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya. Kita tahu bahwa pemerkosaan adalah pemaksaan alias tanpa persetujuan.

Akibatnya, perempuan yang diperdagangkan secara seksual tak akan mendapat perlindungan hukum. Begitu pula dengan anak perempuan yang bahkan diperkosa oleh ayah kandungnya. Sementara, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) selalu dihambat, eh terhambat.

FYI nih, konsep persetujuan ini bukan konsep kebarat-baratan. Nyatanya, perempuan yang terlibat dalam konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) adalah para perempuan dari segala penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Sayangnya, banyak orang hanya melihat hubungan seksual sebagai prokreasi. Tidak melihat bahwa hubungan seksual yang konsensual bicara soal perlindungan terhadap martabat seseorang. Konsensual atau persetujuan adalah bagaimana menghargai dan memperhatikan kebutuhan satu sama lain.

Bahkan, penghargaan di sini berarti menghargai apa yang Tuhan berikan kepada orang yang menjadi pasangan seksual kita, serta penghargaan terhadap bentuk tubuh dan bagaimana menerima apa adanya. Dengan demikian, konsep ini juga memberikan banyak ruang bagi kita untuk belajar saling mengasihi antar sesama makhluk ciptaan-Nya, termasuk menghargai diri sendiri.

Misalnya, ada yang memperlakukan tubuh kita dengan buruk atau melanggar batas-batas di ruang publik, kita menjadi tahu bahwa kita tak pantas mendapat perlakuan seperti itu. Dengan begitu, kita bisa tinggalkan atau melawan sebagai upaya melindungi diri.

Kita pun bisa belajar bernegosiasi dengan pasangan agar dia tidak memperlakukan kita semaunya. Termasuk, menolak ajakan berhubungan seksual, walaupun kita suka sama dia. Sekali lagi, suka sama suka bukan berarti otomatis menyetujui hubungan seks atau hal-hal lain yang berbau seks. Swipe right di aplikasi kencan pun bukan berarti mau diajak tidur.

Karena itu, istilah suka sama suka menjadi bermasalah karena menyederhanakan hubungan seksual yang intim dan penuh kasih menjadi tentang nafsu belaka. Padahal, selain penuh kasih, seks bahkan bisa menjadi semacam perjalanan spiritual bagi sebagian orang.

Yang pasti, konsep persetujuan atau consent dalam pendidikan seksual memberikan saya perlindungan dan kekuatan baru, serta kuasa atas tubuh yang dititipkan Tuhan kepada saya.