Tidak Salah Otakmu Ngeres, yang Salah Menginvasi Ranah Privasi
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Voxpop pada tanggal 6 Oktober 2020.
Masih ingat kata-kata Bang Napi ketika mengakhiri acara berita seputar kriminal di TV bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan? Siapa yang tidak termakan propaganda ini? Media berhasil mendoktrin dan menyalahkan korban atas tindakan yang dilakukan oleh orang lain.
Alhasil, banyak orang yang menggunakan kalimat itu untuk membenarkan kekerasan seksual yang dialami perempuan, seolah-olah perempuan lah yang menyebabkan terjadinya kekerasan tersebut. Pelaku, aparat, bahkan publik sering kali menyalahkan pakaian perempuan yang dianggap sebagai kesempatan dalam kasus ini.
Kekerasan seksual bukanlah kesempatan. Kesempatan itu jika seseorang memberikan persetujuan, seperti kesempatan untuk bekerja dan sekolah, dimana ada persetujuan untuk dipekerjakan dan bekerja serta diajarkan dan belajar.
Begitu pula dengan segala hal yang berbau seksual. Jika orang menyetujui untuk melakukan hubungan seksual denganmu, itu baru kesempatan. Jika ia tidak mengatakan apapun, walaupun bajunya seseksi apapun, bukan berarti itu persetujuan. Dan, jika kamu teruskan dan memaksa untuk melakukan hubungan seksual, itu termasuk kekerasan seksual.
Persetujuan seks perlu diucapkan dan siapapun yang terlibat harus penuh kesadaran dan cukup umur untuk mengatakannya. Semisal, ada perempuan yang sedang setengah sadar, mungkin karena ngantuk atau setengah mabuk. Dia tidak bisa memberikan atau menyatakan persetujuan.
Begitu juga dengan pakaian yang dikenakan perempuan. Kamu tidak bisa bertanya kepada pakaian yang dia kenakan apakah ia mau berhubungan seksual. Karena pakaian adalah benda mati, sedangkan perempuan adalah makhluk hidup yang bisa kamu tanyakan, bukan objek yang tidak bisa bicara. Perempuan bisa berbicara karena dia diberi akal dan pikiran.
Kalaupun alasannya karena pakaian, perempuan dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya pun sering mendapatkan pelecehan seksual. Kita sering mendengar bahwa lelaki “lebih penasaran dengan yang tertutup” kok. Apakah karena pakaian dia panjang dan lebar juga bisa menjadi kesempatan melakukan kekerasan seksual?
Tentu tidak ada yang salah memiliki nafsu dan otak ngeres, yang salah adalah bertindak tanpa persetujuan dan menginvasi ranah privasi seseorang.
Kekerasan seksual merupakan tindakan kriminal yang merugikan orang lain secara fisik maupun psikis. Banyak korban yang merugi secara materi. Trauma juga membuat korban sulit bekerja, sehingga ia tak bisa produktif dan menghasilkan uang.
Pernyataan Bang Napi tidak pernah relevan terhadap kenyataan yang ada. Jika orang melakukan tindakan pencurian untuk menghidupi keluarganya, maka hal itu menunjukkan kebobrokan dalam sistem yang membuat masyarakat tidak sejahtera. Ada hal yang membuat seseorang tidak bisa mendapat pekerjaan, sehingga ia tidak bisa mengakses penghidupan yang layak. Ada yang salah dalam sistem yang membuat orang semakin terpinggirkan dan termiskinkan.
Jika kita kaitkan dengan kasus kekerasan seksual, maka kekerasan seksual yang terjadi menunjukkan minimnya pendidikan seksual dan edukasi tentang kesehatan reproduksi. Jika dari kecil diajarkan untuk menghargai dan menghormati batas privasi seseorang, serta besar dalam lingkungan yang tidak membenarkan relasi kuasa untuk melakukan kekerasan, maka ia tidak akan meneruskan rantai kekerasan tersebut.
Absennya edukasi seksual tercermin dari tingkat kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan mendokumentasikan sebanyak 431.471 kasus kekerasan yang dialami perempuan. Itupun hanya 239 atau 35% formulir yang masuk ke Komnas Perempuan, setelah menyebarluaskan 672 lembar fomulir kepada lembaga layanan untuk menghimpun data kekerasan seksual. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya masih banyak kasus yang tidak tercatat.
Kekerasan seksual yang terjadi hari ini menunjukkan kebobrokan sistem kita, selain minimnya pendidikan seks dan kesehatan reproduksi. Hukum tidak berpihak kepada korban yang mayoritas adalah perempuan.
Perempuan dibuat lemah di mata hukum agar ia tunduk. Jika perempuan mengalami pemerkosaan, aparat hukum sering kali enggan menangani dan menyuruh korban untuk menyelesaikan secara kekeluargaan. Tak jarang dalam kasus ini, perempuan dianjurkan untuk menikah dengan si pemerkosanya. Jika akhirnya menikah, perempuan dibuat tunduk secara seksual dan hukum.
Tentunya persetujuan untuk menikah tidak sama untuk melakukan hubungan seksual. Begitu juga sebaliknya. Kita harus berhenti melihat perempuan sebagai objek transaksi seksual, seolah-olah menikah menyelesaikan semua permasalahan.
Penundukkan ini juga tidak lepas dari upaya untuk mengatur dan mengontrol gerak perempuan. Bias hukum yang ada termasuk kekosongan hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual merupakan cerminan dari gagalnya sistem hari ini.
Seharusnya Bang Napi dulu tidak menyuruh kita untuk waspada atau bahkan menyalahkan kita karena kita lengah, itu sama saja dengan menyalahkan korban. Yang ada, kita harus melawan sistem yang membuat orang melakukan tindak kriminal.
Berhentilah termakan propaganda “kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan”. Saatnya kita melawan oligarki, termasuk oligarki yang meneror perempuan.