Lelaki Kiri dan Kanan Kadang Sama Saja, Suka Ngatur-ngatur
Bicara soal pergerakan perempuan, tak lepas dari upaya pembajakan oleh orang-orang yang merasa terancam kenyamanannya. Bahkan, ketika Hari Kartini pada 21 April lalu, ada saja yang membanding-bandingkan Kartini dengan tokoh perempuan lainnya.
Semisal, Clara Zetkin – politikus sosialis asal Jerman yang berpengaruh dan pejuang hak-hak perempuan. Clara Zetkin sering kali disebut-sebut oleh para lelaki yang mengaku kiri: “Harusnya kayak Clara Zetkin” atau “Clara Zetkin bisa nangis di kuburan kalau lihat pergerakan perempuan hari ini”.
Aneh sih, nama Clara Zetkin terus disebut justru untuk mendiskreditkan pergerakan perempuan. Menurut lelaki kiri sok progresif itu, perempuan belum melakukan pergerakan kalau belum angkat senjata. Padahal, mereka juga nggak berani melakukan hal serupa.
Tentu ada kelompok perempuan yang menggunakan cara militer dan kekerasan seperti perempuan Rojava yang terlibat dalam perlawanan Kurdi Suriah dan perempuan Zapatista di Meksiko. Atau, Gulabi Gang – kelompok perempuan di India yang suka gebukin lelaki yang melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Kalaupun perempuan membentuk kelompok militer, saya yakin lelaki kiri yang suka ngatur-ngatur perempuan nggak akan bertahan di kelompok revolusioner. Mereka sudah digebukin duluan karena sering melakukan pelecehan di dalam kelompoknya.
Lelaki kiri yang suka ngatur-ngatur pergerakan perempuan tampaknya lupa dengan perlawanan perempuan Indonesia, seperti perempuan Kendeng yang mencor kakinya karena menolak pembangunan pabrik semen dan Mama Aleta yang melawan dengan cara menenun di tambang yang mengeksploitasi bumi. Atau, perempuan adat Rendu yang melawan dengan bertelanjang dada menolak pembangunan Waduk Lambo di NTT.
Cara-cara itu memang terlihat sederhana, namun memiliki arti yang mendalam bagi perjuangan. Tentunya tidak ada cara yang paling benar. Namun, bukan berarti laki-laki bisa menghakimi bagaimana cara melawan. Ada perempuan yang mengangkat senjata, ada yang menggunakan tubuhnya, ada pula yang memanfaatkan selfie atau swafoto.
Bahkan, foto hasil selfie sekalipun adalah hasil karya dan pergerakannya. Kosmetik yang dipakai untuk merias diri dan telepon pintar yang digunakan untuk mengambil foto itu dibeli dari hasil kerja sendiri. Jika selfie bisa membunuh rasa ketidakpercayaan diri, maka ia sudah melakukan perubahan dalam diri. Itu yang paling penting dan tidak mudah.
Perubahan dalam diri adalah langkah pertama kita bergerak. Bagaimana kita mau mengubah sistem atau budaya kalau diri kita sendiri tidak berubah? Sama halnya dengan lelaki kiri yang konon membaca tulisan Clara Zetkin dan Vandana Shiva, eh tapi ada yang melakukan kekerasan seksual dan memperkosa perempuan.
Ya gimana mau revolusi, kalau kamu saja tidak mau berubah, wahai kamerad?!
Sudah nggak mau berubah, tapi seringnya malah memojokkan pergerakan perempuan. Selalu bilang bahwa perempuan tidak memahami akar penindasannya lah, dan sebagainya. Apa yang mereka katakan justru membunuh kepercayaan diri perempuan, dengan kritik yang merendahkan dan tanpa dasar pengalaman perempuan.
Mereka seakan-akan merasa lebih berhak berbicara atas nama perempuan, tapi paling ciut ketika menegur sesama lelaki yang melakukan kekerasan seksual.
Perempuan dibuat merasa bodoh hanya karena menggunakan cara yang berbeda ketika bergerak dan melawan. Bagaimanapun, perlawanan perempuan berbeda-beda dan tak bisa terus disamakan. Apalagi, mematok bahwa perlawanan perempuan yang hakiki harus sama dengan pola perlawanan lelaki.
Persoalan mengatur-ngatur perempuan ini nyatanya tak hanya dilakukan oleh mereka yang konservatif, atau berhaluan kanan, tapi juga oleh mereka yang mengaku dirinya kiri progresif. Dan, selama lelaki masih mengatur bagaimana perempuan harus berperilaku hingga berkarya dan melawan, maka selama itu pula patriarki masih bekerja.
Maka dari itu, hempaskan saja lelaki patriarkis yang berkedok agama dan ideologi kiri tersebut. Kita tidak perlu mendengarkan mereka. Kita hanya perlu bergerak serta ikut mendukung sesama perempuan yang mungkin saja cara bergeraknya juga tidak sama.
Kita tidak perlu takut karena tidak memahami cara perempuan lain bergerak. Kita hanya perlu mendengarkan dan memahaminya tanpa menghakimi. Cara dan metode pergerakan yang berbeda menunjukkan keragaman masalah yang dihadapi oleh perempuan saat ini.
Jadi, besok-besok kalau mau selfie cantik pakai kosmetik atau pakai kebaya dan konde tinggi-tinggi, jangan ragu atau malu ya!