Relasi, Seks

Seks Ditolak, Feminis yang Salah?

Saya pernah diundang diskusi dalam sebuah grup WhatsApp yang pesertanya beragam, hingga pada akhirnya menyimpulkan bahwa feminisme membuat perempuan menolak seks.

Hmmm… sudah 116 tahun setelah wafatnya Kartini, yang dipusingkan laki-laki patriarkis hanya soal keinginan untuk berhubungan seksual. Apalagi, beredar meme yang mengatur bagaimana seharusnya warna selangkangan perempuan, dengan merisak selangkangan perempuan yang berwarna hitam.

Parahnya lagi, ketika lelaki patriarkis itu kesal karena tidak kunjung mendapat pasangan, yang disasar adalah perempuan feminis. Menurut mereka, para feminis lah yang menyebabkan mereka menjomblo. Mereka pun menuntut haknya untuk mendapatkan seks.

Jadi gini ya, aktivitas seksual itu membutuhkan persetujuan. Ketika salah satu pihak menolak, maka seks tak bisa dilakukan. Jika memaksa, itu namanya pemerkosaan. Ini juga berlaku dalam sebuah hubungan yang timpang alias tidak berimbang.

Sekalipun terikat dalam pernikahan, itu bukanlah jaminan persetujuan untuk bisa berhubungan seksual kapan pun dengan pasangan. Sebab mahar bukan alat tukar tubuh. Kalau masih ada yang berpikir bahwa pemberian mahar wajib dikompensasi dengan penyerahan tubuh seseorang, itu sih perdagangan manusia.

Kamu bisa kena pidana jika memperlakukan istrimu sebagai budak seks. Apalagi sampai memperkosanya berkali-kali karena dia menolak berhubungan seksual, semisal sedang capek karena seharian bekerja. Perihal marital rape ini, kamu bisa cek di UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).

Lagi pula, tidak ada orang yang ingin diperkosa, bukan? Masa hari gini masih saja suka memaksakan kehendak sendiri. Kalaupun ada yang suka BDSM dan role playing, pada dasarnya itu juga dilakukan dengan persetujuan.

Jadi, kalau pasanganmu sudah menunjukkan indikasi suka memaksakan aktivitas seksual, segera tinggalkan. Itu adalah pertanda buruk buat kamu. Kita memang sulit mengubah orang lain, namun kita bisa menentukan nilai-nilai yang sesuai dengan diri kita sendiri.

Jika ada orang yang tak memiliki persamaan nilai dengan kita, buat apa dipertahankan, coba? Apalagi, dia adalah pasangan yang suka memaksakan seks dan menyakiti kita. Kalaupun menjadi jomblo lagi, ya nggak masalah. Yang penting hidup kita berkualitas.

Kalau kata Felix Siauw nih, udah putusin aja! Wqwq… Putusin orang-orang yang suka memaksa dan memanipulasi aktivitas seksual pada diri kamu. Apalagi, kalau pakai iming-iming janji nikah. Itu termasuk kekerasan, lho.

Memang sih, nyatanya masih banyak orang yang berusaha melanggengkan pemikiran dan kelakuan seperti itu, contohnya mereka yang ikut hadir dalam diskusi tadi. Apa segitu rapuhnya mereka? Semakin mereka menunjukkan kerapuhannya, maka perempuan semakin ogah sama lelaki tersebut.

Segala upaya yang dilakukan oleh laki-laki patriarkis yang merasa ‘terzalimi’ itu karena tidak juga mendapatkan pasangan (yee.. salah sendiri!), menunjukkan betapa besar keinginannya untuk mengontrol perempuan dan betapa rapuhnya dia jika tak bisa memiliki pasangan.

Hal ini juga termasuk meme-meme yang beredar tentang ‘wanita idaman’, ‘wanita solehah’, ‘istri idaman’, ‘wanita berharga’, ‘wanita surga’, dan sederet standar keperempuanan lainnya yang diciptakan dan dijual oleh lelaki.

Begitulah cara patriarki bekerja. Mengatur dan menciptakan standar pada perempuan agar mengikuti keinginan lelaki, sehingga ia mendapatkan keuntungan dari menindas perempuan. Keuntungan itu bisa termasuk kenikmatan seksual, bahkan ketika didapatkan dari pemerkosaan.

Eh tapi jangan salah, ada juga perempuan yang merupakan perpanjangan tangan patriarki dan ikutan mendorong sesama perempuan agar masuk ke perangkap kekerasan seksual. Ia juga ikut mendukung agar sesama perempuan bersaing dan menjatuhkan perempuan yang tak bisa mengikuti standar keperempuanan tertentu. Mereka pun ikut menutupi pemerkosaan yang dilakukan oleh keluarga atau sirkel pertemanannya.

Nah, buat laki-laki yang katanya ‘terzalimi’ karena tak kunjung dapat pasangan, terus malah menyalahkan feminis, mending perbaiki saja pemikiran dan kelakuanmu terhadap perempuan. Bagaimanapun, jika ingin diperlakukan baik, maka bersikaplah yang baik. Bukan malah menuntut perempuan untuk bisa diatur-atur.

Kalau kamu tetap merasa nggak cocok dengan perempuan yang berpikir tentang kesetaraan, ya nggak usah dipacarin atau dinikahin. Doi juga belum tentu mau sama kamu.

Tapi baiklah, anggap saja pada akhirnya kamu berubah. Namun, itu juga bukan berarti kamu bisa begitu saja mendapatkan seks. Sebab seks bukan alat tukar kasih sayang. Ingat, hubungan seks butuh persetujuan dari pihak yang terlibat. Agar seks menjadi nikmat, bukan malah menyakitkan.

Betul?