Ceritaku

Ketika Dokter Gigi Beralih Profesi

Menjadi dokter gigi tentunya ada kepuasan sendiri bagi saya. Saya menemukan kepuasan dari memperbaiki kesehatan gigi dan mulut seseorang. Saya senang ketika pasien saya menyadari mengenai pentingnya merawat kesehatan gigi dan mulut. Namun saya merasa tidak banyak berkembang.

Saya merasa tidak memiliki ketrampilan yang dapat dikembangkan agar saya bisa bekerja di bidang lain. Ini membuat saya minder dan tidak percaya diri.
Yang orang tahu adalah dokter gigi ya mengobati dan merawat gigi manusia, adakah ketrampilan lain yang bisa ia miliki? Orang akan bertanya-tanya dan bahkan meragukan kemampuannya di luar bidang kedokteran gigi.

Tentunya jika dpikir-pikir ya ada saja ketrampilan yang dimiliki dokter gigi selain mencabut gigi orang seperti kemampuan untuk berkomunikasi, kemampuan untuk memasarkan diri hingga kemampuan manajerial di sebuah klinik. Namun apa itu cukup jika ia melamar ke perusahaan yang tidak membutuhkan dokter gigi dan menjadi staff biasa?

Walaupun saya memiliki kepuasan sebagai dokter gigi, namun saya tidak merasa puas dengan kerja saya sebagai dokter gigi. Saya merasa buntu karena sejujurnya saya tidak ingin menjadi dokter gigi. Kalau ditanya ya, saya maunya jadi penulis. Sayangnya menulis saja tidak cukup untuk menghidupi saya. Sehingga saya terpaksa untuk melakoni peran dokter gigi untuk bisa hidup.

Saya merasa buntu dan tidak berkembang secara profesional menjadi seseorang yang multi-talenta. Saya kurang cukup untuk memiliki koneksi yang sanggup memperkerjakan saya di luar sebagai dokter gigi.

Terlebih jika saya ingin bekerja di negara yang berbeda sebagai dokter gigi, saya harus kembali mengikuti serangkaian tes penyetaraan agar saya bisa diterima sebagai dokter gigi di negara tersebut. Jika saya tidak lolos bisa jadi saya harus mengulangnya kembali atau mengambil kelas di universitas setempat. Belum lagi dengan kemampuan bahasa yang saya harus kuasai beserta dengan konteks budaya lokal tersebut.

Jika orang mengatakan menjadi dokter gigi itu fleksibel terutama sebagai perempuan, justru saya tidak merasakan hal yang demikian. Saya merasa terpenjara dengan hal yang boleh dan bisa saya lakukan. Dokter gigi swasta pada klinik kecil tidak punya gaji tetap dan hanya bergantung pada pembagian upah yang diberikan dan ditetapkan oleh klinik. Beda jika ia bekerja di rumah, umumnya dokter gigi yang bekerja di rumah sakit akan memiliki kesempatan untuk menerima gaji tetap dari rumah sakit tersebut.

Proses saya menjadi dokter gigi menjadi pergulatan batin saya sendiri. Karena seringkali orang tidak paham dengan tekanan yang dialami oleh dokter gigi. Orang akan melihatnya bahwa dokter gigi ya baik-baik saja. Ia tidak akan melihat bahwa ada yang menjadi dokter gigi karena terpaksa dan disuruh orangtua.

Jika saya boleh jujur, saya merasa tidak memiliki apa-apa. Saya merasa tidak memiliki ketrampilan lainnya. Tentunya orang akan mengelak dan tidak mempercayainya karena saya cukup pandai mengalihkan dan menyembunyikannya, namun saya lelah merasa kurang cukup. Saya lelah merasa tidak cukup memenuhi standar tertentu dalam kualifikasi yang dibutuhkan suatu organisasi atau tempat kerja.

Dan saya lelah merasa diragukan.

Di bawah semua kepercayaan diri saya, saya memiliki segudang perasaan tak berharga. Dan saya mengakuinya.