Perspektif

Seks Tidak Mesti Hamil, sekalipun Menikah

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Voxpop pada tanggal 25 November 2020.

“Kalian kan setuju melakukan hubungan seksual, berarti setuju hamil juga dong!” Itulah argumen sejumlah orang ketika menentang hak aborsi.

UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memang melarang aborsi. Namun, ada pengecualian terkait kedaruratan medis bagi perempuan yang mengandung dan janin yang dikandung, kelainan tumbuh kembang, serta kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan dampak psikologis bagi korban.

Sedangkan perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun berdasarkan pasal 346 KUHP. Peraturan perundang-undangan itu bisa mengkriminalkan perempuan, termasuk perempuan yang tidak memiliki pengetahuan tentang hak kesehatan reproduksi dan akses terhadap kontrasepsi.

Tentunya alasan perempuan melakukan aborsi bukan urusan publik untuk menghakimi. Faktanya, berdasarkan hasil penelitian Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), sebanyak 83% perempuan yang menggugurkan kandungannya adalah perempuan yang sudah menikah. Konsep setuju melakukan hubungan seksual sama dengan setuju untuk hamil memang sudah tidak relevan.

Jika kita menikahi pasangan, bukan berarti otomatis setuju untuk berhubungan seks setiap saat. Begitu pula dengan kehamilan. Melakukan seks, baik di dalam maupun di luar status pernikahan, bukan persetujuan untuk hamil kapan pun.

Penelitian PKBI di 12 kota selama periode 2000-2011 mencatat berbagai alasan perempuan melakukan aborsi, yaitu terlalu banyak anak, anak masih kecil, hamil di usia tua, tak siap menjadi ibu, masih sekolah, hingga mengutamakan pekerjaan. Semua itu berkaitan dengan kondisi hidup perempuan.

Mungkin ada yang bilang, “Egois banget. Demi hidup enak, perempuan rela menggugurkan janinnya.” Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, penelitian tadi menunjukkan bahwa perempuan menyadari kondisi hidupnya yang tidak memungkinkan untuk memiliki anak sebagai alasan utama menggugurkan kandungan.

Tidak ada yang egois dari memastikan bahwa anak yang dilahirkan ke dunia nantinya mendapatkan kehidupan yang layak dan terpenuhi kebutuhannya. Justru, karena perempuan tahu ia tak bisa memberikan hidup yang layak, ia memutuskan untuk tidak meneruskan kehamilan.

Memang ada banyak perempuan meneruskan kehamilan tidak diinginkan (KTD) dan berhasil membesarkan anaknya seorang diri dengan segala kekurangan, namun itu tidak bisa menjadi tolak ukur setiap orang. Setiap perempuan kondisinya berbeda-beda dan belum tentu ia mendapatkan dukungan moril atau memiliki ketahanan mental seperti orang lain.

KTD menjadi penyumbang terbesar angka kematian ibu (AKI) sebanyak 75% berdasarkan data BKKBN. Sedangkan menurut konsultasi yang tercatat oleh PKBI selama 10 tahun menunjukkan bahwa 75% pasangan yang konsultasi adalah pasangan yang menikah dan tidak lagi ingin menambah anak karena alasan kesehatan dan ekonomi.

Aborsi bukan sesuatu yang asing dalam peradaban manusia. Masyarakat kita mengenal frasa mengembalikan siklus haid melalui berbagai tradisi yang diturunkan menggunakan pengetahuan oral. Resep-resep dan pengetahuan tradisional yang diwariskan melalui nenek moyang kita menandakan bahwa ada bahasa bagi perempuan untuk menentukan sendiri nasibnya.

Jadi, ini bukan konsep asing yang disadur dari gerakan perempuan internasional, namun sebuah pilihan kesadaran perempuan itu sendiri yang seharusnya tercakup dalam layanan dasar kesehatan seksual reproduksi.

Urusan aborsi ini memang kontroversi. Terakhir, dalam RUU KUHP pada 2019. Negara hendak mengatur dan mengkriminalkan perempuan yang melakukan aborsi, sekalipun itu KTD dalam kasus pemerkosaan. Tentu itu bisa semakin menimbulkan trauma berkepanjangan bagi korban kekerasan seksual.

Selama ini, kesehatan perempuan dan anak yang terancam selalu dilihat dari kondisi biologis seseorang. Padahal, kesehatan seharusnya juga mempertimbangkan aspek ekonomi dan kesehatan mental. Sebab, aspek tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan dan kualitas hidup seseorang.

Idealnya, kita mendambakan perempuan dan anak dilahirkan dalam keluarga yang sehat. Namun, kenyataannya, negara kerap abai bahwa kesehatan seseorang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan politik dimana ia tinggal. Jika perempuan merasa tak sanggup membesarkan anaknya dalam situasi yang dirasa tidak layak, semestinya itu juga menjadi pertimbangan.

Menurut Komnas Perempuan, pemaksaan kehamilan adalah salah satu bentuk kekerasan seksual. Upaya untuk mengatur tubuh perempuan melalui perangkat hukum juga sebuah kekerasan seksual.

Bentuk-bentuk dalam pemaksaan kehamilan juga bisa berupa larangan bagi pasangan untuk memakai kontrasepsi dan memaksa perempuan melanjutkan kehamilan. Bagaimanapun, perempuan memiliki hak untuk menentukan sendiri nasibnya.