Intensive Care . 03 – Penyesuaian
Tiana berusaha menyesuaikan diri dengan keberadaan Hugo seperti berangkat kerja bersama, makan siang bersama hingga menghabiskan waktu bersama. Mereka berusaha meyakinkan lingkungan kerja mereka bahwa mereka seperti pasangan normal lainnya, mereka pun berusaha menutup fakta bahwa mereka menikah karena membutuhkan seorang anak.
Walaupun Hugo orangnya cuek namun Tiana menikmati waktu bersamanya, dia tak perlu berpura pura ataupun jual mahal. Mereka cukup nyaman menghabiskan waktu bersama dan belajar mengenal satu sama lain.
“Hey, malam ini gue ada operasi enggak bisa anter lo balik tapi mungkin malamnya gue nginep. Enggak papa kan?” tanya Hugo saat berjalan bersama Tiana menuju kantor Tiana.
“Ya gapapa kok. Gue duluan yah,” kata Tiana sambil belok kepintu kantornya.
“Daah…” kata Hugo sambil berjalan menjauh.
Tiana masuk ke dalam kantornya dan ketika ia akan menutup pintu, seseorang mencegatnya dan Isaac datang menghampirinya.
“Tiana,” panggil Isaac.
“Isaac, ada apa yah?” Tiana membiarkan Isaac masuk.
“Lo sama Hugo lagi deket ya?”
“Kok tiba-tiba nanyain itu?”
“Gosipnya sih kalian lagi deket banget.”
“Isaac, gue sama Hugo mau menikah.”
“Apa? Kok lo enggak bilang sih? Lagian kan lo baru kenal dia. Jangan bilang lo jatuh cinta sama dia.”
“Keputusan gue sama Hugo sudah final. Kita akan menikah akhir bulan nanti.”
“Lo udah gila yah? Apa keluarga kalian sudah saling kenal.”
“Isaac, kok lo yang bingung sih?”
“Hugo itu brengsek, dan gue enggak nyangka elo mutusin buat menikah sama dia. Lo temen gue.” Isaac memegang kedua lengan Tiana.
Tiana terdiam sesaat dan memutuskan untuk memberitahu alasan sebenarnya. “Isaac, egg count gue atau sisa telur dirahim gue jumlahnya lebih dikit dari wanita normal seumuran gue, dan di Indonesia, untuk punya anak lo harus nikah dulu, gue enggak sengaja cerita hal itu ke Hugo dan dia juga punya masalah serupa. Jadi kita putusin untuk menikah.”
“Tapi kalian baru kenal.”
“Gue tahu, makanya kita ngabisin waktu bareng.”
“Kok lo enggak bilang soal ini. Gue mungkin bisa bantu.”
“Nah, gak akan ada yang lo bisa bantu. Maaf gue enggak bilang apa apa soal itu. Maafin gue.” Tiana duduk dibalik meja kerjanya.
“Elo enggak papa kan? Maksud gue rahim lo gak papa kan? Enggak ada masalahs serius?”
“Enggak papa kok.”
“Tiana, kalau ada apa-apa gue ada disini buat lo.”
“Gue tahu. Terima kasih.” Tiana tersenyum kecil.
Senyum kecil itu tandanya Tiana tak mau diganggu dan berusaha menolak Isaac secara sopan. Isaac akhirnya keluar dan meninggalkan Tiana.
XXX
Isaac sedang jaga di Unit Gawat Darurat siang itu sehingga dia ditugaskan melayani segala pasien yang masuk. Tak lama dia menerima pasien gawat darurat yang datang tak jauh dari pelabuhan. Petugas paramedis langsung menjelaskan keadaan pasien tersebut kepada Isaac.
“Pasien pria duapuluh sembilan tahun, tak sadarkan diri beberapa saat setelah terkena benda tumpul saat menyelam dan kakinya fraktur. Perdarahan sudah dihentikan dan keadaan pasien sudah stabil,” kata petugas paramedis.
“Siapa namanya?” tanya Isaac.
“Andi Nugroho, dia penyelam professional.”
“Okay bawa dia masuk.”
XXX
Isaac merasa harus memberitahu langsung kepada Tiana. Ia langsung menemui Tiana saat ia sedang mengadakan rapat dengan tim PRnya. Ia tak segan memotong rapat dan langsung menghampiri Tiana.
“Isaac, ngapain lo disini?” tanya Tiana.
“Apa lo masih ingat Andi Nugroho, penyelam yang lo sempat suka itu?” bisik Isaac ditelinga Tiana.
“Ya, kenapa?”
“Dia barusan kecelakaan dan ada dibangsal”
“Yang bener lo?”
“Yaiyalah. Kondisinya stabil tapi kita enggak bisa ngehubungin siapapun buat ngasih informed consent.”
“Dia bisa ditemuin?”
“Bisa.”
“Gue mau ketemu dia.” Tiana menghadap staffnya. “Rapat dibubarkan, dan ingat masing masing tugasnya yah.” Tiana langsung mengikuti Isaac ke salah satu bangsal ICU.
XXX
Isaac menunggu hingga Andi terbangun sambil memonitor keadaannya sedangkan Tiana berdiri disamping pintu dan menunggu agar Isaac memberikan izin untuk masuk.
“Masuk saja Tiana, enggak papa kok,” kata Isaac.
“Gue akan tunggu sampai dia bangun,” balas Tiana.
Tak lama Andi terbangun. Sinar lampu ruangan membuatnya matanya silau sehingga dia harus menyesuaikan matanya. Tak lama Andi menyadari ada Isaac yang berdiri disampingnya.
“Siang Pak Andi,” sapa Isaac.
“Saya dimana?” tanya Andi.
“Bapak di rumah sakit, bapak baru saja mengalami kecelakaan ketika menyelam.”
Perhatian Andi teralihkan ketika ia menyadari bahwa ia pernah bertemu dengan Isaac sebelumnya. “Kayaknya gue kenal lo deh. Lo temennya temen gue kan? Emm namanya kalau ga salah Tiana.”
“Iya betul, kita pernah ketemu sebelumnya, dan kebetulan dokter Tiana kerja disini.”
Tiana kemudian berjalan menuju tempat tidur Andi, “Hey Andi.” Ia berusaha tersenyum sambil menyembunyikan kesedihannya untuk Andi.
“Tiana… Hai… Udah lama enggak ketemu.”
“Iya udah lama banget.” Tiana menghampiri Andi dan memegang tangannya.
“Lo enggak papa kan? Kok muka lo sedih?”
Tiana dan Isaac saling menatap dan menatap balik Andi.
“Pak Andi, apa yang bapak akan dengar akan membuat bapak terpukul tapi ini hanyalah satu satunya cara agar bapak selamat dan tak terinfeksi.”
Andi terdiam dan menunggu agar Isaac meneruskan perkataannya.
“Pak Andi, kita harus mengamputasi kaki bapak karena sudah mengalami kerusakan akibat kecelakaan yang bapak alami. Amputasi adalah jalan yang terbaik untuk menghindari infeksi lebih lanjut.”
Andi langsung mengangkat selimut yang menutupi kakinya dan terpasa langsung ketika tahu salah satu kakinya hilang. Tiana langsung menggenggan tangan Andi erat erat ketika ia berusaha mengambila nafas dalam dalan dengan cepat.
Ruangan terasa hampa dan kosong. Tiana pun tak berani berbicara dan Isaac hanya sanggup menahan pembicaraan.
“Apa kalian sudah menghubungi keluarga saya?” Tanya Andi.
“Kami belum menghubungi siapa siapa, hanya dokter Fira saja yang tahu.”
“Oke kalo gitu, jangan kasih tahu siapa siapa mengenai keadaan saya.”
“Baik pak. Saya permisi dulu.” Isaac meninggalkan ruangan dan membiarkan Andi bersama Tiana.
“Hidup gue hancur, hidup gue tamat, gak ada lagi yang bisa gue lakuin.”
“Andi, jangan ngomong gitu.”
“Terus gue harus gimana? Lo kan tahu kalau kaki ini penting banget buat menyelam.”
“Lo masih bisa nyelama dengan satu kaki kok dan lo bisa dapetin kaki palsu.”
“Iya tapi ini enggak sama seperti kaki aslinya.”
Tiana terdiam dan langsung memeluk Andi ketika ia mulai meneteskan air matanya pelan pelan dalam keheningan. Ia duduk disampingnya dan membiarkan Andi menangis diam didadanya.
XXX
Hugo masuk kedalam apartemen Tiana dan menemukan apartemen Tiana gelap. Ia menyalakan lampu tiap kamar dan tak menemukan Tiana dimanapun.
Mungkin dia lembur; pikir Hugo. Ia akhirnya berinisiatif mengambil piring dari dapur dan menyajikan makanan yang dia beli diluar untuk dihidangkan diatas piring.
XXX
Tiana tertidur disamping tempat tidur Andi. Andi pun telah tertidur pulas. Tangan mereka saling berpegangan erat. Sepanjang malam Tiana berusaha menenangkan Andi dan menghiburnya serta memberikan semangat.
Saat itu Isaac sudah berhenti jaga di UGD dan alangkah kagetnya ketika tak sengaja ia menemukan Tiana belum beranjak daro tadi sore. Isaac yang sudah beralih kepakaian kasual menghampiri Tiana dan membangunkannya dengan memegang pundaknya.
“Tiana…”
Tiana terbangun dan mendapatkan Isaac sudah berdiri dibelakangnya.
“Ayo bangun, sudah waktunya kita pulang,” ajak Isaac.
“Jam berapa ini?”
“Sudah jam satu pagi.”
“Ya Tuhan, pasti Hugo sudah ada dirumah. Yaudah ayo kita pulang.” Tiana berdiri dan segera bergegas keluar ruangan diikuti oleh Isaac.
XXX
“Lo ada powerbank?” Tanya Tiana ketika dalam perjalanan menuju Apartemen Tiana bersama Isaac.
“Ada nih.” Isaac mengambil powerbank dari belakang mobil dan memberikannya kepada Tiana.
“Makasih.” Tiana mengambil powerbank Isaac dan menghubungkannya dengan telpon genggamnya yang sudah habis baterai. “Aneh… Kok Hugo enggak nyariin gue?”
“Loh emangnya kalian udah seberapa dekat sih? Kalian udah tinggal bareng?”
“Cuma nginep nginep aja kok.”
“Hugo tuh orangnya cuek loh. Gue dengar sih mantannya pada enggak betah karena dia cuek banget.”
“Itu gue tahu kok.”
“Terus kok lo mau sama dia?”
“Gue cuma mau punya anak dari dia.”
“Terus kalau misalkan dia enggak berubah untuk anak lo?”
“Gue enggak papa, yang penting sudah punya anak dari dia. Kalau lo ngarepin orang berubah untuk elo, itu akan susah banget, tapi kalo lo tahu cara untuk bikin diri lo sendiri bahagia dengan keadaan yang ada, berarti lo udah dewasa.”
Isaac terdiam, karena tampaknya tak ada acara agar membuat Tiana mau berubah pikiran. Akhirnya mereka sampai didaerah tempat Tiana tinggal. Tiana melihat gedung apartemennya dan mendapati lampu apartemennya nyala.
“Sial, Hugo udah dirumah,” kata Tiana.
“Lo udah tinggal bareng?”
“Kita cuma sering nginep aja kok, masih belum resmi.”
Isaac menghentikan mobilnya didepan gedung apartemen Tiana.
“Gue duluan yah, daaah.” Tiana meninggalkan mobil Isaac dan menuju apartemennya.
Ketika Tiana masuk kedalam apartemennya, lampunya sudah nyala, TV pun juga nyala, dan didepan sofa dimana Hugo sedang tertidur pulas, terdapat makanan yang berserakkan. Ia mematikan TVnya dan mengambil selimut untuk menyelimuti Hugo serta melepaskan sepatu Hugo.
Tak lama Hugo pun terbangun. “Tiana… Kok baru pulang? Duduk sini.” Hugo mendudukkan diri dan menyuruh TIana duduk disampingnya.
“Ada kerjaan tambahan.” Tiana tak berani menatap Hugo.
Hugo hanya bisa menganalisa apa yang tengah Tiana alami. “Lo bohong. Pasti ada sesuatu.”
Tiana terdiam dan menatap Hugo. “Udah malam, lebih baik kita tidur.”
Hugo menahan tangan Tiana. “Tiana…”
Tiana menghela nafas. “Temen gue yang gue kenal waktu kuliah, baru aja kecelakaan, dan mereka harus mengamputasi kakinya. Gue seharian nemenin dia dan mastiin dia baik baik aja.” Ia terdiam. “Gue sempet suka sama dia, tapi dia selalu menganggap gue temen. Gue enggak kecewa atau apa, tapi gue udah anggep dia seperti keluarga gue. Dia orang paling sederhana yang gue temuin dan sangking sederhananya gue suka.”
Hugo menggengam tangan Tiana dan berusaha menenangkannya. “Apa ada yang bisa gue bantu?”
“Untuk sekarang sih enggak. Gue mau tidur. Gue bakal beresin ini semua besok pagi.” Tiana berdiri. “Selamat malam.” Ia meninggalkan ruangan dan menuju kamarnya.
Hugo menunggu sampai Tiana meninggalkan ruangan dan membuka data rekam medis rumah sakit dari iPadnya. Ia menelusuri pasien siapa aja yang masuk hari ini dan akhirnya menemukan rekam medis Andi.
XXX
Tiana terbangun tatkala mendengar suara didapur. Ia keluar dan menemukan Hugo sedang asik masak didapurnya. “Lo lagi apa?”
“Bikin sarapan.”
“Bukannya lo juga harus jaga ya?”
“Jadwalnya diganti. Oh ya, keluarga gue pengen ketemu lo dan ngomongin soal pernikahan kita.”
“Hah? Yang bener aja? Gue mau ngomong apa?”
“Nah makanya kita harus pura pura kalo kita tergila gila dan enggak sabar pengen menikah.”
Tiana terdiam. “Gue lupa ngasih tahu ini keorang tua gue. Sial.” Tiana menghela nafas. “Kenapa ribet gini sih. Kita kan cuma mau menikah dan terus punya anak dengan cara yang benar.”
“Gue tahu ini ribet emang, tapi kita harus laluin ini, cuma orang tua aja kok.”
XXX
Tina terlihat begitu mengintimidasi ketika pertama melihat Tiana sedangkan ayah Hugo, Billy terlihat begitu hangat ketimbang Tina.
“So, ceritain dong gimana kalian ketemu?” tanya Billy.
Hugo menggenggam tangan Tiana, ia tersenyum lebar dan menatapnya dengan penuh rasa cinta.
Tiana tersenyum. Ia berusaha terlihat bahagia. “Waktu itu kita lagi dikantin, terus makanan kita tertukar dan kita enggak sengaja ngobrol banyak, dan ternyata kita punya banyak kesamaan.”
“Oh ya? Kesamaan apa tuh?” tanya Tina ketus.
Tiana berusaha terus tersenyum walaupun dia kehabisan kata-kata.
“Kita punya selera makan yang sama, tapi jelas seleranya lebih enak daripada seleraku,” kata Hugo.
“Emangnya kamu bisa masak?” tanya Tina.
“Aku jarang masak. Soalnya sibuk banget,” kata Tiana.
“Aku yang masak, dia yang ngurus kerjaan yang lain,” bela Hugo.
“Terus nanti yang kasih makan anak-anaknya siapa?” tanya Tina.
“Kita berdua yang akan mendidik dan merawat anak-anak kita, aku enggak akan biarin dia ngurus semuanya sendiri.” Hugo mencium punggung tangan Tiana.
“Kamu kelihatan beda dari mantan istri Hugo, beda banget deh pokoknya.” Tina berusaha menghancurkan chemistry yang terbentuk diantara mereka.
Tiana hampir tersedak mendengar kata mantan istri. Akhirnya ia sadar bahwa ada banyak hal yang tak ia ketahui tentang Hugo.
“Oh nak, kamu tahu kan dia sudah duda?”
“Ya tentu saja, dia tahu semuanya kok,” kata Hugo sambil menggengam tangan Tiana erat-erat dan mencium pipi Tiana.
XXX
“Kamu sudah menikah? Kenapa kamu enggak pernah bilang? Kita kan mau menikah?” Tiana benar benar murka ketika mengetahui hal tersebut.
“Gue tahu gue harusnya udah kasih tahu soal ini, tapi demi Tuhan gue udah benar benar muak dengan nyokap gue yang suka jodohi-jodohin gue dengan kenalan dia.”
“Ya terus gue bilang apa sama orang tua gue, kalau gue akan menikah sama duda yang gue baru aja gue temuin?”
“Yep gue emang duda, tapi gue enggak punya anak, dan gue bebas dari segala tuntutan pembiayaan.”
Tiana menghela nafas. “Gue enggak tahu harus gimana lagi. Gue butuh waktu untuk mikir. Berhentiin gue disitu.”
“Tiana…”
“Hugo, berhentiin mobil disitu,” pertegas Tiana.
Mungkin Tiana butuh waktu untuk berfikir, lagipula ini juga salah gue karena enggak kasih tahu dia. Hugo akhirnya menepi mobilnya dan membiar Tiana keluar dari mobil.
XXX
Tiana memutuskan untuk kerumah sakit dan menemui Andi namun ketika ia tiba dibangsal Andi, ia menemukan Andi dalam keadaan yang lebih parah. Berbagai mesin terhubung ketubuh Andi. Isaac tiba-tiba masuk diikuti dengan suster lainnya.
“Ada apa ini?” tanya Tiana yang kebingungan.
“Andi mengalami berbagai kegagalan organ internal makanya kita harus pantau dia.”
“Gue bisa tungguin dia disini kan?”
“Ya tentu saja.”
Isaac melanjutkan tugasnya menangani Andi sedangkan Tiana berdiri diujung tempat tidur dan memantaunya dalam keheningan.