Perspektif

Sebab Guyonan Seksis Pejabat adalah Pandemik

Rasanya lelah mendengar guyonan seksis para pejabat, mulai dari pemerintah pusat hingga level kabupaten. Dari Menko Polhukam Mahfud MD hingga Bupati Lumajang Thoriqul Haq. Dari ucapan “Corona is like your wife” hingga “Janda usia 20-30 tahun jangan dikasih BLT, dicarikan suami saja”.

Hellooo… udah bener kerjanya belum, Pak? Guyonan seksis justru menunjukkan ketidakbecusan pejabat menangani masalah lho, terutama pandemi Covid-19. Alih-alih menekan kasus, yang ada malah memojokkan perempuan.

Pak Jokowi, tolong kasih tahu ke menteri-menteri dan kepala daerah, ya. Selama pandemi, banyak sekali perempuan yang mengalami kekerasan di ranah pribadi. Perempuan lah yang terpaksa bertahan di rumah-rumah kecil dengan para pelaku kekerasan. Buktinya, laporan kekerasan domestik yang diterima oleh LBH Apik, meningkat.

Belum lagi, beban ganda yang harus dipikul perempuan. Sebagai ibu, mereka juga harus mengajarkan anaknya selama belajar dari rumah. Yang tadinya tugas mengajar diamanatkan ke guru, kini jadi tugas ibu. Lah, bapak?

Oh ya, bapak-bapak pejabat tampaknya juga lupa bahwa perempuan lah yang paling banyak bekerja sebagai tenaga medis. Bisa cek hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2016 yang dilansir BPS bahwa perempuan mengisi 67,5% sektor tenaga kesehatan. Nah, akibat para pejabat yang ingin terburu-buru menerapkan new normal, para tenaga medis yang mayoritas perempuan harus terus berperang melawan virus corona, bukan malah berdampingan. Memangnya virus bisa diajak gencatan senjata atau diplomasi, gitu?

Lagi-lagi, perempuan terus dipaksa bertahan akibat kebijakan yang tidak sensitif dari bapak pejabat patriarkis. Sebagai tenaga medis, masih menanggung beban ganda pula. Sudah tahu kisah perawat Afit yang harus terus memompa ASI saat dinas merawat pasien Covid-19? Pemerintah ke mana?

Anehnya, pemerintah malah agresif soal new normal di tengah wabah yang sedang ganas-ganasnya. Sudah bicara ancaman wabah gelombang kedua, padahal gelombang pertama saja belum usai. Per 10 Juni, terjadi lonjakan pasien Covid-19 sebanyak 1.241 orang dalam sehari.

Ya tentu, semakin tersedianya alat tes Covid-19, maka semakin banyak yang terdeteksi. Namun, itu juga tidak lepas dari mobilitas masyarakat yang tetap lalu-lalang karena PSBB yang aneh sejak dalam konsep. Lantas, apa jadinya kalau new normal? Ketat saja belum, tapi sudah longgar.

Situasi yang abnormal tersebut malah makin runyam akibat kelakuan pejabat misoginis. Ya itu tadi, mereka yang kerap melontarkan guyonan seksis. Terlihat sepele, tapi nyatanya pandemik. Gimana nggak pandemik? Guyonan seksis menjangkiti para pejabat dari pusat hingga ke daerah-daerah, bahkan jauh sebelum 2020 BC (Before Corona).

Kelakuan seperti itu tidak mencerminkan penanganan masalah secara baik. Nggak kasihan sama tenaga medis, yang faktanya sebagian besar adalah perempuan, Pak? Duh, tetap kuat teman-teman!

Selama tiga bulan sejak merebaknya kasus Covid-19, pemerintah tidak fokus, bahkan sebelum itu terkesan menyepelekan. Masih ingat ucapan pejabat kita: “(Corona masuk Batam?) Hah? Mobil Corona?” atau “Setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal”. Begitu juga dengan ucapan ini: “Virus corona enggak masuk ke Indonesia karena izinnya susah”.

Ketika corona benar-benar masuk, jadinya kalang kabut – tapi tetap harus bilang “jangan panik” kalau sama rakyat. Alhasil, tidak ada upaya pengendalian yang signifikan. Penyebaran virus nggak bisa dikendalikan, perempuan yang jadi sasaran sambil berujar, “Corona itu seperti istrimu. Ketika kamu mau mengawini, kamu kira kamu bisa menaklukkan dia tapi sudah jadi istrimu, kamu tidak bisa menaklukkannya.” Kalau bukan kontrol terhadap perempuan, apa itu namanya?

Kita butuh pendekatan yang peka terhadap gender dalam menghadapi pandemi. Sebab, perspektif gender membantu menganalisa kelompok rentan, lalu menghasilkan kebijakan yang mengutamakan pencegahan. Mending bapak pejabat memahami kembali perspektif gender daripada seksis.

Bagaimanapun, kita belum terbebas dari wabah, yang ada malah maksain new normal. Berharap rakyat menjalankan protokol kesehatan, padahal selama ini membuang sampah yang benar saja sulit. Kalau kata Menkes Terawan, mencegah lebih baik daripada mengobati. Eh, Pak Menkes ke mana nggak muncul-muncul lagi?

Tapi, memang sih, negara yang patriarkis bin kapitalis tak peduli dengan pencegahan penyakit, karena cuma mau untung. Tidak ada alokasi besar-besaran pada anggaran kesehatan untuk membangun kualitas pelayanan kesehatan warganya. Maka, tidak heran kalau iuran BPJS naik tinggi.

Negara akan mengembalikan fungsi perawatan kepada perempuan. Ini sesuai dari pandangan Nancy Fraser. Tanggung jawab kerja perawatan dibebankan kepada anggota keluarga perempuan, baik sebagai ibu atau anak. Lagi-lagi, tugas perempuan merawat kesehatan keluarga, karena perempuan dianggap paling dekat dan memiliki tanggung jawab mengurus keluarga. Entah itu merawat suami, anak, orangtua, bahkan mertua.

Di negara-negara yang menggelontorkan dana besar untuk fasilitas dan layanan kesehatan termasuk pencegahannya, tergolong cukup mampu menangani pandemi ini. Contohnya, Taiwan yang mengeluarkan 124 kebijakan sejak merebaknya kasus Covid-19. Salah satunya meningkatkan produksi masker dengan mengucurkan dana US$ 6,8 juta atau sekitar Rp 95 miliar. Cuma buat masker doang! Negara tersebut bisa mengatur dan memprioritaskan anggarannya, meski tak lepas dari isu eksploitasi buruh oleh perusahaan asal Taiwan.

Kalau kita? Insentif untuk tenaga medis di sebuah RSUD saja ditilep. Entah kapan negeri ini bisa terbebas dari korupsi. Ini juga pandemik!