DPR Peduli Korban Kekerasan Seksual? Bagaimana Mungkin, Membahas RUU PKS Saja Sulit
Artikel ini pertama tayang di VoxPop.id pada tanggal 2 Juli 2020.
Belakangan sempat beredar di media sosial tentang perempuan yang menceritakan pengalaman berhubungan seksual dengan pasangannya. Cerita itu diungkap setelah hubungan mereka bubar. Lalu, paham kan apa yang terjadi? Netizen menganggap perempuan tersebut hanya mencari sensasi dengan berpura-pura menjadi korban, sebab bisa saja dia memang mau ketika itu.
Tapi, tunggu duluu… Ada satu hal yang harus kita pahami. Dalam masyarakat yang patriarkal, lelaki memang ditempatkan di atas segalanya. Sedangkan perempuan dari kecil dididik untuk mempertahankan tubuhnya hanya untuk satu lelaki saja. Otomatis, mayoritas perempuan merasa bahwa itu adalah standar ideal hidupnya, bahwa cuma boleh ada satu orang yang melakukan hubungan seksual dengan dirinya.
Tentu saja, jika itu adalah pilihan dan prinsip kamu sebagai manusia, ya tidak masalah. Namun, yang bermasalah, ketika seseorang melakukan manipulasi dengan janji dinikahin, janji dipacarin, janji nggak akan ditinggalin, dan sederetan janji manis lainnya demi mendapatkan layanan seksual dari perempuan. Itu adalah eksploitasi seksual. Satu dari 15 bentuk kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan.
Tak jarang, banyak lelaki mengumbar gombalannya untuk bisa tidur bareng dengan perempuan. Apalagi, si perempuan dibesarkan dengan anggapan bahwa orang pertama yang melakukan hubungan seksual dengan dirinya haruslah menjadi satu-satunya orang yang bersamanya seumur hidup.
Perempuan tidak dididik bahwa ia tidak perlu mengikuti standar-standar tersebut. Ia juga tidak perlu menyesal, jika pernah melakukannya dengan orang lain. Tapi, tentu saja, kita tak bisa memaksakan pemikiran serupa ketika perempuan sudah dewasa, karena ini butuh proses pembelajaran yang panjang.
Kita sering mendengar janji-janji seperti ini: “Kita berhubungan sekarang yuk, nanti kan kita nikah”, “Kalau kamu sayang sama aku, kamu harus mau berhubungan sama aku”, atau “Kalau kita berhubungan, aku janji nggak akan ninggalin kamu”. Itu semua adalah manipulasi untuk mendapatkan seks.
Manipulasi tersebut membuat perempuan yang tidak mendapatkan pendidikan gender yang adil sejak dini merasa menggantungkan nasibnya kepada lelaki. Mereka merasa bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan kasih sayang adalah melalui seks. Padahal, kasih sayang bukan melulu soal seks. Mendapatkan perhatian dari pasangan juga tidak semata lewat seks.
Kemudian, ini diperberat dengan maraknya aplikasi kencan. Perempuan yang sejak kecil dididik bahwa hidupnya adalah untuk lelaki, menganggap bahwa aplikasi kencan merupakan jalan pintas mencari jodoh. Sayangnya, ini tidak dibarengi dengan pengetahuan mengenai kekerasan seksual. Maka, lelaki yang sedang mencari korban bisa memperdaya perempuan dengan mudah untuk mendapatkan seks.
Jika ada perempuan yang menuruti janji-janji manis tadi, bukan berarti itu semacam persetujuan. Mengapa? Karena dalam pikirannya, jika ia melakukan hubungan seksual, ia akan mendapatkan pernikahan. Perempuan sedang diperdaya dan dibodoh-bodohi.
Kalau sudah begitu, perempuan adalah korban. Apalagi, jika tidak dibekali dengan pendidikan tentang kesehatan reproduksi.
Perempuan tentu harus bertanggung jawab atas tubuhnya dan keputusannya. Tapi, apakah ia bisa bertanggung jawab jika tidak dibekali dengan pengetahuan, kemudian diperdaya untuk mendapatkan afeksi dan pernikahan?
Sama halnya dengan dokter, apakah orang akan diizinkan menjadi dokter, jika ia tidak mendapatkan pendidikan dokter? Kalau terjadi malpraktik, bagaimana ia bertanggung jawab? Begitu pula dengan perempuan, akankah ia bisa bertanggung jawab jika tidak mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi?
Sebelum kamu menghakimi perempuan dengan anggapan bahwa perempuan hanya ‘bermain’ sebagai korban, alangkah baiknya kamu bisa memahami bagaimana ia bisa merasa dipermainkan dan diperdaya. Dan, tidak menjadikan ia sebagai korban untuk kedua kali dan seterusnya dengan perundungan.
Saya pun sering kali gemas dengan keadaan dimana perempuan datang dan menangis ke saya, karena ada yang bilang si lelaki nggak mau bertanggung jawab. Tentu, saya tidak bisa bilang bahwa itu adalah kesalahannya karena mau diperdaya. Sebab tidak semua perempuan memiliki akses pengetahuan dan sistem sosial yang mendukung.
Sebagai sesama manusia, kita bisa saling memberi tahu dan saling jaga serta waspada terhadap eksploitasi seksual maupun bentuk kekerasan seksual lainnya. Mereka yang melakukan itu harus dikenakan sanksi sosial dan pidana. Itulah mengapa pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sangat penting.
Dengan UU tersebut nantinya, hukum akan menjadi lebih berpihak pada korban kekerasan seksual dan menjerat pelakunya. Namun, politisi di parlemen enggan mengesahkannya. Pimpinan Komisi VIII DPR mengusulkan agar RUU PKS dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020 dengan alasan pembahasannya agak sulit.
Apaa?? Sulit?!
Wahai bapak-ibu wakil rakyat yang terhormat, bagaimana dengan nasib rakyat korban kekerasan seksual yang jauh lebih sulit? Selama ini, kita sering mendengar janji-janji bahwa bapak-ibu akan berjuang untuk rakyat. Tapi bagaimana mungkin, membaca membahas RUU PKS saja sulit. Fakboi bangga dengan bapak-ibu!