Perspektif

Feminitas Toksik Itu Ada atau Tidak? Nih, Biar Nggak Asal Jeplak

Artikel ini pertama tayang di VoxPop.id pada tanggal 17 Juli 2020.

Banyak sekali infografis yang beredar tentang toxic femininity atau feminitas toksik. Contoh-contoh yang disajikan bikin saya sedih, karena melihat perempuan menjatuhkan perempuan lain atas kondisi yang tidak mereka pilih. Perempuan yang dijatuhkan adalah korban patriarki. Sudah jadi korban, disalahkan pula.

Banyak orang memberikan contoh feminitas toksik ini, seperti perempuan yang menuntut tempat duduk di angkutan umum, minta dijemput, dibelanjain, dan segala hal yang menggunakan gendernya untuk mendapatkan hak istimewa. Tapi tahu nggak, perempuan bisa menganggap dirinya lemah dan inferior karena sekian lama dicekoki doktrin patriarkal?

Patriarki sudah mendarah daging, kita pun masih kesulitan untuk keluar dari jeratannya. Masyarakat kita masih sangat patriarkal dan perempuan tidak memilih untuk tumbuh di lingkungan tersebut.

Lantas, bagaimana dengan perempuan yang tidak punya akses terhadap bahan bacaan terkait kesetaraan gender? Otomatis operating system otaknya diset untuk menerima patriarki sebagai kebakuan dan norma hidup. Apakah kita akan terus menyalahkan perempuan karena mereka dididik dalam lingkungan patriarki sejak dini?

Bagaimana pula dengan perempuan yang hanya bisa menuntut, tetapi tidak melakukan sesuatu yang lebih? Ya itu karena lingkungannya tidak memberikan dia akses untuk melakukan hal yang lebih. Dia pun tidak dibekali dengan keberanian untuk melakukan itu. Dia menuntut karena tak punya akses terhadap ekonomi dan pendidikan yang bisa membuatnya berdaya.

Banyak yang bilang perempuan yang tidak bisa asertif sebagai alasan tidak bisa mengambil sikap. Ya bagaimana dia bisa bersikap, jika operating system di otaknya dikendalikan patriarki sehingga dirinya menjadi merasa inferior? Secara psikologis, dia sulit untuk berbicara lantang.

Teman-teman yang belajar feminisme tentu menyadari bahwa persoalan psikologis sering kali menjadi hambatan dalam bersuara. Apalagi, bagi mereka yang masih mencari-cari suara feminis di dalam dirinya, setidaknya membutuhkan validasi. Ia kesulitan mengutarakan pendapat, karena masih ada sisa-sisa patriarkal yang menghambat untuk bicara lantang. Nah, apakah kita akan bilang, “Salah sendiri nggak asertif?”

Lalu, apa yang dibutuhkan perempuan untuk bisa asertif? Ya validasi dari teman perempuannya. Tapi bagaimana kalau temannya itu tidak bisa memberikan validasi dan berasal dari lingkungan yang operating system otaknya juga patriarki? Ya akan selamanya mereka tidak bisa asertif.

Sistem kita yang patriarkal dan kapitalis ini membuat perempuan tidak berdaya dan dijadikan gender inferior. Karena itu, kita harus memahami lebih dalam sebelum mencap seseorang dengan sebutan feminitas toksik.

Coba deh buka grup Facebook “Curahan Hati Perempuan”. Di situ banyak curhat perempuan ibu rumah tangga yang menceritakan tentang suaminya yang hanya memberikan uang Rp 50 ribu per minggu untuk kebutuhan makan sekeluarga berisi lima orang. Mereka bercerita sambil mendayu-dayu dan merasa lemah karena tidak bisa bersikap tegas alias asertif. Lantas, apakah kita akan menyalahkan mereka karena tidak bisa asertif dan tidak bekerja?

Tentu tidak.

Ada jutaan perempuan yang dikondisikan oleh patriarki dan kapitalisme untuk hidup miskin. Mereka tidak mendapatkan upah atas kerja perawatan yang mereka lakukan di rumah. Mereka juga tidak punya akses untuk mendapatkan keterampilan dan bahan bacaan yang mencerahkan. Kemudian, adilkah kita melabeli mereka dengan sebutan feminitas toksik karena mereka tidak berdaya?

Ini seperti menyalahkan perempuan yang menjadi korban patriarki. Tidaklah bijak jika kita tahu bahwa masih banyak perempuan yang otaknya patriarki, kemudian menyalahkan keadaan yang sebetulnya tidak bisa mereka pilih, seperti kondisi ekonomi, sosial, dan politik ketika mereka dibesarkan.

Kamu mungkin bisa sekolah dan kerja, karena punya akses yang tidak dimiliki atau diketahui perempuan lain. Apakah kamu akan tetap menyalahkan perempuan dan melabelinya dengan feminitas toksik?

Sebaiknya kita jangan menyalahkan perempuan korban patriarki. Kita tidak berhak melakukan itu. Bagaimana mereka bisa memahami kesetaraan, kalau belum apa-apa sudah dicap feminitas toksik? Kita harus berkaca pada privilese.

Lagi pula, feminisme bukan soal apa-apa kudu ada padanannya supaya setara. Jika kita berpikir demikian, maka seharusnya ada maskulinisme. Kenyataannya tidak ada, karena kita sudah lama hidup di dunia yang patriarkal, yang memusatkan dunia ini pada superioritas lelaki.

Pernahkah kamu bertanya kenapa ada Komnas Perempuan, tapi nggak ada Komnas Lelaki? Itu karena perempuan diperkosa dan dibunuh karena gendernya. Komnas Perempuan berdiri setelah kerusuhan Mei 98 untuk mendokumentasi dan mengadvokasi perempuan-perempuan yang diperkosa saat kerusuhan. Komnas Perempuan ada untuk mendokumentasikan korban perempuan akibat maskulinitas toksik.

Lantas, adakah orang yang meninggal karena feminitas toksik? Adakah janin yang diaborsi karena ketahuan dia memiliki penis? Adakah lelaki yang dibunuh oleh perempuan karena lelaki dianggap aib?

Faktanya, ada perempuan yang dibunuh oleh lelaki untuk mengukuhkan maskulinitasnya. Janin-janin perempuan diaborsi karena gendernya (femicide). Kita bisa lihat di beberapa negara dengan budaya patriarkal, perempuan dibunuh oleh keluarganya sendiri karena dianggap aib (honor killing).

Kalaupun kamu membaca buku-buku tentang feminisme dari para feminis kulit putih hingga feminis Indonesia yang karyanya diakui, apakah mereka menyalahkan kondisi perempuan yang membuat mereka tak berdaya? Mereka menulis tentang perempuan dengan penuh welas asih dan berupaya memahami kenapa perempuan bisa dalam kondisi ini.

Bahwa perempuan memang korban, mereka tidak bermain menjadi korban (playing victim). Sebab nyatanya perempuan dididik, dibesarkan, kemudian dimanipulasi dan dieksploitasi oleh patriarki. Kita semestinya bisa memahami, bukan malah menghakimi. Karena itu, kita harus berhenti menggunakan narasi feminitas toksik karena sungguh absurd.