Perspektif

Di Balik Tren Foto Hitam Putih, Kita dan Perempuan Turki

Artikel ini pertama tayang di VoxPop.id pada tanggal 30 Juli 2020.

Sewaktu melihat dan mendapat ajakan untuk ikut mengunggah foto hitam putih di Instagram, saya tidak langsung mengikutinya. Tapi, memutuskan untuk menunggu dan mencari tahu apa di balik tren tersebut. Kok hitam putih?

Esoknya, saya menerima surat elektronik dari seorang aktivis feminis di luar negeri. Surat itu merupakan ajakan solidaritas untuk perempuan Turki. Gerakan perempuan di Turki ternyata sedang mengutuk adanya niatan dari kelompok-kelompok tertentu untuk menarik diri dari Istanbul Convention.

Lantas, apa hubungannya dengan tren foto hitam putih?

Salah satu akun Instagram bernama Zeycan Rochelle menjelaskan bahwa foto hitam putih tersebut digunakan untuk mengenang para perempuan yang meninggal karena dibunuh. Mereka sadar bahwa mereka bisa saja menjadi korban berikutnya.

Seperti dilansir oleh Elle, foto hitam putih tersebut kemudian dibarengi dengan hashtag #kadınaşiddetehayır (katakan tidak pada kekerasan terhadap perempuan) dan #istanbulsözleşmesiyaşatır (tegakkan Istanbul Convention).

Selain itu, keinginan Pemerintah Turki untuk menarik diri dari Istanbul Convention juga menyebabkan perempuan-perempuan di Turki marah dan mulai bersolidaritas agar Istanbul Convention tetap dipertahankan pemerintah.

Apa itu Istanbul Convention?

Menurut laman resmi Konsil Eropa, The Council of Europe Convention on Preventing and Combating Violence Against Women and Domestic Violence atau yang dikenal dengan sebutan Istanbul Convention, merupakan sebuah perjanjian internasional untuk mencegah dan melawan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan domestik. Perjanjian ini memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan.

Sejak Maret 2019, Istanbul Convention sudah ditandatangani dan diratifikasi oleh 34 negara. Turki lah yang pertama kali meratifikasi konvensi tersebut pada 12 Maret 2012, kemudian diikuti oleh 33 negara di Eropa.

Namun, sayangnya, beberapa kelompok di Turki hendak memutuskan untuk menarik negaranya dari ratifikasi tersebut. Menurut surat yang saya dapatkan, kelompok tersebut berusaha mengadvokasi untuk mengambil alih warisan dan properti yang dimiliki perempuan, serta membenarkan kekerasan terhadap anak melalui pernikahan. Kelompok tersebut juga menginginkan bahwa partisipasi perempuan di ruang publik dihilangkan dan menginginkan lelaki untuk menjadi penentu kehidupan perempuan.

Padahal, Istanbul Convention telah memberikan kerangka untuk melawan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan domestik dengan menyediakan hotline bagi korban, serta pusat pencegahan dan monitor kekerasan terhadap perempuan selayaknya Women’s Crisis Center.

Kelompok yang menolak Istanbul Convention adalah kelompok yang menolak hak perempuan untuk hidup aman dari kekerasan di ruang publik dan ruang pribadi. Alasan mereka menolak konvensi tersebut karena dianggap bukan budaya Turki dan tidak nasionalis.

Sama halnya dengan kelompok yang menolak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di Indonesia. Mereka berargumen bahwa hal itu berasal dari luar negeri, kebarat-baratan, dan membenarkan seks bebas. Padahal, RUU PKS berusaha memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan, terutama perempuan dan anak perempuan.

Istanbul Convention dan RUU PKS memang diadaptasi dari The Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (CEDAW) atau konvensi untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan Indonesia sudah menandatangani konvensi tersebut pada 24 Juli 1984.

Menurut situs Komnas Perempuan, Indonesia pernah memiliki wakil di CEDAW, yaitu Ida Soekaman (1987), Prof. Dr. Ir. Pudjiwati Sajogyo (1987-1990), Prof. Dr. Sunaryati Hartono (1995-1998), dan Sjamsiah Achmad (2001-2004).

Adanya tokoh-tokoh tersebut mematahkan argumen yang menganggap hak-hak perempuan merupakan produk barat. Tidak ada yang kebarat-baratan dari hak-hak perempuan karena faktanya perempuan dari seluruh penjuru dunia berkumpul untuk menjadi komite CEDAW.

Apa yang dialami oleh perempuan di Turki juga kita alami. Nah, tentunya kita jangan sampai mengaburkan atau bahkan menghilangkan esensi gerakan perempuan Turki. Karena itu, kita bisa bersolidaritas dengan perempuan Turki sambil ikut menyoroti pentingnya pengesahan RUU PKS.

Kalau sudah mengunggah foto hitam putih, kamu bisa menambahkan beberapa hashtag seperti #IstanbulConventionAgainstViolence, #IstanbulConvention, dan #IstanbulConventionSavesLives. Atau, jika ingin mengusung juga perjuangan perempuan Indonesia, kamu bisa tambahkan #sahkanruupks #ruupks #sahkanruuprt.

Dukungan sesama perempuan memang penting. Selama ini, perempuan tidak memiliki jaminan hukum untuk bisa hidup aman dan bebas dari kekerasan, termasuk perempuan yang menjadi pekerja rumah tangga.

Karena itu, sesama perempuan perlu saling mendukung. Kita pun bisa mendukung perempuan Turki dengan ikut menggemakan isu mereka, sambil mendukung sesama perempuan di Indonesia agar memiliki jaminan hukum untuk bebas dari segala bentuk kekerasan.