Kekerasan Seksual Marak, Kenapa Harus Viral Dulu?
Artikel ini pertama tayang di VoxPop.id pada tanggal 12 Agustus 2020.
Banyak sekali kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini, bahkan setiap pekan ada saja yang mencuat di media sosial. Ini semakin menunjukkan minimnya perangkat hukum dalam melindungi kita sebagai warga negara.
Saya sering mendapat laporan dari beberapa akun yang mengirim unggahan kasus kekerasan seksual. Namun, tidak bisa langsung mengunggah ulang karena bukan korban yang meminta, melainkan netizen. Bukan tidak peduli atau tidak percaya pada korban, ini untuk menjaga privasi korban.
Sebab itu, saya kerap menunggu pernyataan resmi dari pihak korban yang sudah didampingi oleh kuasa hukum dan pendamping. Ini lebih baik dan lebih aman untuk menjaga kesehatan mental korban dan melindungi privasinya.
Tapi, yang menjadi pertanyaan besar di balik itu, kenapa banyak kasus seolah harus viral dulu di media sosial agar aparat bisa langsung bertindak cepat? Padahal, bukti sudah banyak. Apalagi, korban sering kali diteror oleh pelaku. Nunggu apa lagi sih?
Itu pula mengapa banyak korban lain yang lebih memilih untuk bersuara di media sosial. Meskipun, kita tahu, aksi tersebut sangat berisiko bagi korban. Tapi memang sih, begitu viral dan ada eksposur besar di masyarakat, aparat langsung sigap.
Lantas, bagaimana jika ada kasus yang nggak viral atau netizen nggak heboh? Entah sudah berapa banyak kasus kekerasan seksual yang terlewatkan begitu saja. Padahal, bukankah lebih baik jika aparat benar-benar mendapatkan citra yang baik karena peka terhadap keadilan korban kekerasan seksual, ya?
Bayangkan, semisal dalam kasus pemerkosaan, apa jadinya kalau pelaku masih bebas berkeliaran? Berapa banyak lagi orang yang akan diperkosa oleh predator seks tersebut? Namun, jika pelaku ditangkap, dia tidak akan bisa memperkosa lagi.
Jangan biarkan para pelaku kekerasan seksual bisa melenggang begitu saja, apalagi korbannya sering kali malah mendapat teror. Ini kan berbahaya, tak ada lagi rasa aman. Pelakunya bisa bertambah banyak, siapapun bisa menjadi korban.
Sementara, sebagian masyarakat kita turut melanggengkan ‘budaya memerkosa’ atau rape culture. Ini juga bahaya, banyak orang yang cenderung menormalisasi kasus-kasus kekerasan seksual, bahkan malah menyalahkan korban.
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang viral ini juga semakin meneguhkan tentang pentingnya edukasi seks sejak dini. Di satu sisi, kita bisa lihat bagaimana masyarakat pada umumnya belum memahami betul tentang kekerasan seksual.
Di sisi lain, ada masyarakat yang mulai sadar bahwa edukasi seks itu dibutuhkan saat ini. Edukasi seks sejak dini bisa mengajari anak-anak tentang bagaimana menghormati batasan-batasan orang lain.
Terlebih, dari sisi perangkat hukum, sampai saat ini belum memadai. Kasus pelecehan seksual menggunakan kain jarik berkedok penelitian di Surabaya malah dituntut dengan UU ITE. Perangkat hukum kita tidak memberikan definisi jelas apa itu kekerasan seksual. Karena itu, kita membutuhkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk mendefinisikan berbagai bentuk tindakan kekerasan seksual.
Dengan maraknya kasus kekerasan seksual yang viral dan belum maksimalnya penegakan hukum semakin menunjukkan sulitnya memberi keadilan kepada korban dan menghukum pelaku. Bahkan, di internal komunitas yang katanya progresif pun, korban kekerasan seksual sering kali kesulitan mendapatkan keadilan. Lantas, apa yang diharapkan dari situasi ini?
Kenyataannya, masih banyak yang belum tahu cara menangani kasus kekerasan seksual, karena tidak ada perangkat hukum yang bisa dijadikan kerangka kerja untuk menegakkan keadilan.
Berapa artikel lagi yang harus ditulis untuk menegaskan bahwa kita butuh bahasa yang lugas untuk menjelaskan kasus kekerasan seksual? Berapa kali lagi Aksi Selasaan yang dilakukan oleh para aktivis di depan Gedung DPR untuk memperjuangkan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?
Lantas, berapa banyak lagi unggahan kasus kekerasan seksual yang harus viral di media sosial hingga akhirnya ditanggapi serius? Berapa lama lagi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa disahkan menjadi UU?!