Ketimpangan Gender Pintu Masuk Terorisme, Ulasan Buku Perempuan dan Terorisme
Apa yang ada di pikiran kamu ketika mendengar kata Perempuan dan Terorisme? Bom Panci? Istri teroris? Perempuan bercadar? Makar?
Kira-kira pantas enggak sih perempuan yang sudah pergi ke Suriah dipulangkan lagi ke Indonesia? Pasti kebanyakan dari kita gusar tentunya ketika harus satu lingkungan dengan para simpatisan ISIS.
Suatu saat, saya tak sengaja mendapatkan buku Perempuan dan Terorisme ketika menghadiri Kajian Salam yaitu kajian mingguan di ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) yang diselenggarakan bersama DPP Api Kartini. Kala itu Leebarty Taskarina sedang mengadakan bedah buku Perempuan dan Terorisme yang merupakan hasil karya tesis S2 nya. Leebarty dalam bukunya menjelaskan bagaimana Perempuan bisa terlibat dalam terorisme dan bagaimana ketimpangan gender baik dalam relasi suami istri dan masyarakat sosial dapat membuat seorang perempuan diperdaya untuk ikut dalam kelompok teroris.
Selayaknya hasil penelitian, Leebarty memberikan kita pemahaman secara umum apa itu terorisme. Kemudian ia melanjutkan menceritakan mengenai kelompok teroris terbesar di dunia yaitu Al Qaeda dan ISIS serta sejarah mereka di Indonesia dan bagaimana paham Wahabbi bisa masuk. Untuk menjelaskan lebih dalam mengenai keterlibatan perempuan dalam terorisme, ia mewawancarai dua orang perempuan yaitu Humaira yang dikenal dengan Umi Dahlia dan Nurul yang dikenal dengan nama Umi Yazid. Perubahan panggilan nama ini terjadi lantaran mereka dipanggil berdasarkan nama anak pertama mereka. Seperti Humaira yang melahirkan Dahlia dan Nurul yang melahirkan Yazid.
Humaira dan Nurul tentunya memiliki kisah yang berbeda sebelum mereka bergabung dengan suami mereka di gunung dan akhirnya tertangkap oleh aparat. Humaira berasal dari kampung. Ayahnya meninggalkan Humaira saat Humaira berusia 6 tahun sehingga ibunya harus membesarkan Humaira dan saudaranya sendiri. Kemiskinan yang dihadapi keluarga Humaira membuat dirinya termotivasi untuk meringankan beban ibunya dengan cara menikah. Saat masih sekolah, ia lebih menyukai pelajaran-pelajaran agama ketimbang pelajaran yang sifatnya menghitung. Namun sayangnya, Humaira tidak memiliki sistem pendukung sehingga tak jarang Humaira merasa terasingkan, terlebih lagi ia memutuskan memakai cadar. Awalnya ibunya Humaira tak setuju ia menikah di umur 16 tahun karena ibunya masih menginginkan ia sekolah lagi ke jenjang yang lebih tinggi. Namun karena Humaira meyakini bahwa untuk melepaskan dirinya menjadi tanggungan ibunya adalah dengan menikah, maka ia berhasil kabur dan menikah dengan Bimo serta menjadi istri keduanya, seorang petani yang juga termasuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang).
Sedangkan Nurul, sebelumnya pernah bekerja di Church World Service. Ia sudah terbiasa dengan keberagaman di sekililingnya. Nurul sendiri tidak menganut paham Islam seperti Humaira sehingga pandangannya cukup terbuka. Sayangnya ia memiliki cerita yang lebih kelam, suami pertamanya meninggal tertembak di pasar tatkala dirinya sedang hamil 3 bulan. Setelah anaknya lahir, tak lama ia kemudian menikah lagi dengan seorang petani bernama Fadil yang Nurul tahu juga seorang buronan polisi serta masuk DPO. Bersama Fadil, ia melahirkan dua orang anak.
Humaira dan Nurul bernasib sama. Kondisi perekonomian mereka pun terbatas sehingga terkadang harus meminta belas kasihan orang dan menumpang hidup bersama anak-anaknya. Keduanya ikut naik gunung untuk mengikuti kelompok teroris yang dipimpin Bimo dan menitipkan anak mereka di saudara mereka. Humaira sesungguhnya sangat semangat ketika diajarkan mengenai bagaimana merakit bom. Ia memahami bahwa hidupnya adalah untuk jihad. Sedangkan Nurul sama sekali tidak memiliki niatan untuk bergabung dengan kelompok teroris. Nurul hanya berniat menengok suaminya dan kembali pulang. Namun sesampainya Nurul di hutan belantara bersama kelompok Bimo, Bimo menolak untuk memberikan izin Nurul untuk turun dan kembali ke anak-anaknya karena takut polisi mengepung mereka.
Ketika Leebarty mempertanyakan ideologi yang diusung kelompok Bimo, Nurul sebenarnya tidak tahu sama sekali mengenai apa yang dikerjakan Fadil dan kelompoknya. Ia tidak tahu menahu, yang ia tahu hanyalah setelah ia menikah ia harus patuh. Sedangkan Humaira, telah disipakan oleh Bimo untuk ikut angkat senjata, ia pun menyuruh Humaira untuk menonton video yang isinya propaganda kebencian terhadap agama lain. Kedua perempuan tersebut hanya mengetahui bahwa untuk menuju surga, ia harus patuh pada suami, apapun perintahnya tanpa perlu mempertanyakan, karena itu yang diajarkan agama pada mereka. Selain itu konsep pernikahan yang mereka tahu dambakan membuat mereka yakin akan mengeluarkan mereka dari kemiskinan dan keterpurukan.
Konsep-konsep yang membuat perempuan bergantung terhadap lelaki telah dikenalkan dan ditanamkan kepada mereka sejak lama sehingga mereka dengan mudah diperdaya oleh lelaki untuk mau melakukan apa yang mereka kehendaki. Mereka tidak mengenal konsep relasi yang setara bahkan dalam tatanan agama, mereka dikenalkan dengan tafsir-tafsir yang didominasi oleh pandangan laki-laki yang bias gender. Hal ini juga diperberat dengan kemiskinan serta lingkungan yang tidak memberikan akses pendidikan yang murah untuk perempuan.
Tentunya dalam melihat kasus Perempuan yang akhirnya terjerumus dalam terorisme, kita harus memahami bagaimana ia berangkat dan terlibat di dalamnya. Dan umumnya hampir setiap perempuan yang terlibat memiliki relasi yang tak setara dengan kerabat lelakinya baik itu dengan ayahnya, saudar lelaki bahkan suaminya yang hendak mengatur bagaimana mereka berperilaku. Ini adalah bentuk viktimisasi dan dari patriarki yang tersistematis dan masif yang memperdaya perempuan untuk terlibat dalam terorisme. Oleh karenanya dalam menanggulangi masalah perempuan dan terorisme kita tak bisa serta merta melakukan pendekatan dengan cara yang umum. Kita memerlukan perspektif perempuan.
Dalam buku Leebarty, ia juga menjelaskan bagaimana Perempuan berperan penting dalam menderadikalisasi kelompok masyarakat. Ia juga berperan dalam memberdayakan dirinya sendiri dan anggota keluarganya untuk terhindar dari pemahaman yang sifatnya radikal dan dapat membahayakan banyak orang. Perempuan memiliki campur tangan penting dalam memberikan pendidikan penuh toleransi kepada anaknya. Leebarty juga saling mengkritik bagaimana pendekatan feminitas dapat juga disalahpahami namun juga dapat digunakan dengan baik.
Pada akhirnya, Leebarty menjawab pertanyaan saya mengenai mengapa Perempuan bisa tergabung dalam kelompok teroris. Tentunya ada campuran tangan patriarki. Bukun Perempuan dan Terorisme memberikan pemahaman agar kita dapat memahami dan tidak menghakimi Perempuan.
Buku ini bisa kamu dapatkan di Gramedia.